Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Kamis/20 Juni 2013
Judul: Prof. Dr. Suharyadi, Mendidik Dengan Hati
Penulis: Alberthiene Endah
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: 1/2012
Tebal: 450 halaman
ISBN: 978-979-22-8678
Buku biografi Prof. Dr. Suharyadi ini memikat hati. Kenapa? Karena mengungkap hakikat pendidikan sepanjang hayat (long life learning).
Benang merahnya sederhana tapi universal. Intinya proses pembelajaran
eksis dalam kehangatan keluarga, dinamika ruang kelas, dan pengalaman
hidup sehari-hari. Dalam kata pengantar, Rektor Universitas Mercu
Buana (1997-2012) tersebut menulis, “Setiap detik, setiap waktu yang
berjalan, ada banyak nilai yang bisa manusia hirup. Semua itu niscaya
menjadikan pikiran lebih baik dan bijaksana.”
Tak sekadar beretorika, petuah tersebut sungguh dilakoni oleh Profesor
Suharyadi. Pasca ibunda tercinta meninggal dunia, kehidupan keluarga
mereka tiarap. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula sebab, “Tak ada
lagi pemandangan wanita mumpuni yang mengurus kami dengan sangat
cekatan. Tak ada lagi kehidupan dinamis yang diperlihatkan Ibu sebagai
seorang pedagang batik yang sukses…” (halaman 83). Padahal penghasilan
bapak relatif minim. Sebagai Kepala Sekolah (Kepsek) SD di pelosok
desa Bener, Salatiga, Jawa Tengah, gaji beliau tak cukup untuk
menafkahi 7 anak piatu yang belum mampu hidup mandiri.
Oleh sebab itu, mereka sekeluarga terpaksa makan seadanya. Hasil kebun
begitu berharga karena setiap rupiah dapat dipakai untuk menyambung
napas kehidupan. Suharyanto, Suharyono dan Suharyadi kecil sering
mencari ikan di sungai. Mereka mencari tambahan gizi untuk lauk makan.
Lalu, hasil tangkapan tersebut diberikan kepada kakak perempuan nomor
dua yang bertugas menjadi koki di dapur.
Tatkala persediaan beras telah ludes, untuk mengenyangkan perut mereka
makan tiwul. Panganan itu pun sejatinya masih lumayan. Pernah suatu
ketika mereka harus menyantap ampas umbi yang biasa dipakai untuk
pakan ternak. Mereka memakannya karena tak ada uang sepeser pun di
kantong, padahal saat itu bapak belum gajian. Ampas lalu dibumbui dan
dikukus. Kendati demikian, di meja makan yang dicahayai temaram lampu
pelita, mereka mengunyah makanan dengan penuh rasa syukur (halaman
85).
Biografi ini memotret secara apik perjuangan seorang anak bangkit dari
keterpurukan hidup. Kendati keterbatasan ekonomi melilit urat nadi,
tak memadamkan asa untuk terus menuntut ilmu sampai jenjang tertinggi.
Akhirnya berbuah manis, Prof. Dr. Suharyadi berhasil menyelesaikan
SD, sekolah menengah pertama dan atas (SMP-SMA), kuliah S1, menyabet
gelar S2, S3, dan bahkan sempat memegang tampuk tertinggi di sebuah
universitas terkemuka di Indonesia. Dalam konteks ini pendapat Andy F.
Noya sungguh relevan, “Kemiskinan memang bukan halangan untuk meraih
kesuksesan.” Selamat membaca!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar