http://mjeducation.co/mengenal-lebih-dekat-y-b-mangunwijaya-lewat-warisan-karya-sastra-dan-bangunan-arsitekturnya/
Rabu
pagi itu (12/6/2013) matahari bersinar cerah, langit biru menaungi kota
Gudeg. Padahal beberapa hari belakangan Yogyakarta lebih sering
digelayuti mendung tebal dan bahkan diguyur hujan deras. Tampaknya, alam
turut menyambut antusias acara diskusi Great Thinkers di lantai V Gedung Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM).
Ratusan
peserta sudah berkumpul di depan ruangan sejak pukul 09.00 WIB, bagi
yang sudah mendaftar mereka langsung melakukan registrasi ulang.
Sedangkan bagi para hadirin yang belum mendaftar bisa mengisi buku tamu
terlebih dulu.
Tatkala
penulis memasuki ruangan seminar ternyata kedua pembicara sudah duduk
di bangku barisan terdepan. Beliau berdua ialah Ir. Eko Agus Prawoto, M.
Arch, IAI, Dosen Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta dan
Prof. Dr. C. Bakdi Soemanto, SU, Budayawan dan Dosen Fakultas Ilmu
Budaya UGM Yogyakarta. Selaku moderator panitia meminta Emil Karmila,
M.A untuk mengatur alur diskusi.
Menurut Emil Karmila, Dosen Studi Kebijakan Pascasarjana UGM, sosok Romo Mangun layak diulas dalam seri diskusi Great Thinkers
kali ini. Mengapa? karena beliau merupakan seorang budayawan,
sastrawan, aktivis kemanusiaan, rohaniwan, dan peraih penghargaan dalam
bidang sastra maupun arsitektur.
Selain itu, mendiang Y.B Mangunwijaya juga concern pada
pemberdayaan kaum miskin. Beliau berhasil merubah wajah bantaran kali
Code yang semula kotor, kumuh, dan dikenal sebagai sarang pencopet
menjadi indah, ramah, dan penuh sentuhan manusiawi. Perkampungan miskin
di tepi kali Code tersebut kini menjadi lebih bermartabat.
Selanjutnya,
pembicara pertama Bakdi Soemanto mengulas sosok Romo Mangun dari aspek
sastra. Dosen FIB UGM dan budayawan Yogyakarta itu berpendapat bahwa
Y.B. Mangunwijaya mirip dengan Rendra dan Umar Kayam. “Mereka seperti
berada dalam satu front. Bahkan ketika Umar Kayam sakit, yang disebut-sebut selalu Rendra, Romo Mangun, dan Goenawan Mohamad,” ujarnya.
Menurut
Bakdi Soemanto, nilai-nilai keutamaan hidup yang tertuang dalam karya
sastra Romo Mangun terwujud pula dalam tindakan sehari-hari beliau.
Kendati demikian, ada juga pihak-pihak yang tidak setuju dengan
pemikiran Y.B. Mangunwijaya terutama terkait bidang pendidikan. Begitu
beliau wafat, ada seorang Pastor yang berkata, “Tidak ada yang bisa
dilanjutkan!”
“Gagasan
Romo Mangun memang tak mudah dipahami karena selalu mempertanyakan
hampir semua aspek kehidupan, beliau orangnya tidak mau lurus-lurus.
Oleh sebab itu, saya ingin mengajak teman-teman sekalian untuk bertanya
juga, siapakah Romo Mangun itu?” katanya.
Dalam
paparannya, Bakdi Soemanto menceritakan bahwa Romo Mangun dulu seorang
pejuang kemerdekaan Republik Indonesia (RI). Ia pernah turut bertempur
dalam perang Palagan Ambarawa karena memang wilayah tugasnya di sana.
Lalu, Y.B Mangunwijaya melanjutkan studi di Seminari dan menjadi Romo
Projo (Pr).
Selain
itu, ada banyak orang yang belum tahu bahwa saat meletus peristiwa
Malari, singkatan dari Malapetaka Lima Belas Januari pada tahun 1974 di
Jakarta, Romo Mangun juga mengorganisir 41 Pastor di Yogyakarta untuk
mempertanyakan kebijakan penguasa orde baru di bidang politik dan
ekonomi yang menyengsarakan rakyat. “Saat itu, saya masih muda, saya
juga ikut membagi-bagi pamplet untuk memperjuangkan nasib kaum miskin
yang lemah dan tertindas lho,” ujar Bakdi Soemanto sembari mengenang
masa lalunya.
Berdasarkan
interaksinya dengan Romo Mangun, Bakdi Soemanto menyadari bahwa beliau
memang sangat mencintai orang miskin. Hidupnya pun begitu sederhana,
kalau tidur di galar,
yakni bambu yang dibelah untuk alasnya. Rantang untuk makan Romo Mangun
hanya satu dan terbuat dari plastik. “Suatu hari rantang tersebut di-krikiti (dimakan)
tikus, saat istri saya menjenguk dan hendak menggantinya dengan rantang
yang baru dari seng, beliau tak mau. Saya kagum dengan konsistensi
beliau,” imbuhnya lagi.
“Salah satu karya sastra Romo Mangun ialah novel Romo Rahadi.
Pada terbitan pertama tahun 1981 beliau menggunakan nama samaran. Baru
pada terbitan kedua tahun 1986 penulis menggunakan nama yang sebenarnya.
Bagi saya, yang paling menarik dari novel ini adalah satu kutipan dari
Ernest Renan: Keragu-raguan adalah sebentuk penghargaan besar terhadap
kebenaran,” ujarnya.
Menurut
Bakdi Soemanto, kutipan Ernest Renan dalam novel tersebut
mengingatkannya pada ungkapan yang dikemukanan Soren Kiekegard, seorang
filsuf eksistensialis-religius berkebangsaan Denmark, adapun ungkapan
itu berbunyi, “Fear and trembling, sickness unto death.”
“Sementara
itu, Albert Camus yang sedang dirawat di Sanatorium di Aljazair juga
menulis di secarik kertas kepada Eliza, seorang wanita yang sering
menemaninya, “It is not simply happiness that I wish for today rather a despair in grandeur.”
Terjemahan dalam bahasa Indonesianya bisa berarti,” Bukan sekadar
kebahagiaan murahan yang aku inginkan, tetapi suatu keputuasaan dalam
kebesaran,” imbuhnya lagi.
Menurut
analisis Bakdi Soemanto, apa yang ditulis oleh Renan, Kerkegard dan
Camus di atas terjadi pula dalam diri Romo Mangun, bahkan berlangsung
sepanjang hidup beliau. Y. B Mangunwijaya terus-menerus gelisah, tetapi
sangat tenang dan tabah.
Arsitektur sebagai ekspresi relung jiwa
Selanjutnya
pembicara kedua Ir. Eko Prawoto, Dosen Fakultas Teknik di UKDW
Yogyakarta tersebut mengulas sosok Y.B. Mangunwijaya dari aspek
arsitektur. Bagi Eko Prawoto, rumah bukan sekadar tempat hunian tapi
ekspresi relung jiwa yang terdalam. Ruang secara fisik tak cukup, jadi
perlu ada nilai, pemikiran, dan dimensi lainnya.
“Dalam
konteks ini menarik jika kita menengok kembali pemikiran dan karya
arsitektur Romo Mangun. Di media massa kita bisa menyaksikan banyak
bermunculan gedung-gedung secara suka-suka. Kini tak ada lagi idealisme,
semua berlomba terjun ke modernisasi. Dalam arsitektur modern, semua
adalah komoditas atau dagangan. Kita pun menjadi riak atau gelombang
dari yang tejadi di luar sana, entah itu Jakarta, Singapura, New York,
dst,” ujarnya.
“Alhasil,
terjadi reduksi kehidupan secara besar-besaran. Manusia hanya melihat
yang fisik saja. Padahal substansi yang terutama adalah perkara nilai,
gagasan atau sikap batin,” imbuhnya lagi. Menurut Eko Prawoto, Romo
Mangun telah jauh lebih dulu berpikir ke depan dan berani berbuat
alternatif. Beliau menganalogikan Indonesia dalam masa transisi ibarat
ikan duyung. Bukan ikan tapi belum jadi manusia. Artinya tidak lagi
tradisional tapi juga belum modern.
“Bagi
Y.B Mangunwijaya, arsitektur ialah sarana untuk memanusiakan manusia,
memerdekakan manusia, menyadari keadaan diri, harga diri, dan identitas
diri sehingga kita bisa berkomunikasi dengan bangsa lain secara setara,”
ujarnya.
“Sekarang
bangunan dinilai bagus kalau mahal, sedangkan kalau murah itu selalu
jelek. Inilah kecenderungan komodikasi di bidang arsitektur. Akar
masalahnya, karena pandangan hidup yang sepotong-sepotong dan tak utuh.
Alhasil, perasaan batin, hubungan dengan alam, nilai-nilai tak terlihat (intangible values) tak mendapat ruang,” imbuhnya lagi.
Kemudian,
Eko Prowoto menampilkan gambar-gambar bangunan karya arsitektur Romo
Mangun, antara lain Gereja Maria Asumpta di Klaten, Gua Maria Sendang
Sono di Kulon Progo, dan Dinamika Edukasi Dasar (DED) di Jalan Kuwera
Yogyakarta.
“Prinsip bersatu hukum dengan alam diterapkan di sana. Misalnya kalau kita sekarang sumuk
(panas) langsung pasang AC, rumah kurang terang tambahi lampu. Padahal
bangunan bukan suatu entitas lepas, tapi satu kesatuan dengan alam
sekitar. Kan bisa ditambahi ventilasi udara dan dipasangi genteng kaca,”
ujarnya.
Menurut
Eko Prawoto Romo Mangun juga menghargai lokalitas. Batu kali, bambu,
kayu ditempatkan sesuai fungsinya. Bambu yang bengkok dan lentur tak
dipaksa jadi lurus dan keras seperti besi beton.
“Kaidah
selanjutnya ialah hemat ruang dan biaya. Barang sekecil apapun dihargai
oleh Romo Mangun. Bahkan di DED Kuwera ada gudang khusus, isinya
potongan kayu 2x3 cm ditumpuk rapi, semuanya masih bernilai dan bisa
dipakai lagi. Dari situ terbersit makna simbolis, apa yang semua
dipandang hina dan dibuang, tapi bagi seorang arsitek andal itu semua
tetap bermakna dan bermanfaat juga,” ujarnya.
Pada
sesi tanya-jawab, salah satu peserta bertanya apakah konsep-konsep
arsitektur tersebut juga diterapkan dalam pendidikan oleh Romo Mangun.
Menurut Eko Prawoto, Y.B Mangunwijaya mengadakan eksperimen pembelajaran
di SD Mangunan. Beliau memang begitu perhatian pada pendidikan anak
usia dini. Anak-anak tersebut dibiasakan berpikir kritis, kreatif,
integratif, dan eksploratif.
Misalnya
dengan melihat beberapa peristiwa secara simultan (sekaligus). Dalam
pelajaran sejarah tentang perang Diponegoro tak hanya jatuh korban jiwa
manusia, tapi ada jembatan yang rusak, harimau yang tertembak mati di
hutan, dll. Intinya ada banyak kejadian yang serempak terjadi saat itu.
Dari proses pembelajaran sederhana tersebut, anak-anak terbiasa berpikir
secara tidak linear tapi holistik.
Di
akhir acara, penulis sempat mewawancarai salah seorang peserta diskusi
publik. Menurut Theo Rifai, Mahasiswa semester VI, Fakultas Teknik
Jurusan Aristektur, Universitas Atma Jaya (UAJY) Yogyakarta itu ia
mendapat sesuatu yang berbeda. “Romo Mangun berani berpikir dan
bertindak melawan arus, ia juga berjuang bagi masyarakat kecil di tepi
kali Code,” ujarnya.
Sumber Foto: Dok. Pri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar