Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia edisi Cetak, Juni 2013
Farel,
Juan, Pandya, Amabel, dan Tita belum genap 6 tahun. Namun dua jempol
patut diacungkan untuk siswa-siswi KP (Kelompok Persiapan) di Yayasan
Pendidikan Mata Air Yogyakarta tersebut. Sebab mereka sudah belajar
berbagi sejak dini.
Pasca mengikuti pelajaran
ekstrakurikuler Bahasa Inggris setiap Jumat pagi, mereka menyantap
bekal masing-masing. Ada yang membawa sayur brokoli, buah strawberry,
kue serabi, dan sebungkus biskuit. Sebelumnya, Bunda Siska, wali kelas
di sana mengajak seluruh siswa berdoa bersama, yakni dalam rangka
mengucap syukur atas rejeki yang diberikan hari ini.
Lantas,
agar bisa lebih menikmati santapan aneka rasa, mereka saling berbagi
satu sama lain. Alhasil, semua bisa menyantap buah, sayur, dan makanan
kecil (snack). Kebersamaan tersebut terasa indah. Lewat
pengalaman sederhana ini, jiwa sosial dan rasa solidaritas anak didik
dipupuk sejak dini.
Pada usia golden years (usia
emas 5-12 tahun), pembelajaran budi pekerti memang penting sekali,
sehingga kelak menjadi kebiasaan hingga mereka beranjak dewasa. Menurut
Anand Krishna Ph.D, contoh pendidikan terbaik di dunia ialah
Finlandia. Di sana ada 4 kunci utama pembelajaran anak, yakni Quality (Mutu), Efficiency (Efisiensi), Equity atau Equility (Kesetaraan) dan Internationalisation (Berwawasan Internasional/Kemanusiaan) (Sumber: www.edu.fi/english). Dalam konteks ini, kesediaan berbagi bekal makanan dengan sesama teman sekelas menjadi latihan berbela rasa dan empati.
Selain itu, konsep cura personalis
pun berdasar pada keyakinan bahwa setiap anak itu unik. Tuhan terlalu
kreatif menciptakan dua anak manusia yang persis sama sehingga
pendekatan personal terhadap masing-masing individu menjadi signifikan.
Itulah
sebabnya, di dalam kelas TK Mata Air maksimal hanya ada 10 siswa.
Sehingga para guru bisa fokus mendampingi anak didiknya. Interaksi
antara sang pendidik dan para murid pun bersifat dialogis. Misalnya,
tatkala membahas ihwal dunia fauna. Para murid bebas mengusulkan hewan
apa yang hendak mereka pelajari bersama. Kemudian baru sang guru mencari
referensi terkait subjek tersebut.
Keunikan lainnya
terletak pada fase eksplorasi. Saat membahas tentang pesawat terbang
mereka tak hanya berteori, tetapi mereka juga belajar membuat kerajinan
miniatur pesawat. Tapi tak perlu membeli bahan-bahan di toko, mereka
memanfaatkan limbah kertas yang tak terpakai. Sehingga sejak dini anak
didik menjadi peduli lingkungan sekitar.
Beragam Inteligensia
Selama
ini terpatri mitos bahwa siswa cerdas itu hanya yang jago berhitung,
ulangan matematikanya mendapat nilai 10. Kemudian, saat penjurusan di
SMU juga harus masuk ke kelas IPA (Ilmu Pengetahuan Alam). Padahal
kecerdasan angka sekadar satu tolok ukur, setidaknya masih ada 7
inteligensia lain yang tak kalah penting.
Dalam konteks ini, penulis bersepakat dengan tesis Prof. Gardner. Ia memaparkan secara rinci dalam The Theory of Multiple Intelegence (1983).
Pertama, kecerdasan visual. Anak mudah membayangkan pelbagai bentuk maupun ruang di benaknya. Ia memiliki daya imajinasi kuat.
Kedua,
kecerdasan olah gerak tubuh alias kinestetik. Anak lebih mudah
mengekspresikan perasaan atau gagasan lewat gerakan. Umumnya, ia
memiliki badan atletis karena rajin bergerak dan berolahraga.
Ketiga,
kecerdasan bermusik (musikal). Mozart, Bach, Beethoven, Adjie M.S,
Erwin Gutawa, Djaduk Ferianto, dll. Mereka semua piawai memadukan aneka
bebunyian menjadi harmoni indah. Anak yang memiliki kemampuan seperti
ini cocok menjadi komposer, pemain musik serta dirigen dalam pentas
musik.
Keempat, kecerdasan sosial
(interpersonal), yaitu kemampuan memahami perasaan, watak, dan sifat
seseorang. Anak yang memiliki kemampuan seperti ini mudah menjalin
relasi dengan teman-temannya. Kemampuan jenis ini penting untuk
sosialisasi.
Kelima, kecerdasan intrapribadi.
Anak memiliki kemampuan beradaptasi dengan diri sendiri. Ia mudah
mengendalikan dirinya. Tipe ini cenderung pendiam, sering merenung, dan
berbicara dengan diri sendiri. Biasanya mereka lebih suka menyepi
ketimbang berkelompok.
Keenam, kecerdasan lingkungan (naturalis), yakni
kemampuan mengenali dan memahami lingkungan sekitar. Anak yang
memiliki kecenderungan tersebut senang beraktivitas di alam, antara
lain seperti bercocok tanam, berkemah, dan mengamati flora/fauna.
Terakhir tapi penting ketujuh,
kecerdasan eksistensial. Ini menyangkut persoalan mendasar dalam diri
manusia. Anak yang memiliki kecerdasan tersebut biasanya cenderung
bertanya-tanya dalam hati. Antara lain: sebelum aku dilahirkan aku di
mana? apa tujuan hidupku? apa yang terjadi setelah kematian? Dalam
tradisi Kejawen disebut Sangkan Paraning Dumadi.
Mengingat
kecerdasan setiap anak didik berbeda-beda, kita para guru mesti
menggali aneka kecerdasan anak didik. Pun menerapkan pendekatan sesuai
kecenderungan siswa tersebut. Alhasil, pembelajaran menjadi lebih mudah,
menyenangkan, dan efektif.
Waldwoche
Sedikit sharing, penulis sempat menjadi fasilitator siswa-siswi TK Kinderstation di PKBM (Sekolah Alam) Angon http://www.angon.org/, Mustokorejo, Sleman, Yogyakarta. Salah satu agenda yang paling ditunggu peserta ialah panen ketela ungu.
Anak-anak
berusia 4-7 tahun tersebut bersiap di sekitar sepetak tanah yang
dipenuhi tanaman ubi jalar. Karena mentari bersinar lumayan terik, ada
yang mengenakan caping untuk melindungi wajah, rambut, dan kulit kepala.
Mereka tampak seperti rombongan petani cilik.
Belajar
mencintai alam sebaiknya memang ditanamkan sejak usia dini. Tak hanya
lewat ceramah dan teori, tapi langsung praktik di lapangan. Tema
pelajaran hari itu ialah change alias perubahan. Penulis memaparkan bagaimana sebatang lung ketela ungu butuh waktu 4 bulan (120 hari) sebelum bisa dikonsumsi manusia. Bahkan saat memanen pun ada tahapan-tahapannya.
Pertama, bersihkan areal kebun dari dedaunan dan ranting kering.
Kedua, siapkan cikrak (semacam cangkul kecil).
Ketiga,
mulailah menggali tanah perlahan-lahan agar memudahkan proses
anak-anak dikelompokkan. Masing-masing terdiri dari 4 anggota, sehingga
mereka sekaligus belajar bergotong-royong.
Uniknya, bila
ada satu anak yang belum berhasil mendapat ketela ungu, anggota
kelompok yang lain harus membantu. Seluruh hasil panenan mereka
kumpulkan di dalam ember khusus. Mereka boleh membawanya pulang untuk
digoreng atau direbus.
Pada sesi refleksi, penulis
menguraikan lebih lanjut manfaat ubi jalar berwarna ungu tersebut.
Ternyata, tanaman merambat yang sering dibudidayakan petani di dataran
tinggi berhawa sejuk tersebut dapat juga dibuat menjadi es krim.
Ibu
Bety Nursahati, warga Jalan Imam Bonjol, Salatiga ialah pelopornya.
Ketela ungu dipilih sebagai bahan dasar pembuatan karena kaya kandungan
nutrisi, antara lain protein, karbohidrat, kalori, kalsium, fosfor, zat
besi, dan beta karoten. Selain itu, es krim ketela ungu sangat alami.
Kenapa? Karena tidak mengandung bahan pengawet, sehingga aman
dikonsumsi anak-anak dan orang dewasa.
Menurut Hennie
Triana Obert - ibunda seorang putri yang pernah menetap di Jerman -
anak-anak memang perlu rutin mendapat pelajaran Waldwoche semacam ini. Wald artinya "Hutan", sedangkan Woche sinonim dengan hari libur. Di sana, tidak semua lahan boleh dijadikan pemukiman penduduk.
Biasanya
setiap kota memiliki taman ataupun hutan kecil yang dilindungi. Setiap
akhir pekan, anak-anak bisa menghabiskan waktunya di alam bebas
mengobservasi satwa dan aneka flora. Tentu didampingi oleh para guru
yang kompeten dan berdedikasi.
Pendidikan Karakter
Seorang
ayah bercerita pengalaman nyatanya pada Rhenald Kasali. Si ayah pernah
mengajukan protes pada guru sebuah sekolah tempat anaknya belajar di
Amerika Serikat (AS). Kenapa? karena karangan berbahasa Inggris yang
ditulis anaknya diberi nilai E (Excellence). Artinya sempurna, hebat, bagus sekali.
Padahal
anaknya baru tiba di negeri Paman Sam itu. Ia pun baru mulai belajar
bahasa Inggris. "Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah
ditunjukkan kepada saya. Kemampuan verbalnya sangat terbatas. Menurut
saya tulisan itu buruk, logikanya terlalu sederhana. Saya memintanya
memperbaiki kembali, tapi dia menyerah," tandasnya.
Tulisan
itulah yang kemudian diserahkan si anak kepada gurunya. Tapi alih-alih
diberi nilai buruk, malah dipuji-puji. Apa tidak salah memberi nilai?
Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah
diberi nilai tinggi, sang ayah khawatir anaknya gampang berpuas diri.
Uniknya,
tatkala ia protes ke sekolah, ibu guru yang menerimanya hanya bertanya
singkat, “Maaf Bapak dari mana?” “Dari Indonesia,” jawab si ayah. Sang
guru pun tersenyum simpul. Ternyata pertemuan itu menjadi titik balik
perubahan paradigma si ayah. Itulah saat di mana ia mengubah cara dalam
mendidik anak.
“Saya mengerti,” jawab ibu guru yang
wajahnya mulai berkerut, namun tetap simpatik itu. “Beberapa kali saya
bertemu orang tua dari Indonesia yang anaknya belajar di sini,”
lanjutnya. “Di negeri Anda, guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi
kami mendidik di sini bukan untuk menghukum, melainkan untuk merangsang
anak didik agar maju. Istilah kerennya, Encouragement!”
Sang
guru melanjutkan argumentasi berdasar pengalaman di lapangan. “Saya
sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk anak
sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa
Inggris, saya dapat menjamin, ini sebuah karya yang hebat,” ujarnya
sembari menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat si anak. Dari
diskusi itu sang ayah mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat
mengukur prestasi orang lain menurut ukuran pribadi.
Dalam
konteks ini, para guru di Amerika sungguh memajukan anak didiknya.
Pantaslah anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah dan
novelis hebat. Bahkan sampai dapat memenangkan nobel. Bukan karena
mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan karakter
gurunya sangat kuat, yakni karakter yang membangun, bukan justru
merusak.
Kita para pendidik di Indonesia dapat memetik
hikmah dari kisah di atas. Orang hebat tidak pernah terlahir dari rahim
ketakutan. Temuan baru dalam ilmu otak pun menunjukkan bahwa pikiran
manusia tidak statis. Kelenjar otak dapat mengkeret (mengecil) sekaligus sebaliknya bisa tumbuh, berkembang, dan mekar.
Pungkasnya,
mari mendorong perubahan, bukan ancaman. Keakraban lebih indah
ketimbang - meminjam istilah Paulo Freire - keterasingan (alienasi).
Saatnya menabur benih harapan mulai dari ruang kelas masing-masing.
Salam Pendidikan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar