Dimuat di Majalah Pendidikan Online, Jumat/28 Juni 2013
Pada
saat-saat terakhir ziarah kehidupan beliau, Prof. Dr. Nicolaus
Drijarkara, S.J (13 Juni 1913-11 Februari 1967) secara rendah hati
mengakui bahwa almarhum tak paham “filsafat” tapi hanya tahu “pilsapi.”
Begitulah salah satu paparan dari Dr. G. Budi Subanar, S.J dalam
diskusi publik dan launching buku “Kumpulan Surat Romo
Drijarkara” pada Jumat 14 Juni 2013 silam dalam rangka Perayaan 100
Tahun Drijarkara di Hall Kampus Universitas Sanata Dharma, Mrican,
Yogyakarta.
Romo Banar juga mengisahkan metode produksi teks ala Drijarkara.
Caranya sungguh unik, yakni dengan membaca koran-koran bekas bungkus
kacang. Dari situ para mahasiswa menemukan kasus tentang Papua, nah tulisan tersebut lalu dijadikan bahan diskusi bersama di kelas.
Hal tersebut menginspirasi Romo Banar untuk menghebusi juga
kertas-kertas yang dianggap tidak berharga. “Saya pernah ikut
menyunting karya lengkap Drijarkara, tapi ternyata belum lengkap. Lalu,
saya mengumpulkan teks-teks berbahasa Jawa tulisan Romo Drijarkara
yang dimuat di Majalah Praba edisi 1952-1956. Totalnya ada 153 teks.
Tapi karena saya bukan dari bidang bahasa Indonesia, saya konsultasikan
dengan Pak Rahmanto. Sampai akhirnya ketemu judulnya, yakni Pendidikan ala Warung Pojok. Segmen pembaca buku tersebut memang orang-orang yang suka greneng-greneng (berdiskusi) di warung pojok,” ujarnya.
“Buku Pendidikan ala Warung Pojok dicetak ulang
beberapa kali. Bahkan oleh Depag (Departemen Agama) didistribusikan ke
seluruh Indonesia. Resensinya pun pernah dimuat di Majalah Femina yang
notabene segmennya kaum perempuan ibu kota,” imbuhnya lagi.
Dari pembacaan karya-karya Drijarkara selama ini, Romo Banar menangkap
kegelisahan mendalam, yakni tegangan antara yang modern dan
tradisional. Misalnya bom atom disejajarkan dengan apem, coca cola
disejajarkan dengan wedang ronde, sepatu hak tinggi untuk kalangan elit
disejajarkan dengan obat cacing untuk orang miskin, dst. Uniknya,
Drijarkara selalu menempatkan pengalaman yang lokal lebih unggul.
Lantas, Romo Banar membacakan salah satu bagian dari buku Kumpulan Surat Romo Drijarkara yang
berjudul “Kalifornia dan Kalireja” (halaman 89). Surat tersebut
ditulis Drijarkara di St. Louis, Amerika Serikat pada tahun 1964:
“Mahasiswa yang berasal dari Kalifornia suka membanggakan
daerahnya. Menurut pandangannya di seluruh U.S.A tidak ada wilayah yang
lebih indah! Pantaslah daerah itu disebut Kalifornia-hadiningrat….Tapi
tentulah kalah cantik sama Kalireja-hayuningrat! Demikianlah reaksi
saya!
Nah, itulah kalau mau banggan! Di manakah letak Kalireja! Di daerah perang Diponegoro, di pegunungan Menoreh. Pada zaman Diponegoro namanya Kalibawang. Pembaca di Yogya, yang ingin tahu, saya persilakan melihat ke Barat. Pandanglah gunung Kucir, yang puncaknya tajam itu! Nah, dari situ naik terus, beberapa jam; maka sampailah kita di desa Kalireja; daerah panili dan cengkeh, daerah yang selalu hijau dan asri.
Di pelosok itu saya pernah merayakan Pekan Suci dan Paskah, beberapa tahun yang lalu. Paskah di tengah-tengah rakyat gunung itu sangat mengesankan; lebih mengesankan dari paskah di Roma! Itulah sebabnya, sekarang ini, menjelang Pekan Suci dan Paskah, Kalireja selalu terkenang-kenang!”
Homo homini socius
Sebelumnya, Prof. Dr. Muji Sutrisno, S.J juga mengatakan bahwa Romo
Drijarkara memang selalu menulis surat untuk merefleksikan pengalaman
sehari-hari. “Beliau seorang cendekiawan yang mengkritisi keadaan
negeri dengan nurani Kristiani,” ujarnya.
Menurut Romo Mudji, Drijarkara seorang manusia Indonesia yang sudah
sampai kepada kemanusiaan sebagai warga negaranya. Ia telah melampaui
kekatolikan. Inti ajarannya sangat manusiawi, yakni mengajak homo homini lupus (manusia sebagai srigala bagi sesamanya) menjadi homo homini socius
(manusia sebagai kawan bagi sesamanya). Dengan kata lain, Romo
Drijarkara juga mengajak segenap insan untuk keluar dari “pembuayaan”
menuju “pembudayaan”. “Ia sungguh seorang pemikir, perenung sekaligus
pejuang untuk bangsa ini,” imbuhnya lagi.
Sanaha Purba, M. Hum sempat merasa lemas karena semua sudah terbahas
oleh Romo Mudji. Oleh sebab itu, ia hanya mau melihat Drijarkara lewat
pola penulisannya pada sebelum dan sesudah tahun 1962.
“Pasca 1960-an, situasi nasional memanas. Karena ada blok kanan dan
kiri, PKI dan Partai Katolik. Uniknya, Romo Drijarkara justru sangat
menyenangi klonengan, dagelan mataram, dan seni tradisi lainnya. Sehingga ketegangan antara dua kutub tersebut bisa cair dan ada filsafat dagelan-nya. Pola ini tak hanya diterapkan di dunia pendidikan tapi juga di rumah sakit,” ujarnya.
Menurut Sanaha, Drijarkara ingin lepas dari anggapan yang terlalu serius. “Ia kalau menghadapi para pemikir selalu dengan dagelan. Lantas, dari segi bahasa, beliau ngomong
dalam banyak bahasa seperti Jawa, Belanda, Italia, Inggris, dll. Kalau
hendak mengkritik orang asing memakai bahasa Belanda. Tapi kalau
menulis sesuatu yang serius memakai bahasa Jawa. Walau sudah sampai ke
mancanegara, Drijarkara itu tetap tokoh yang ndeso. Dalam pandangan subjektif saya, beliau ingin selalu dekat dengan semua orang,” imbuhnya lagi.
Susilo Nugroho atau lebih dikenal dengan nama Den Bagus Ing Ngarso yang bertindak sebagai moderator menanggapi secara positif, “Kalau
yang kecil dan sedikit itu didalami hasilnya lumayan. Generasi
sekarang memang banyak yang tak kenal dengan Drijarkara, tapi itu bukan
salah generasi muda, tapi salahnya angkatan di bawah Romo Drijarkara
yang tak pernah memperkenalkannya.” Komentar tersebut sontak mengundang
tepuk tangan dan sorak-sorai dari para peserta diskusi.
Giliran selanjutnya jatuh pada Trias Kuncahyono, seorang wartawan
Kompas yang baru mendarat dari Jakarta. “Mari memahami Romo Drijarkara
tak hanya dari segi ide, tapi dari segi praktisnya juga,” ujar Den
Bagus Ing Ngarso sembari mempersilakan.
“Saya kemarin sore baru mendarat di tanah air, kemudian malam hari saya ngebut membaca buku Kumpulan Surat Romo Drijarkara. Saat penerbangan dari Jakarta ke Yogyakarta tadi saya lanjutkan lagi,” kata pria yang telah 30 tahun menjadi jurnalis tersebut.
“Kalau kita membaca buku ini, kita seolah diajak ke tempat-tempat yang
ada di dalamnya. Misalnya saat berdiri di Yerusalem lalu menulis surat,
kalau orang yang membaca bisa merasa berada di sana juga, itu
merupakan capaian dari segi jurnalistik yang tak mudah,” imbuhnya.
“Romo Drijarkara juga bisa mengaitkan peristiwa di Eropa dengan situasi
di Indonesia lewat surat-suratnya. Ada perbandingan secara langsung
yang diuraikan dengan sangat enak. Misalnya jarak dari Roma ke Netuno
berapa kilometer? Seorang wartawan yang baik bisa menggambarkan lewat
teknik komparasi, yakni seperti dari Yogyakarta ke Brosot. Karena kalau
hanya nominal jarak 20 km saja itu tak terbayang di benak pembaca,”
ujarnya.
Menurut Trias Kucahyono, catatan-catatan kecil dalam buku ini layak
dibaca. Karena tak sekadar mereportase apa yang dilihat. Romo
Drijarkara selalu menyampaikan pelajaran hidup lewat tulisannya.
Misalnya saat bekerja di rumah sakit, seorang perawat ini homo homini socius
alias kita adalah sahabat bagi manusia lain. Jadi seorang perawat tak
cukup berbekal jarum suntik, tapi harus bisa melucu, membuat pasien
senang, dan lebih cepat sembuh. “Uniknya, apa yang ditulis saat itu
masih bisa diterapkan di zaman sekarang,” imbuhnya lagi.
Keunggulan tulisan Drijarkara lainnya ialah mampu menganalogikan hal
rumit dengan contoh-contoh sederhana. Misalnya Romo hendak menjelaskan
negara itu seperti apa. Ternyata negara itu ibarat gamelan. Ada banyak
instrumen yang mengeluarkan suara sesuai kodratnya masing-masing. Tapi
ketika bunyi bersama ada harmoni di situ. Nah negara juga seperti itu.
“Perumpamaan itu ditulis pada bulan April 1951 tapi isinya tetap
relevan hingga kini. Negara memang seperti gamelan. Kendang menjadi
panglimanya,” pungkasnya.
Kalau keempat narasumber di atas lebih banyak menyoroti tulisan-tulisan
Drijarkara, pihak panita juga menghadirkan mantan Guru Sejarah di SMA
Loyola, Semarang. Albertus Mariman pernah bertemu secara langsung
dengan beliau. “Saya 7 tahun kuliah di USD. Bagi saya seorang
mahasiswa dulu, Romo Drijarkara orangnya angker, kalau berjalan tegak
dan jarang tersenyum. Saya paling ingat saat beliau mengajar mengenai
ada di kelas. Ada itu apa? Tuhan itu adakah dan adanya di mana? Kalau
Tuhan ada di mana-mana kok Dia tetap satu, bingung saya…” ujarnya yang
disambut tepuk tangan peserta diskusi karena gaya bicaranya yang kocak.
Pada akhir acara Den Bagus Ing Ngarso meminta beberapa hadirin mengomentari paparan dalam diskusi dan launching buku “Kumpulan Surat Romo Drijarkara”. Masing-masing peserta juga mendapat bingkisan satu buku.
Menurut Prof. Sugihastuti dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas
Gadjah Mada (UGM), “Acara ini mentradisikan tradisi tulis lebih dari
tradisi lisan. Melalui tradisi tulis kelisanan terkurangi dan mari kita
baca Drijarkara lebih elok lagi.”
Salah seorang peserta lainnya berpendapat, “Hal-hal yang rumit ternyata
sederhana. Hidup yang berliku-liku pun sederhana, kesederhanaan
merupakan jalan mencapai kesempurnaan. Dengan menulis sesuatu yang
abstrak bisa menjadi sederhana. Selamat membaca karya Drijarkara!”
Sumber Foto: Dok. Pri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar