Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Senin/3 Juni 2013
http://mjeducation.co/mengentaskan-kemiskinan-lewat-tindakan-liputan-sarasehan-peringatan-90-tahun-kolese-st-ignatius-kolsani-yogyakarta/
Empat jam terasa masih kurang untuk membahas salah satu penyakit sosial yang bernama kemiskinan. Pada Minggu (26/5/2013) lalu, sejak pukul 10.00-14.00 WIB ratusan peserta sarasehan belajar bersama para tokoh masyarakat untuk mengembangkan rasa solidaritas lewat aksi nyata. Tujuannya agar dapat mengurangi jumlah orang miskin yang hidup dengan uang Rp 8.650 per hari atau setara dengan Rp 259.520 per bulan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), kini tercatat ada 30 juta orang miskin di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini.
Dr. Benedictus Hari Juliawan, SJ menyampaikan nominal tersebut dalam makalahnya sebagai parameter tingkat kemiskinan di Indonesia. Akademisi bidang Sosiologi dari Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta itu pun membandingkan dengan angka yang ditetapkan Bank Dunia sejak 1981 silam. Seseorang disebut miskin jika mendapat pemasukan kurang dari 1 dolar Amerika Serikat (AS) per hari. Lantas, angka tersebut direvisi pada 2005 menjadi 1,25 dolar AS per hari.
Di awal acara, penerima tamu sekaligus MC (Master of Ceremony) menyapa ramah seluruh hadirin, “Selamat datang di rumah kami di Kolese St. Ignatius (Kolsani), Kotabaru, Yogyakarta. Di luar pintunya memang kecil, tapi di dalamnya luas.” Acara sarasehan di Minggu pagi yang cerah tersebut merupakan peringatan 90 tahun Kolsani. Sebelumnya, panitia telah mengadakan sarasehan ihwal kehidupan umat beragama yang plural di Indonesia serta tantangan bangsa dalam menghadapi radikalisme.
Tema lain yang pernah diangkat ialah isu lingkungan hidup dan antisipasi pemanasan global. “Nah kini kita akan fokus membahas seputar akar masalah kemiskinan dan solusinya. Selaku narasumber Hj. Dyah Suminar (Pengusaha Sukses dan Ibu Rumah Tangga), Ir. Syarif Armunanto (Perwakilan Bupati Gunung Kidul, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan (Bappeda)), Dr. Benedictus Hari Juliawan, SJ (Akademisi USD Yogyakarta), Romo Antonius Sumarwan, SJ (Praktisi Credit Union dari Kalimantan Barat), dan Dr. Y. Sari Murti Widiyastuti, SH, M.Hum (Pakar Hukum dan Dosen Universitas Atma Jaya Yogyakarta). Semula GKR Hemas, Ratu Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat pun akan rawuh (hadir), tapi pada Rabu siang beliau mendapat tugas mendadak dari DPD (Dewan Perwakilan Daerah) RI untuk berangkat ke Padang, Sumatera Barat,” imbuhnya.
Pada sesi pertama, Hj. Dyah Suminar lebih banyak berbagi pengalaman. Ia pebisnis tangguh yang memimpin 12 bidang usaha kecil dan menengah (UKM). Istri walikota Yogyakarta periode terdahulu Herry Zudianto tersebut berhasil mengentaskan kemiskinan masyarakat. Tak kurang dari 650 pegawai mendapat upah sesuai standar UMR (Upah Minimum Regional). Sejak lulus dari Fakultas Ekonomi (FE), Universitas Gadjah Mada (UGM), ia memang sudah terjun ke dunia bisnis. Kenapa pilihannya jatuh pada sektor informal? Karena UKM terbukti tidak goyah tatkala krisis ekonomi berkali-kali mendera. “Tukang soto di dekat rumah saya tetap laris. Mendiang Prof. Mubyarto pun mengajari kami di kampus bahwa Usaha Kecil Menengah merupakan elemen penting dalam perekonomian, jadi jangan pernah diremehkan dan dipandang sebelah mata,” imbuhnya.
Salah satu bidang usaha yang digelutinya ialah jasa konveksi. Para penjahit dapat membuat 1.500 jilbab per hari. “Kegiatan tersebut langsung menghasilkan pemasukan bagi para ibu rumah tangga. Jahit teknik lurus sangat mudah, tak perlu neko-neko, hampir semua orang bisa. Tak bermaksud pamer, tapi ketika kami selesai bertugas di kota Yogyakarta, angka kemiskinan menurun, dari semula 83.000 orang miskin menjadi 54.530 orang saja. Tapi merupakan tugas kita bersama untuk terus mengurangi jumlah tersebut,” ungkapnya.
Saat sesi tanya jawab, Gunawan dari Bantul bertanya kenapa dulu Pak Herry Zudianto begitu suka membuat taman? Bahkan sampai-sampai beliau disebut Wagiman (Walikota gila taman). “Kok gila taman, bukan gila mengentaskan orang miskin?” tanya salah satu peserta sarasehan tersebut secara kritis.
Menurut Hj. Dyah Suminar, Bapak suka membuat taman-taman di kota Yogyakarta karena dulu Yogya itu peteng (gelap), lampu jalan banyak yang mati, taman-taman gersang, terlantar dan tidak menarik. Padahal ibarat kereta api, selain sektor pendidikan lokomotif Yogya ialah sektor pariwisata. Tapi kenapa pada jam delapan malam para wisatawan sudah kembali ke hotel? “Saat kota mulai terang dan banyak taman dihias cantik, mereka mulai mau berjalan-jalan lagi sampai larut malam, entah itu membeli gudeg atau sekadar menikmati suasana. Alhasil, ekonomi rakyat di Yogyakarta kembali menggeliat. Salah satu contohnya pasar Klitikan (barang bekas pantas pakai) di Kuncen, sekarang kan ramai sekali di sana,” tuturnya.
“Yang belum sempat digarap secara memadai ialah XT-Square karena Bapak keburu habis masa jabatannya. Semula konsepnya mirip Pasar Sukawati di Gianyar, Bali, di sana ada pertunjukan seni live, para perajin pun langsung membuat kerajinannya, semua boleh ditonton, dan dibeli oleh para pengunjung. Saat keliling ke RT (Rukun Tetangga), saya juga mengajak ibu-ibu PKK agar gemar menanam di halaman rumah masing-masing. Kalau ada tamu dari luar daerah diajak ke taman tersebut agar mereka bisa membeli suplir, jemani, dan tanaman hias lainnya yang telah diberi label harga,” imbuhnya lagi.
Pengalaman dan praksis mengatasi kemiskinan telah dipaparkan Bu Dyah, selanjutnya giliran Ir. Syarif Armunanto. Menurut Kepala Badan Perencanaan Pembangunan (Bappeda) tersebut, Kabupaten Gunung Kidul sangat luas karena merupakan 46 persen wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Kendati demikian, keterbatasan akses hampir di segala aspek kehidupan masih terjadi di sana. Penyebabnya karena kondisi geografis sulit, perbukitan kapur yang gersang, air terbatas, tanaman pangan minim, pendidikan tak merata, kesehatan buruk, investasi sepi, lapangan kerja langka, dan beban ekonomi menindih.
Ir. Syarif pun mengkritisi BLT (Bantuan Langsung Tunai) dan subsidi sejenisnya dari pemerintah. “Sebenarnya masyarakat miskin itu cukup ulet, tapi justru melempem dan manja karena program tersebut. Pemerintah harusnya meminimalisir program semacam itu,” ujarnya. Solusi yang lebih tepat untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan ialah dengan memberdayakan sumber daya alam The Hidden Paradise yang sudah ada. “Manfaatkan aset yang ada di wilayah masing-masing. Tapi pengelolaan harus dipercayakan kepada warga setempat, tidak dimonopoli oleh pemerintah, dan kalau bisa pada awalnya tak usah dipungut pajak dulu. Saat ini yang sudah berjalan antara lain wisata gua Pindul, kerajinan batik khas Gunung Kidul (Walang Sinanding Jati), air terjun Sri Gethuk, gunung api purba Nglanggeran, embong Tiban, dan pantai-pantai eksotis berpasir putih di pesisir selatan Gunung Kidul,” imbuhnya lagi.
Secara khusus Ir. Syarif mempromosikan gunung api purba Nglanggeran dan embong Tiban di daerah Pathuk, Gunung Kidul. “Ke depan kami mencoba mengembangkan tanaman holtikultura dan kebun buah di kawasan Sultan Ground (tanah milik Sultan) tersebut,“ ujarnya. Ia juga memperkenalkan Kencono Rukmi, durian khas Gunung Kidul, daging buahnya berwarna orange. Menurut penelitian para ahli, kandungan alkohol dan gulanya relatif rendah. Harganya pun menguntungkan kaum petani, yakni Rp50.000 per buah. “Kami bekerjasama dengan Yayasan Obor Tani dari Ungaran. Dulu masyarakat setempat menanam apa saja, tapi kini lebih ditata. Kami membangunkan embong (irigasi) untuk pengairan tanaman durian dan kelengkeng. Bahkan sebelum buah-buah tersebut bisa dipanen, para petani yang menggarap lahan dibayar Rp40.000 per hari. Monggo bapak dan ibu berkunjung ke gunung api purba Nglanggeran dan embong Tiban,” pungkasnya.
Politik Pro Rakyat Miskin
Selanjutnya giliran Dr. Benedictus Hari Juliawan, SJ, yang mengajak hadirin agar tidak alergi terhadap politik. “Ayo kita berpolitik. Selama ini memang ada pihak-pihak yang menyalahgunakan kekuasaan demi kepentingan pribadi atau kelompoknya sendiri, justru itu menjadi tantangan untuk kita lebih terlibat. Agar politik tidak selalu dikuasai mereka yang korup,” ujarnya.
Akademisi dari USD Yogyakarta ini juga menyampaikan analisisnya. “Kelas menengah di Indonesia tergolong tukang komplain profesional. Mereka sudah relatif mapan dan tercukupi kebutuhan sandang, pangan dan papannya, tapi ketika hobi untuk mengisi waktu luang terganggu, mereka komplain lewat Twitter, Facebook, dan media sosial lain. Itu tak cukup, kita harus mengorganisir diri agar keluhan sungguh didengar. Kalau mau berdampak luas, terjunlah ke politik, bahkan kalau perlu jadi pejabat negara agar bisa mengubah kebijakan publik lebih pro rakyat miskin,” ujarnya mantap. “Kalau di konteks internasional, kita bisa belajar dari Evo Marales, Presiden Bolivia. Sedangkan untuk lingkup nasional, kita bisa belajar dari fenomena Jokowi dan Ahok di DKI Jakarta,” imbuhnya lagi.
Lalu, Romo Hari juga memberi contoh gerakan dari akar rumput (grass root) yang dirintis mendiang Romo Tan Soe Ie SJ. Pasca kembali bertugas dari Timor Timur, beliau tinggal di daerah Kaliurang, Yogyakarta. Selain menjalani aktivitas di paroki seperti layaknya biarawan lainnya, Romo Tan juga mendampingi para petani di Dusun Ponggol. Apa yang dilakukan? Ternyata beternak cacing di media kotoran sapi. Tapi bukan cacingnya yang dikonsumsi melainkan kotoran cacingnya. Jadi peternakan Romo Tan dikenal dengan sebutan kascing (bekas cacing). Kotoran cacing tersebut merupakan pupuk organik yang dapat menyuburkan tanaman.
Sejak tahun 2003 hingga kini Mas Indra, salah satu anak didik Romo Tan beserta 16 Kepala Keluarga (KK) di Dusun Ponggol terus memproduksi pupuk alami tersebut, hasilnya sudah mencapai berton-ton. Selain itu, mereka juga memiliki lahan pertanian organik, bumi perkemahan, dan sapi-sapi perah. “Lewat kisah tersebut, saya hendak menyatakan bahwa berdoa memang membuat hati tenteram hari ini, tapi itu tak bisa mengubah nasib banyak orang di masa depan. Dengan mengolah kascing, kini masyarakat di Dusun Ponggol relatif sejahtera hidupnya. Silakan berkunjung ke sana jika hendak melihat langsung. Seluruh produk organik mereka diberi label TOS dan dapat Anda temukan di pusat-pusat perbelanjaan di kota,” imbuh Romo Hari.
Bank Organik
Romo Antonius Sumarwan, SJ (Praktisi Credit Union dari Kalimantan Barat) memperkenalkan Bank Organik yang bernama Credit Union (CU) alias Koperasi Kredit. Pelopor CU bernama Friedrich Wilhelm Raiffeisen (30 Maret 1818 – 11 Maret 1888), seorang Walikota dari Jerman. Di daerah kekuasaannya banyak warga miskin yang kelaparan. Lalu, ia mengajak orang-orang kaya mengumpulkan dana untuk orang miskin. Tapi kok mereka tetap miskin. Kemudian strateginya diubah, bantuan untuk orang miskin bukan dalam bentuk uang, tapi dalam bentuk roti, tapi toh tetap miskin dan mereka datang mengemis lagi.
Artinya, cara-cara karitatif ala Sinterklas semacam itu tak bisa mengatasi akar masalah kemiskinan struktural. Kenapa? kemiskinan harus diatasi oleh orang miskin itu sendiri. Bagaimana caranya? Uang dikumpulkan lalu bisa dipinjam untuk modal usaha mereka. Prinsipnya kita harus menggali potensi dari orang-orang kecil, terampil mengelola, tekun mengembangkan, dan niscaya perlahan menjadi sejahtera bersama. “Konsep itu pula yang sukses dipakai oleh Muhammad Yunus di Bangladesh lewat Grameen Bank hingga akhirnya ia mendapat hadiah nobel,“ papar Romo Sumarwan. Untuk lebih detail ihwal CU dan kebermanfaatannya, ia telah menulis buku “Hidup Berkelimpahan bersama Kredit Union” (Elex Media, 2013).
Sebagai penutup Ibu Sari Murti yang bertindak sebagai moderator sekaligus narasumber turut urun rembug. Menurut pakar hukum dan dosen UAJY tersebut, negara perlu mengurangi sebanyak mungkin upaya perselingkuhan antara politisi dan pengusaha. “Karena sistem politik dan sistem ekonomi yang tak adil itulah jurang kemiskinan antara yang kaya dan miskin kian menganga,” ujarnya.
Akhir kata, kemiskinan memang bukan karena wong cilik malas, kurang bekerja keras, dan bodoh, tapi lebih karena adanya struktur politik, ekonomi yang menindas dan sistem perbankan yang tak transparan. Dalam konteks ini, pemimpin pro rakyat sungguh menjadi idaman kita bersama, yakni seperti Bung Hatta yang memilih untuk tidak membeli sepatu Bally. Padahal sepatu Bally sangat terkenal pada masa tahun 1950-an. Beliau hanya menggunting potongan iklan sepatu Bally itu dan menyimpannya di buku harian. Puteri beliau yang menemukan guntingan gambar iklan tersebut pasca Bung Hatta wafat. Iwan Fals sampai menulis sebuah lagu khusus untuk Bapak Proklamator tersebut:
Tuhan terlalu cepat semua
Kau panggil satu-satunya yang tersisa
Proklamator tercinta…
Jujur lugu dan bijaksana
Mengerti apa yang terlintas dalam jiwa
Rakyat Indonesia…
Reff :
Hujan air mata dari pelosok negeri
Saat melepas engkau pergi…
Berjuta kepala tertunduk haru
Terlintas nama seorang sahabat
Yang tak lepas dari namamu…
Terbayang baktimu, terbayang jasamu
Terbayang jelas… jiwa sederhanamu
Bernisan bangga, berkafan doa
Dari kami yang merindukan orang
Sepertimu…
Sumber Foto: Dok. Pri
http://mjeducation.co/mengentaskan-kemiskinan-lewat-tindakan-liputan-sarasehan-peringatan-90-tahun-kolese-st-ignatius-kolsani-yogyakarta/
Empat jam terasa masih kurang untuk membahas salah satu penyakit sosial yang bernama kemiskinan. Pada Minggu (26/5/2013) lalu, sejak pukul 10.00-14.00 WIB ratusan peserta sarasehan belajar bersama para tokoh masyarakat untuk mengembangkan rasa solidaritas lewat aksi nyata. Tujuannya agar dapat mengurangi jumlah orang miskin yang hidup dengan uang Rp 8.650 per hari atau setara dengan Rp 259.520 per bulan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), kini tercatat ada 30 juta orang miskin di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini.
Dr. Benedictus Hari Juliawan, SJ menyampaikan nominal tersebut dalam makalahnya sebagai parameter tingkat kemiskinan di Indonesia. Akademisi bidang Sosiologi dari Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta itu pun membandingkan dengan angka yang ditetapkan Bank Dunia sejak 1981 silam. Seseorang disebut miskin jika mendapat pemasukan kurang dari 1 dolar Amerika Serikat (AS) per hari. Lantas, angka tersebut direvisi pada 2005 menjadi 1,25 dolar AS per hari.
Di awal acara, penerima tamu sekaligus MC (Master of Ceremony) menyapa ramah seluruh hadirin, “Selamat datang di rumah kami di Kolese St. Ignatius (Kolsani), Kotabaru, Yogyakarta. Di luar pintunya memang kecil, tapi di dalamnya luas.” Acara sarasehan di Minggu pagi yang cerah tersebut merupakan peringatan 90 tahun Kolsani. Sebelumnya, panitia telah mengadakan sarasehan ihwal kehidupan umat beragama yang plural di Indonesia serta tantangan bangsa dalam menghadapi radikalisme.
Tema lain yang pernah diangkat ialah isu lingkungan hidup dan antisipasi pemanasan global. “Nah kini kita akan fokus membahas seputar akar masalah kemiskinan dan solusinya. Selaku narasumber Hj. Dyah Suminar (Pengusaha Sukses dan Ibu Rumah Tangga), Ir. Syarif Armunanto (Perwakilan Bupati Gunung Kidul, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan (Bappeda)), Dr. Benedictus Hari Juliawan, SJ (Akademisi USD Yogyakarta), Romo Antonius Sumarwan, SJ (Praktisi Credit Union dari Kalimantan Barat), dan Dr. Y. Sari Murti Widiyastuti, SH, M.Hum (Pakar Hukum dan Dosen Universitas Atma Jaya Yogyakarta). Semula GKR Hemas, Ratu Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat pun akan rawuh (hadir), tapi pada Rabu siang beliau mendapat tugas mendadak dari DPD (Dewan Perwakilan Daerah) RI untuk berangkat ke Padang, Sumatera Barat,” imbuhnya.
Pada sesi pertama, Hj. Dyah Suminar lebih banyak berbagi pengalaman. Ia pebisnis tangguh yang memimpin 12 bidang usaha kecil dan menengah (UKM). Istri walikota Yogyakarta periode terdahulu Herry Zudianto tersebut berhasil mengentaskan kemiskinan masyarakat. Tak kurang dari 650 pegawai mendapat upah sesuai standar UMR (Upah Minimum Regional). Sejak lulus dari Fakultas Ekonomi (FE), Universitas Gadjah Mada (UGM), ia memang sudah terjun ke dunia bisnis. Kenapa pilihannya jatuh pada sektor informal? Karena UKM terbukti tidak goyah tatkala krisis ekonomi berkali-kali mendera. “Tukang soto di dekat rumah saya tetap laris. Mendiang Prof. Mubyarto pun mengajari kami di kampus bahwa Usaha Kecil Menengah merupakan elemen penting dalam perekonomian, jadi jangan pernah diremehkan dan dipandang sebelah mata,” imbuhnya.
Salah satu bidang usaha yang digelutinya ialah jasa konveksi. Para penjahit dapat membuat 1.500 jilbab per hari. “Kegiatan tersebut langsung menghasilkan pemasukan bagi para ibu rumah tangga. Jahit teknik lurus sangat mudah, tak perlu neko-neko, hampir semua orang bisa. Tak bermaksud pamer, tapi ketika kami selesai bertugas di kota Yogyakarta, angka kemiskinan menurun, dari semula 83.000 orang miskin menjadi 54.530 orang saja. Tapi merupakan tugas kita bersama untuk terus mengurangi jumlah tersebut,” ungkapnya.
Saat sesi tanya jawab, Gunawan dari Bantul bertanya kenapa dulu Pak Herry Zudianto begitu suka membuat taman? Bahkan sampai-sampai beliau disebut Wagiman (Walikota gila taman). “Kok gila taman, bukan gila mengentaskan orang miskin?” tanya salah satu peserta sarasehan tersebut secara kritis.
Menurut Hj. Dyah Suminar, Bapak suka membuat taman-taman di kota Yogyakarta karena dulu Yogya itu peteng (gelap), lampu jalan banyak yang mati, taman-taman gersang, terlantar dan tidak menarik. Padahal ibarat kereta api, selain sektor pendidikan lokomotif Yogya ialah sektor pariwisata. Tapi kenapa pada jam delapan malam para wisatawan sudah kembali ke hotel? “Saat kota mulai terang dan banyak taman dihias cantik, mereka mulai mau berjalan-jalan lagi sampai larut malam, entah itu membeli gudeg atau sekadar menikmati suasana. Alhasil, ekonomi rakyat di Yogyakarta kembali menggeliat. Salah satu contohnya pasar Klitikan (barang bekas pantas pakai) di Kuncen, sekarang kan ramai sekali di sana,” tuturnya.
“Yang belum sempat digarap secara memadai ialah XT-Square karena Bapak keburu habis masa jabatannya. Semula konsepnya mirip Pasar Sukawati di Gianyar, Bali, di sana ada pertunjukan seni live, para perajin pun langsung membuat kerajinannya, semua boleh ditonton, dan dibeli oleh para pengunjung. Saat keliling ke RT (Rukun Tetangga), saya juga mengajak ibu-ibu PKK agar gemar menanam di halaman rumah masing-masing. Kalau ada tamu dari luar daerah diajak ke taman tersebut agar mereka bisa membeli suplir, jemani, dan tanaman hias lainnya yang telah diberi label harga,” imbuhnya lagi.
Pengalaman dan praksis mengatasi kemiskinan telah dipaparkan Bu Dyah, selanjutnya giliran Ir. Syarif Armunanto. Menurut Kepala Badan Perencanaan Pembangunan (Bappeda) tersebut, Kabupaten Gunung Kidul sangat luas karena merupakan 46 persen wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Kendati demikian, keterbatasan akses hampir di segala aspek kehidupan masih terjadi di sana. Penyebabnya karena kondisi geografis sulit, perbukitan kapur yang gersang, air terbatas, tanaman pangan minim, pendidikan tak merata, kesehatan buruk, investasi sepi, lapangan kerja langka, dan beban ekonomi menindih.
Ir. Syarif pun mengkritisi BLT (Bantuan Langsung Tunai) dan subsidi sejenisnya dari pemerintah. “Sebenarnya masyarakat miskin itu cukup ulet, tapi justru melempem dan manja karena program tersebut. Pemerintah harusnya meminimalisir program semacam itu,” ujarnya. Solusi yang lebih tepat untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan ialah dengan memberdayakan sumber daya alam The Hidden Paradise yang sudah ada. “Manfaatkan aset yang ada di wilayah masing-masing. Tapi pengelolaan harus dipercayakan kepada warga setempat, tidak dimonopoli oleh pemerintah, dan kalau bisa pada awalnya tak usah dipungut pajak dulu. Saat ini yang sudah berjalan antara lain wisata gua Pindul, kerajinan batik khas Gunung Kidul (Walang Sinanding Jati), air terjun Sri Gethuk, gunung api purba Nglanggeran, embong Tiban, dan pantai-pantai eksotis berpasir putih di pesisir selatan Gunung Kidul,” imbuhnya lagi.
Secara khusus Ir. Syarif mempromosikan gunung api purba Nglanggeran dan embong Tiban di daerah Pathuk, Gunung Kidul. “Ke depan kami mencoba mengembangkan tanaman holtikultura dan kebun buah di kawasan Sultan Ground (tanah milik Sultan) tersebut,“ ujarnya. Ia juga memperkenalkan Kencono Rukmi, durian khas Gunung Kidul, daging buahnya berwarna orange. Menurut penelitian para ahli, kandungan alkohol dan gulanya relatif rendah. Harganya pun menguntungkan kaum petani, yakni Rp50.000 per buah. “Kami bekerjasama dengan Yayasan Obor Tani dari Ungaran. Dulu masyarakat setempat menanam apa saja, tapi kini lebih ditata. Kami membangunkan embong (irigasi) untuk pengairan tanaman durian dan kelengkeng. Bahkan sebelum buah-buah tersebut bisa dipanen, para petani yang menggarap lahan dibayar Rp40.000 per hari. Monggo bapak dan ibu berkunjung ke gunung api purba Nglanggeran dan embong Tiban,” pungkasnya.
Politik Pro Rakyat Miskin
Selanjutnya giliran Dr. Benedictus Hari Juliawan, SJ, yang mengajak hadirin agar tidak alergi terhadap politik. “Ayo kita berpolitik. Selama ini memang ada pihak-pihak yang menyalahgunakan kekuasaan demi kepentingan pribadi atau kelompoknya sendiri, justru itu menjadi tantangan untuk kita lebih terlibat. Agar politik tidak selalu dikuasai mereka yang korup,” ujarnya.
Akademisi dari USD Yogyakarta ini juga menyampaikan analisisnya. “Kelas menengah di Indonesia tergolong tukang komplain profesional. Mereka sudah relatif mapan dan tercukupi kebutuhan sandang, pangan dan papannya, tapi ketika hobi untuk mengisi waktu luang terganggu, mereka komplain lewat Twitter, Facebook, dan media sosial lain. Itu tak cukup, kita harus mengorganisir diri agar keluhan sungguh didengar. Kalau mau berdampak luas, terjunlah ke politik, bahkan kalau perlu jadi pejabat negara agar bisa mengubah kebijakan publik lebih pro rakyat miskin,” ujarnya mantap. “Kalau di konteks internasional, kita bisa belajar dari Evo Marales, Presiden Bolivia. Sedangkan untuk lingkup nasional, kita bisa belajar dari fenomena Jokowi dan Ahok di DKI Jakarta,” imbuhnya lagi.
Lalu, Romo Hari juga memberi contoh gerakan dari akar rumput (grass root) yang dirintis mendiang Romo Tan Soe Ie SJ. Pasca kembali bertugas dari Timor Timur, beliau tinggal di daerah Kaliurang, Yogyakarta. Selain menjalani aktivitas di paroki seperti layaknya biarawan lainnya, Romo Tan juga mendampingi para petani di Dusun Ponggol. Apa yang dilakukan? Ternyata beternak cacing di media kotoran sapi. Tapi bukan cacingnya yang dikonsumsi melainkan kotoran cacingnya. Jadi peternakan Romo Tan dikenal dengan sebutan kascing (bekas cacing). Kotoran cacing tersebut merupakan pupuk organik yang dapat menyuburkan tanaman.
Sejak tahun 2003 hingga kini Mas Indra, salah satu anak didik Romo Tan beserta 16 Kepala Keluarga (KK) di Dusun Ponggol terus memproduksi pupuk alami tersebut, hasilnya sudah mencapai berton-ton. Selain itu, mereka juga memiliki lahan pertanian organik, bumi perkemahan, dan sapi-sapi perah. “Lewat kisah tersebut, saya hendak menyatakan bahwa berdoa memang membuat hati tenteram hari ini, tapi itu tak bisa mengubah nasib banyak orang di masa depan. Dengan mengolah kascing, kini masyarakat di Dusun Ponggol relatif sejahtera hidupnya. Silakan berkunjung ke sana jika hendak melihat langsung. Seluruh produk organik mereka diberi label TOS dan dapat Anda temukan di pusat-pusat perbelanjaan di kota,” imbuh Romo Hari.
Bank Organik
Romo Antonius Sumarwan, SJ (Praktisi Credit Union dari Kalimantan Barat) memperkenalkan Bank Organik yang bernama Credit Union (CU) alias Koperasi Kredit. Pelopor CU bernama Friedrich Wilhelm Raiffeisen (30 Maret 1818 – 11 Maret 1888), seorang Walikota dari Jerman. Di daerah kekuasaannya banyak warga miskin yang kelaparan. Lalu, ia mengajak orang-orang kaya mengumpulkan dana untuk orang miskin. Tapi kok mereka tetap miskin. Kemudian strateginya diubah, bantuan untuk orang miskin bukan dalam bentuk uang, tapi dalam bentuk roti, tapi toh tetap miskin dan mereka datang mengemis lagi.
Artinya, cara-cara karitatif ala Sinterklas semacam itu tak bisa mengatasi akar masalah kemiskinan struktural. Kenapa? kemiskinan harus diatasi oleh orang miskin itu sendiri. Bagaimana caranya? Uang dikumpulkan lalu bisa dipinjam untuk modal usaha mereka. Prinsipnya kita harus menggali potensi dari orang-orang kecil, terampil mengelola, tekun mengembangkan, dan niscaya perlahan menjadi sejahtera bersama. “Konsep itu pula yang sukses dipakai oleh Muhammad Yunus di Bangladesh lewat Grameen Bank hingga akhirnya ia mendapat hadiah nobel,“ papar Romo Sumarwan. Untuk lebih detail ihwal CU dan kebermanfaatannya, ia telah menulis buku “Hidup Berkelimpahan bersama Kredit Union” (Elex Media, 2013).
Sebagai penutup Ibu Sari Murti yang bertindak sebagai moderator sekaligus narasumber turut urun rembug. Menurut pakar hukum dan dosen UAJY tersebut, negara perlu mengurangi sebanyak mungkin upaya perselingkuhan antara politisi dan pengusaha. “Karena sistem politik dan sistem ekonomi yang tak adil itulah jurang kemiskinan antara yang kaya dan miskin kian menganga,” ujarnya.
Akhir kata, kemiskinan memang bukan karena wong cilik malas, kurang bekerja keras, dan bodoh, tapi lebih karena adanya struktur politik, ekonomi yang menindas dan sistem perbankan yang tak transparan. Dalam konteks ini, pemimpin pro rakyat sungguh menjadi idaman kita bersama, yakni seperti Bung Hatta yang memilih untuk tidak membeli sepatu Bally. Padahal sepatu Bally sangat terkenal pada masa tahun 1950-an. Beliau hanya menggunting potongan iklan sepatu Bally itu dan menyimpannya di buku harian. Puteri beliau yang menemukan guntingan gambar iklan tersebut pasca Bung Hatta wafat. Iwan Fals sampai menulis sebuah lagu khusus untuk Bapak Proklamator tersebut:
Tuhan terlalu cepat semua
Kau panggil satu-satunya yang tersisa
Proklamator tercinta…
Jujur lugu dan bijaksana
Mengerti apa yang terlintas dalam jiwa
Rakyat Indonesia…
Reff :
Hujan air mata dari pelosok negeri
Saat melepas engkau pergi…
Berjuta kepala tertunduk haru
Terlintas nama seorang sahabat
Yang tak lepas dari namamu…
Terbayang baktimu, terbayang jasamu
Terbayang jelas… jiwa sederhanamu
Bernisan bangga, berkafan doa
Dari kami yang merindukan orang
Sepertimu…
Sumber Foto: Dok. Pri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar