Juni 29, 2013

Gerobak Sapi sebagai Kekuatan Budaya Kaum Tani, Liputan Festival Gerobak Sapi 2013 di Yogyakarta

Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Sabtu/29 Juni 2013

Zaman terus bergulir, sarana transportasi pun kian berkembang pesat. Kini keberadaan gerobak sapi tergantikan oleh “kuda menggigit besi” alias truk atau pick up. Masyarakat modern jarang menjumpai gerobak sapi yang terbuat dari kayu, beratap anyaman daun aren, dan beroda kayu yang dibalut plat besi. Padahal sejatinya, gerobak sapi kendaraan yang ramah lingkungan dan tak butuh BBM (bahan bakar minyak). Kotoran sapinya pun bisa dijadikan pupuk organik untuk tanaman.

Dulu gerobak sapi sempat menjadi andalan alat angkut hasil bumi kaum petani. Tak jarang, para petani memasarkan produknya sampai ke luar kota. Perjalanan menuju tempat tujuan memakan waktu lama. Bahkan mereka sampai harus bermalam dan tidur di dalam gerobak. Para petani tak takut pada gelap dan dingin udara malam yang menusuk. Semua dilakukan untuk menafkahi keluarga di rumah.

Tapi tak hanya hujan, dingin malam, dan terik panas mentari yang dihadapi oleh para penarik gerobak sapi tersebut. Perampok bisa sewaktu-waktu muncul dan merampas seluruh hasil bumi mereka. Tak semua petani memiliki nyali untuk melawan sehingga mereka menyewa orang-orang yang berani dan jago berkelahi untuk mengamankan gerobak sapi. Orang-orang tersebut dijuluki bajingan. Maka tak heran kalau sampai sekarang sopir gerobak sapi tetap dipanggil bajingan.

Begitulah penjelasan dari Teguh Budianto selaku Dukuh Malangrejo, Desa Wedomartani, Kecamatan Ngemplak dalam kata sambutan acara Festival Gerobak Sapi Rakyat Tani 2013,  Minggu (16/6) pukul 09.00 WIB - 14.00 WIB di utara kompleks Stadion Maguwoharjo, Sleman, Yogyakarta. Menurutnya, setahun terakhir banyak bermunculan kembali gerobak sapi di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Kendati demikian, roda-rodanya sudah dimodifikasi dengan ban bekas mobil. “Setiap Minggu Wage, di lapangan Jangkang, Ngemplak, Sleman, Yogyakarta, sejak pagi hingga siang bisa disaksikan puluhan gerobak sapi berkumpul. Mereka saling memamerkan gerobaknya dan bertransaksi jual-beli gerobak serta sapi,” imbuhnya lagi.

Teguh Budianto mengatakan bahwa fenomena kelahiran kembali gerobak sapi itulah yang ditangkap oleh pemuda Karang Taruna Pedukuhan Malangrejo sebagai potensi sosiokultural yang bernilai tinggi. “Karenanya patut diapresiasi sebagai suatu usaha penggalian warisan budaya rakyat tani Jawa. Kami semua para bajingan adalah kaum tani. Gerobak sapi merupakan salah satu kekuatan budaya kami,” ujarnya di hadapan Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X dan Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas.

Tatkala ditanya apakah tujuan dari Festival Gerobak Sapi Kaum Tani 2013 ini, Teguh Budianto menjelaskan dua poin. Pertama, untuk merevitalisasi keberadaan dan keberfungsian gerobak sapi. Sehingga dapat menggalakkan kembali moda transportasi tradisional kebanggaan kaum tani. Kedua, untuk menggali kembali daya-daya hidup dalam kebudayaan kaum tani. Sehingga dapat mengembangkan potensi, mengatasi masalah, serta mewariskan kepada generasi muda demi keberlanjutan hidup bangsa Indonesia.

Acara selanjutnya pawai gerobak sapi, ratusan bajingan dari Yogyakarta dan Jawa Tengah telah bersiap di atas kemudinya masing-masing. Mereka akan berkeliling dari Maguwoharjo menuju perempatan Tajem, lantas berbelok ke utara menuju perkebunan anggrek, lantas berbelok ke barat hingga akhirnya kembali ke selatan lagi berkumpul di lapangan sisi utara stadion sepakbola kebanggaan warga Sleman tersebut.

Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X berkenan mengibarkan bendera start. Ribuan penonton memadati sisi kiri dan kanan jalur yang akan dilewati rombongan pawai gerobak sapi aneka warna tersebut. Walau panas matahari menyengat ubun-ubun tak menyurutkan antusiasme mereka menyaksikan secara langsung alat transportasi andalan kaum tani tersebut.

Begitu bendera start dikibarkan oleh Ngarso Dalem, iring-iringan ratusan gerobak sapi bergerak perlahan keluar dari areal lapangan menuju jalan raya. Ada gerobak yang hanya ditarik satu sapi, tapi lebih banyak yang ditarik dengan dua ekor sapi. Suara gemerincing lonceng yang menggantung di leher sapi menambah meriah suasana. Aneka hasil bumi digantungkan sebagai aksesoris utama gerobak sapi. Ada padi, jagung, pete, nanas, dll. Ratusan juru foto tak mau melewatkan kesempatan langka untuk mengabadikan prosesi unik tersebut.

Sembari menanti para bajingan kembali ke lapangan beserta gerobak-gerobak sapinya, para penonton dihibur dengan aneka atraksi. Misalnya, pentas musik live dari grup band Low Budget, vokalisnya Krishna Encik, rektor Folks Mataram Institute (FMI) yang berambut gimbal. Mereka menyanyikan lagu-lagu ciptaan sendiri, salah satunya jingle Gerobak Sapi berirama etnik khas pedesaan. Selain itu, Paguyuban Karawitan Puspita Laras juga mendinginkan suasana panas siang itu dengan alunan gamelan. Di tengah lapangan tampak pula seekor sapi ditambatkan pada sebuah tiang. Beberapa seniman lukis seperti Bambang Herras dkk menggambari tubuh putih si sapi dengan pewarna yang biasa dipakai untuk mewarnai makanan.

Sajian paling heboh ialah tarian Jathilan dari puluhan tentara KODIM 0734 Yogyakarta. Mereka mengamuk memakan semangka dan menari liar sejadi-jadinya. Tapi begitu keluar Kelompok Tari “Poco-poco” dan “Gangnam Style” situasi kembali ger-ger-an. Bayangkan tentara mengenakan celana doreng, tapi atasannya memakai surjan coklat. Lantas, mereka menari poco-poco dan melonjak-lonjak ala gangnam style. Seluruh rangkaian gerak dan tari itu diberi judul “Rakyat dan TNI bersatu membangun peradaban baru.”

Tak berapa lama kemudian, rombongan pawai gerobak sapi telah kembali memasuki areal lapangan. Saatnya dewan juri menilai masing-masing peserta. Mereka berkeliling mencermati setiap sudut gerobak sapi. Ketua panitia, Bowo Hasto Nugroho mengatakan bahwa penilaian berdasarkan pada standar orisinalitas gerobak.

Pada festival ini dipilih tiga orang pemenang. Masing-masing mendapat uang pembinaan, dan khusus juara satu ditambah trofi Gubernur DIY. Peserta berkesempatan pula mendapat hadiah kejutan (door prize) berupa alat-alat pertanian. Humas panitia, Muhammad Syaifullah mengatakan bahwa kali ini gerobak sapi bukan sekadar pelengkap, festival yang diikuti oleh 179 pendaftar tersebut sungguh-sungguh menjadikan gerobak sapi sebagai ikon utama.

Wawancara dengan Bajingan

Sambil menanti hasil penjurian, penulis sempat mewawancarai seorang bajingan alias sopir gerobak sapi. Pak Wardoyo telah menekuni profesi tersebut selama 10 tahun. Beliau berasal dari Paguyuban Langgeng Sehati, Kebon Dalem Lor, Klaten, Jawa Tengah.

Menurut Pak Wardoyo, bagian-bagian dari satu gerobak sapi sangat beragam. Misalnya di sekitar roda namanya gonjo dan embanan. Lantas, bagian penutup gerobak di bagian belakang disebut tepong. Ibarat sebuah rumah, fondasi gerobak sapi namanya watonan. Sedangkan empat tiang penyangganya disebut drajung. Atap gerobak namanya payonan. Bagian yang tak kalah penting di sekitar sapi penarik gerobak. Di sana ada cancatan, angkul-angkul, sambilan, raco, dan manukan.

Ketika ditanya berapa biaya untuk membuat satu gerobak sapi, Pak Wardoyo mengatakan bahwa itu tergantung bahan. Bisa dari kayu jati atau kayu nangka, kisaran biayanya mencapai Rp 10-15 juta. Sedangkan untuk harga sapi pun beragam, sapi jantan ukuran besar bisa ditawar Rp 50 juta per ekor. Tapi rata-rata sapi penarik gerobak berharga Rp 10-15 juta per ekor. Sebagian besar sapi-sapi tersebut didatangkan dari Kulon Progo, Yogyakarta.

Terakhir tapi penting, bagaimana perawatan sapi-sapi agar tetap sehat dan kuat menarik gerobak, Menurut Pak Wardoyo cukup dengan memberi makan secara teratur. Sehari minimal dua kali, yakni pada pagi dan sore. “Menu makan sapi antara lain batang padi (damen), jagung, dedek, dan parutan ubi. Semua bahan itu diberi air lantas diaduk sampai merata,” ujarnya.

Ketika penulis mengunggah salah satu foto gerobak sapi di Facebook, ada salah seorang teman berkomentar unik. Agustinus Risanta menceritakan pengalaman masa kecil seorang temannya, “Zaman dia masih remaja, teman saya itu suka sekali iseng mengganggu gerobak sapi. Saat gerobak sudah berjalan - saisnya yang di Yogyakarta disebut bajingan - tidur nyenyak karena sapi sudah hafal jalan dari rumah ke ladang. Di tengah perjalanan, remaja-remaja iseng itu menghentikan gerobak, lalu memutar arah kembali ke rumah. Sapi pun membawa gerobak pulang. Sampai di rumah, sang bajingan terbangun, ia terheran-heran kok malah sampai di rumah lagi?”

Akhirnya sekitar pukul 13.00 WIB, dewan juri mengumumkan hasil penilaian mereka lewat pengeras suara (TOA). Ratusan bajingan berdebar-debar dan mendengarkan dengan saksama. Juara III jatuh pada peserta no. 73 dengan total nilai 260, juara II jatuh pada peserta no. 49 dengan total nilai 265, dan juara I jatuh pada peserta no. 54 dengan total nilai 270. Juara pertama berhak mendapat uang pembinaan sebesar Rp 1,5 juta.

Anggi Minarni, salah seorang anggota dewan juri merefleksikan acara Festival Gerobak Sapi 2013 ini di status Facebook-nya, “Hari ini aku jadi juri Gerobak Sapi bersama Ons Untoro dan Anissa. Ini proyek dahsyat, 113 gerobak sapi berhias warna-warni pun tampil lugu. Ah lumayan masih ada transportation heritage yang bisa kita warisi. Sejuk di mata setelah mlenger melihat hotel dan mini market yang menjamur di Yogyakarta. Jempol untuk FMI dan Karang Taruna Pedukuhan Malangrejo!”

Senada dengan pendapat Sri Hermandjoyo Joseph, salah seorang pengunjung yang datang dengan keluarganya, “Dalam Festival Gerobak Sapi 2013 ini sapi tidak untuk dikorupsi, tapi sapi adalah bagian dari peristiwa budaya.”

Sumber Foto: Dok. Pri

Tidak ada komentar: