Juni 19, 2013

Pancasila dalam Pemikiran dan Praktik Politik Tiga Presiden

Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Rabu/19 Juni 2013
http://mjeducation.co/pancasila-dalam-pemikiran-dan-praktik-politik-tiga-presiden/


“Banyak sekali undangan dari instansi-instansi kalau bulan Juni seperti sekarang Mas. Saya diminta oleh mereka untuk berbicara tentang Pancasila,” ujar  Prof. Dr. Sudjito SH. MSi, Kepala Pusat Studi Pancasila (PSP) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta saat bersama penulis berada di dalam lift. Pagi itu, Senin (3/6/2013) pukul 09.00 WIB sampai selesai di ruang Auditorium Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Atma Jaya Yogyakarta memang berlangsung seminar akademis bertajuk “Pancasila dalam Pemikiran dan Praktik Politik Tiga Presiden.”

Penyelenggaranya ialah Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Atma Jaya Yogyakarta. Lalu, sebagai keynote speecher, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Daerah (DPD) Republik Indonesia periode 2009-2014 berkenan menyampaikan pandangan beliau terkait dasar negara RI. Menurut Ratu Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat tersebut, Pancasila ialah ideologi yang mempersatukan bangsa walau terdapat kemajemukan suku, agama, ras, etnis, dan lain sebagainya.

GKR Hemas juga menyoroti Undang-undang (UU) yang bertentangan dengan konsensus nasional kita, salah satunya UU Pornografi. “Itu merupakan kriminalisasi terhadap tubuh perempuan. Selain itu, UU Pornografi juga sebuah upaya penyeragaman budaya lokal. Masyarakat sudah beramai-ramai menolaknya, tapi UU tersebut tetap dipaksakan padahal bisa memecah-belah bangsa,” ujarnya.

Lantas, terkait Peraturan Daerah (Perda) Syariah di beberapa wilayah di tanah air, GKR Hemas berpendapat, “Perda-Perda yang tidak mencerminkan nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi bangsa dan UUD sebagai sumber referensi utama produk hukum perlu ditinjau kembali. Dalam bahasa beliau, pihak-pihak yang menggunakan paradigma berpikir sempit itu justru terjebak dalam narsisme politik yang sangat pragmatis.


“Salah satu fungsi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) ialah menggelar sidang antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sekarang lembaga tertinggi seperti MPR perlu difungsikan secara optimal kembali agar tatanan negara menjadi lebih kuat,” imbuhnya.

Kepada seluruh panitia dan peserta yang hadir di pagi hari nan cerah tersebut, GKR Hemas menyampaikan apresiasi yang mendalam. “Terima kasih juga kepada LKiS dan FISIP UAJY yang telah mengadakan seminar Pancasila. Semoga seminar ini tak sekadar menguatkan pemahaman Pancasila sebagai ideologi bersama, tapi juga ideologi yang sudah final. Karena jika ada intervensi dari ideologi lain niscaya terjadi konflik yang berujung kekerasan mengatasnamakan agama,” paparnya.

Dalam konteks di atas, Perguruan Tinggi (PT) sungguh memiliki fungsi strategis bagi sosialisasi nilai-nilai Pancasila secara intensif. GKR Hemas menandaskan bahwa kampus sebagai lembaga tertinggi pendidikan di Indonesia harus berorientasi kebangsaan yang kuat. Para mahasiswa jangan hanya pintar tapi juga harus memiliki jiwa nasionalisme. “Seharusnya lebih banyak mahasiswa yang hadir di sini, karena merekalah penerus bangsa di masa depan,” pungkasnya. Seusai menyampaikan paparan tersebut, GKR Hemas langsung berpamitan kepada seluruh hadirin karena beliau harus segera terbang ke Jakarta lewat Bandara Adisucipto.


Selaku tuan rumah, Dr. Lukas S Ispandriarno, MA, Dekan FISIP UAJY menyampaikan dalam kata sambutan alasan kenapa dalam seminar ini hanya dipilih tiga presiden saja. Karena Soekarno, Soeharto, dan Gus Dur memiliki keaslian, keunikan, dan kepeduliannya masing-masing dalam bentuk pemikiran, gagasan, nilai-nilai, dan praktik Pancasila.

Kita sebagai anggota masyarakat dari berbagai generasi tentu merasakan benar bahwa pemikiran dan pelaksanaan Pancasila di masa-masa tersebut sungguh menyentuh sendi-sendi kehidupan. “Lewat seminar ini kita merefleksikan semuanya itu sekaligus mengingatkan kepada presiden yang sedang menjabat dan terutama memberi bekal kepada presiden Republik Indonesia yang baru pada 2014 mendatang. Mari jadikan Pancasila sebagai pedoman hidup sehari-hari. Selamat berseminar dan jayalah Pancasila!” imbuhnya.

Selanjutnya, Hairus Salim, Direktur LKiS yang bertindak sebagai moderator mempersilakan ketiga narasumber maju ke depan dan menempati kursi masing-masing. Pertama, Prof. Dr. Sudjito SH. MSi, Kepala Pusat Studi Pancasila UGM. Kedua, Drs. Untoro Hariadi, M.Si, mantan aktivis pergerakan di Kedung Ombo dan Konsultan Politik DPD Partai Demokrasi Perjuangan (PDI-P) DIY. Ketiga, Nur Khaliq Ridwan, Aktivis Muda NU, seorang Gusdurian, dan penulis buku “Gus Dur dan Negara Pancasila.”

Pembicara pertama, Prof. Dr. Sudjito SH. MSi enggan terlalu menyanjung Soeharto. “Saya takut disebut mengkultuskan, saya ingin selamat dari kelompok-kelompok anti Orde Baru. Saya juga tak mau membicarakan keburukan-keburukan orang yang telah meninggal dunia, karena itu dilarang agama,” ujarnya.

Oleh sebab itu, Prof. Sudjito lebih banyak mengungkap pemikiran Soeharto ihwal Pancasila. Intinya, ada tekad dan kehendak kuat dari Pak Harto untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Tidak boleh ada perdebatan sedikit pun terkait kedua asas nasional tersebut. Alhasil, selama 32 tahun berkuasa, Pancasila melekat kuat dalam ucapan dan tindakan rezim Soeharto.


Lantas Prof. Sudjito menceritakan pengalaman pribadinya. Pada 19 Desember 1974, Pak Harto pernah berkunjung ke UGM, Yogyakarta dalam rangka merayakan HUT ke-25 UGM.  “Saat itu, saya masih mahasiswa di UGM,” katanya. Berikut ini kutipan pidato sambutan yang diberi judul “Pancasila sebagai Sistem Filsafat dan Masyarakat Perguruan Tinggi”:

“Seperti telah saya singgung di atas, Pancasila memberikan landasan falsafah yang mengusahakan dan memelihara keselarasan antara manusia dan masyarakatnya. Ajaran atau pandangan hidup mengenai keselarasan ini, bagi bangsa Indonesia telah tumbuh sejak berabad-abad yang lalu. Keselarasan antara hubungan manusia dengan masyarakatnya berpangkal dari sifat manusia yang universal, yakni ingin untuk mempertahankan hidup dan ikhtiar mengejar kehidupan yang lebih baik.”

Ironisnya, menurut Prof. Sudjito Pancasila kini dianggap jadul. Bahkan dianggap tidak ada apa-apanya dibanding ideologi-ideologi lainnya. Alhasil, kita hidup seolah-olah tanpa dasar dan pondasi sehingga apapun boleh dilakukan. “Situasi ini sangat berbahaya sekali,” ujarnya mengingatkan.

“Sebetulnya, Pancasila menjanjikan kehidupan yang selaras, dengan diri pribadi, dengan sesamanya, dengan Tuhan, serta seluruh alam semesta. Sehingga alam tak akan dieksploitasi sampai meninggalkan kerusakan yang luar biasa seperti sekarang,” imbuhnya lagi. Sebagai kesimpulan, Prof. Sudjito berpendapat Pancasila bukan verbalisme politis semata tapi sebuah tuntunan prilaku hidup sehari-hari. “Oleh sebab itu, Pancasila harus menjadi bagian dari kebudayaan kita,” pungkasnya.

Hari gini ngomongin Pancasila?

Narasumber kedua, Untoro Hariyadi menjelaskan kerangka dasar berpikirnya. “Kita akan melihat dan membedah bersama tentang Pancasila. Tapi agar tidak rancu karena politisasi makna Pancasila, rujukannya ialah pidato lisan Bung Karno pada 1 Juni 1945 silam,” ujarnya.

Menurut mantan aktivis Kedung Ombo tersebut, “Hari gini ngomongin Pancasila, diseminarkan lagi tentu tak menarik bagi adik-adik mahasiswa. Tapi itu bukan salah Anda, karena generasi kami yang ke atas tak memperkenalkannya kepada kalian semua. Salute untuk FISIP UAJY yang sampai sekarang masih mengajarkan mata kuliah Pancasila di kampus.”

Untoro juga menceritakan pengalamannya mendampingi masyarakat Kedung Ombo yang hendak digusur rezim Orde Baru. “Saat itu kami disebut anti Pancasila. Padahal kami memperjuangkan hak rakyat. Karena tanah mereka seharga Rp3.000/meter persegi hanya dibayar Rp750/meter persegi. Ini pengalaman empirik di lapangan. Saat itu, kami harus berhadap-hadapan dengan aparat,” ujarnya sembari berdiri seperti gaya orang berorasi.


“Zaman orba dulu tak boleh ada kumpul-kumpul dan diskusi seperti kita sekarang. Pasti ada intel dan sewaktu-waktu para aktivis bisa ditangkap dengan dalih melanggar Pancasila. Tapi apakah Pancasila senegatif itu?” imbuhnya lagi.

Menurut Untoro, sebagaimana tercatat dalam sejarah Pancasila memang dicetuskan oleh Bung Karno, beliau tak mau disebut penemu, ia hanya menggali. Sejak masih muda, selama 27 tahun Bung Karno telah memikirkan Pancasila. Analoginya sederhana sekali. Ibarat keluarga kalau keluarga sendiri sudah aman, baru bisa bergaul dengan keluarga lain, yakni untuk mencapai kesejahteraan bersama. Kalau hendak dijadikan Trisila namanya Sosio Nasionalisme, Sosio Demokrasi, dan Ketuhanan. Kalau mau diperas jadi Ekasila namanya Gotong royong.

Berikut ini kutipan Pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 yang sangat legendaris tersebut:

“Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen untuk Indonesia, bukan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesumo buat Indonesia, bukan Van Eck Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, - semua buat semua!”

Ironisnya, masih menurut analisis Untoro, lembaga pendidikan kini pun menjadi seperti pasar. Kemanusiaan seseorang dihitung dari berapa bahan yang melekat pada dirinya (nilai ekonomis). 240 juta penduduk Indonesia menjadi sekadar konsumen dan konstituen. “Sebenarnya, kita masih dijajah VOC tapi dengan baju yang beda,” ujarnya.

Sebagai solusi, Konsultan Politik DPD Partai Demokrasi Perjuangan (PDI-P) DIY menyodorkan konsepsi konsolidasi nasional. “Kita butuh pemerintahan yang memiliki ideological governance. Sedangkan di tataran masyarakat, kita butuh Fundamentalisme Pancasila. Dalam pengertian mengupayakan suatu kesadaran baru di kalangan akar rumput terkait Pancasila.  Oleh sebab itu, literatur hukum, ekonomi, arsitektur, psikologi, budaya, teknik, dll juga yang Pancasilais.  Sehingga Pancasila sungguh mengalir dalam setiap urat nadi anak bangsa,” pungkasnya.

Menurut sang moderator, gaya Untoro tak banyak berubah, ”Dulu saat demonstrasi di Bundaran  UGM dan di dusun Kedung Ombo juga begitu, keras, tegas, dan lantang. Bedanya kini ia tak pakai ikat kepala saja.”

Pembicara ketiga ialah anak ideologis Gus Dur, yakni Nur Khalik Ridwan. Menurut aktivis muda Nahdatul Ulama (NU) Yogyakarta dan anggota Gusdurian tersebut, sikap politis Gus Dur terkait Pancasila sangat jelas:

“Tanpa Pancasila negara akan bubar. Pancasila adalah seperangkat azas dan ia akan ada selamanya. Ia adalah gagasan tentang negara yang harus kita miliki dan kita perjuangkan. Dan Pancasila ini akan saya perjuangkan dengan nyawa saya. Tidak peduli apakah ia dikebiri oleh Angkatan Bersenjata atau dimanipulasi oleh umat Islam (Douglas E Ramage, Percatiran Politik di Indonesia, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002, halaman 80).”

Angkatan bersenjata dan umat Islam memang besar pengaruhnya saat itu. “Kalau kita membaca buku Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), mereka mengkaitkan Pancasila dengan Zionisme. Kendati demikian, dulu Gus Dur pun pernah menjadi anggota Ikwanul Muslimin (IM) di Jombang, menurut dugaan saya itu karena beliau tak enak dengan pamannya saja,” ujarnya.


Lebih lanjut, menurut Nur Khalik Ridwan, Gur Dur mengalami semacam pertobatan pasca membaca buku-buku karangan Aristoteles tentang akhlak dan etika. “Di perpustakaan sambil membaca dan menangis Gus Dur mengakui bahwa mungkin kalau ia tak membaca buku tersebut, ia sudah menjadi fundamentalis. Tapi karena membaca buku di perpustakaan, ia kini dikenang sebagai pejuang kemanusiaan yang gigih,” imbuh Nur Khalik.

Berdasarkan pembacaan karya-karya Gur Dur, tulisan-tulisan beliau hendak mendekatkan para santri Muslim dengan kebangsaan. Bahkan tak hanya untuk umat Islam saja, tapi juga umat-umat beragama dan aliran kepercayaan lainnya. Sehingga segenap warga negara memiliki wawasan kebangsaan Pancasila seturut tradisi dan religiositasnya masing-masing.

Sumber Foto: Dok. Pri

Tidak ada komentar: