Juni 06, 2013

Ngobrol Bareng Sudjiwo Tejo, Presiden Republik Jancukers dalam Acara Bentang Street Festival Yogyakarta


Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Kamis/6 Juni 2013


Minggu malam (26/5/2013) hujan ibarat menari poco-poco, sesaat turun begitu deras sesaat reda kembali. Kendati demikian, cuaca tak menentu tersebut pantang menyurutkan semangat ratusan peserta acara Meet and Greet Bentang Street Festival untuk bercengkrama dengan Presiden Republik Jancukers, Sudjiwo Tejo di beranda Geronimo Cafe, Sagan, Yogyakarta. Referensi utama diskusi publik tersebut ialah buku Lupa Endonesa (Bentang Pustaka, September 2012).

Dalam Wikipedia dipaparkan bahwa Agus Hadi Sudjiwo lahir di Jember, Jawa Timur, 31 Agustus 1962 silam. Kini ia lebih dikenal dengan nama Sudjiwo Tejo. Budayawan mbeling tersebut pernah kuliah di jurusan Matematika dan Teknik SipilInstitut Teknologi Bandung (ITB). Dalang urakan itu sempat pula bekerja sebagai wartawan Kompas selama 8 tahun, tapi kemudian mengubah haluan menjadi penulis lepas, pelukis dan musikus. Selain itu, ia juga pernah menjadi sutradara dan bermain film seperti di Janji Joni dan Detik Terakhir.

Seperti biasa malam itu Sudjiwo Tejo mengenakan sarung, kaos oblong, dan topi lebar ala koboi. Tapi saat sesi tanya jawab ada salah seorang peserta bertanya kepadanya, “Kenapa Anda memakai kaos bertuliskan Amsterdam padahal Anda seorang dalang dan tadi berbicara tentang wayang segala, seharusnya kan Anda memakai busana yang lebih njawani?

Menurut dalang yang sering melanggar pakem cerita itu, jujur ia tak suka dipanggil Anda. “Aku lebih suka dipanggil sampeyan, kowe atau kamu karena sebutan Anda itu kesannya tidak intim dan tidak personal. Perlu sampeyan ketahui, kaos oblong ini made in Australia, aku mendapatkannya saat konser dan nyanyi lagu Titi Kala Mangsa di sana. Bagiku pakaian hanya kulit, yang lebih penting ialah esensi. Aku bisa punya pendapat seperti ini karena belajar dari wayang. Hanoman itu bleger (wujud)-nya monyet, tapi esensinya manusia karena menolong Rama untuk membebaskan Dewi Shinta dari cengkeraman Rahwana,” jawabnya.

Lalu terkait istilah njawani, sutradara 13 episode wayang kulit Ramayana di Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) tahun 1996 itu menceritakan petuah bijak neneknya yang tinggal di pelosok Lamongan. Menurut sang nenek yang sudah berusia 100 tahun lebih dan suka nginang (memamah daun sirih) tersebut, “Jawa itu kalau kamu berjalan dan masih disapa orang. Ketika keramahtamahan masih ada, berarti kamu masih di Jawa le,” ujarnya menirukan kata-kata sang nenek. “Jadi kalau aku di New York atau di London tapi masih disapa orang berarti itu masih Jawa, tapi walau aku di kampung sendiri tapi tak disapa tetangga artinya itu sudah bukan Jawa,” imbuhnya lagi.

Sudjiwo Tejo juga memaparkan penelitian ilmiah seputar sarung. Ternyata prajurit Skotlandia yang mengenakan rok mirip sarung lebih subur spermanya. Selain itu, untuk konteks Indonesia yang beriklim tropis, busana sarung sangat sesuai. “Rasanya isis (sejuk), aku sudah sejak sepuluh tahun lalu memakai sarung. Nah kalau sarung, ini yang membelikan bojo (istri)-ku di pasar,” ujarnya dan sontak disambut tepuk tangan hadirin.

Ngelmu Titen

Selanjutnya, MC (Master of Ceremony) bertanya juga, “Mbah ngelmu titen iku piye? (Ilmu mengamati itu bagaimana?” Menurut Sudjiwo Tejo, ngelmu titen itu merupakan kemampuan dasar Matematika. “Latar belakang pendidikanku memang Matematika, nah dalam Matematika itu sebenarnya tidak ada kepastian, yang ada hanya kesepakatan. Misalnya dalam aneka ragam motif batik, pada dasarnya hanya ada enam corak dasar. Begitu pula dalam hidup kita ini, kabeh wong urip kuwi wis diatur kersaning Gusti Allah (semua orang hidup itu sudah diatur oleh kehendakNya),” ujarnya.

“Pada saat yang sama, tugas manusia ialah untuk menjelaskan kenapanya. Contohnya kenapa orang Jawa kalau naik pohon kelapa hanya boleh sekali saja dalam sehari? Jangan buru-buru itu dituduh klenik, karena pasti ada logikanya. “Menurut hipotesisku, pertama karena berkeringat tubuh kan jadi licin, jadi agar tidak terpeleset saat memanjat ya hanya boleh sekali saja. Kedua, bisa jadi karena orang Jawa sudah sadar arti penting kesehatan. Santan kelapa kan kandungan kolesterolnya tinggi, jadi untuk membatasi konsumsinya ada kesepakatan kalau naik pohon kelapa hanya boleh sekali saja dalam sehari,” paparnya dengan mimik serius.

Menyimak paparan Sudjiwo Tejo seolah kita diajak keluar dari kungkungan konsep sempit buatan diri kita sendiri. Misalnya seniman yang pernah berkecimpung di komunitas Eksotika Karmawibhangga Indonesia (EKI) tersebut meredefinisi makna kasta. Dalam tradisi Hindu sejatinya itu bukan semata mengacu pada kelas sosial di masyarakat melainkan tingkat kesadaran seseorang.

Pertama, kasta pariya ialah orang yang masih egois, serakah, korup, dan suka mementingkan dirinya sendiri. Kedua, kasta sudra ialah orang yang sudah mau bekerja keras untuk menafkahi kelurganya. Ketiga, kasta waisya ialah orang yang mau berkontribusi dalam komunitas yang lebih luas, misalnya keluarga alumni dan perkumpulan profesi. Keempat, kasta ksatria ialah orang yang berbakti bagi bangsa dan negara. Kelima, kasta brahmana ialah orang yang mau mengabdi bagi nilai-nilai kemanusiaan dan kemaslahatan segenap titah ciptaan.

Lalu ketika ditanya tentang Indonesia yang ideal itu seperti apa, apakah seperti Republik Jancukers? Sudjiwo Tejo menjelaskan bahwa yang penting kebebasan berekspresi dijamin. “Bahkan kalau sedang megap-megap kehabisan napas ya perlu di-support. Misalnya aku sedang membuat film, setidaknya butuh Rp 6 milyar. Seyogianya negara bisa membantu karena kita kan sudah membayar pajak,” ujarnya.

Di sisi lain, makna ikhlas bukan berarti gratisan. Zaman dulu saat aku diundang jadi dalang masih sering gratisan. Kenapa? Karena masih banyak tanaman padi dan kolam ikan di desa, jadi aku bisa mengajak istri, keluarga dan anak-anakku, sehingga mereka bisa makan dan menangkap ikan. Tapi sekarang situasinya jauh berbeda. Jadi kalau kamu sudah berkeluarga dan diundang untuk nge-MC gratisan jangan mau, karena itu tidak fair untuk istri dan anak-anakmu,” imbuhnya lagi sembari melirik ke arah MC.

Tapi jangan salah, aku juga punya pendirian bahwa uang itu bukan barang yang wingit (keramat), aku sering diundang oleh mahasiswa untuk acara-acara seperti ini, tahu sendiri kan kantong mahasiswa. Kendati demikian, kalau sudah saguh (sepakat) datang ya harus all out walau hanya dibayar sedikit. Jadi mau dibayar Rp 5.000 atau Rp 500 juta sama kualitas ke-all out-annya,” ujarnya.

Wirausaha

Selanjutnya ketika ditanya oleh MC tentang enak mana kerja sama orang atau berwirausaha? Sudjiwo Tejo menjawab, “Pasca lulus kuliah ya harus langsung kerja. Misalnya jadi guru ya jadi guru, tapi jangan terlalu larut di situ, pelajari juga manajemen sekolah sehingga suatu saat bisa mendirikan sekolah sendiri. Wirausaha di Indonesia masih sedikit, menurut Pak Ciputra kurang dari 1%.

Aku suka angka 35, saat bayi berusia 35 hari ia diberi nama, lalu saat orang berusia 35 tahun harusnya ia sudah bisa menentukan mau kerja mandiri atau ikut orang. Kalau mau cepat kaya, menurutku kerjalah mandiri. Aku paling tidak suka dengan orang yang badannya di kantor, menerima gaji setiap bulan, tapi hatinya tidak di situ. Itu tidak etis, bahkan menurut Buddha, orang itu masuk kategori culas, satu dari 10 racun dunia,” paparnya tegas.

Perbincangan malam itu mulai menyerempet ke ranah politik, tapi tentu perspektifnya selalu dengan budaya Jawa dan referensi dari dunia wayang. Menurut Sudjiwo Tejo, wong Jawa selalu memusatkan pemerintahan pada kaum perempuan. “Di Astina ada Banawati, di Alengka ada Dewi Sukemi, di Pandawa ada Dewi Kunti, di Indonesia ada Ibu Ani, jadi kalau kita mau tahu duduk persoalan yang sesungguhnya tentang kasus Century, kita juga harus tanya bersama-sama ke Ibu Ani,” ujarnya.

Lalu ketika ditanya kenapa orang Indonesia lebih suka keliling luar negeri ketimbang berwisata di kepulauan nusantara, Sudjiwo Tejo menjawab, “Pertama karena kurangnya informasi. Keindahan Bunaken, Senggigi hanya dimuat di Majalah Maskapai Penerbangan. Oleh sebab itu, dalam twitter aku selalu mengunggah foto-foto matahari tenggelam di pantai-pantai seluruh Indonesia. Jadi yang kita tahu tak hanya Kuta, Losari, dll,” imbuhnya lagi.

Kedua, karena minder. Beberapa waktu lalu Richard Gere datang ke Borobudur dan kita merasa senang sekali, seharusnya dia yang harus bangga dan merasa terhormat karena bisa mengunjungi warisan leluhur kita tersebut,” pungkas Presiden Republik Jancukers tersebut.

Terakhir tapi penting terkait doa, Sudjiwo Tejo memaknainya secara sederhana tapi mendalam, “Seperti saat kalian tadi kehujanan, ya menepi dan berteduh agar tak basah kuyup. Lalu, agar aku bisa bertemu kalian dan ngobrol begini ya aku jualan buku agar bisa beli tiket untuk ke Jogja. Contoh lainnya, kalau mau membuat rumah yang tak gampang roboh ya fondasinya harus kokoh. Intinya nyuwun (meminta) pada Gusti Allah harus seiring dengan usaha, itulah doa bagiku,” tandasnya.

Sumber Foto: Dok. Pri


Tidak ada komentar: