Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Selasa/4 Juni 2013
Matahari bersinar cerah, langit biru membalut kota Yogyakarta, jam
tangan masih menunjuk pukul 14.30 WIB tapi ratusan pengunjung telah
memadati halaman depan Myoozik Café, Sagan. Walau tempat duduk yang ada terbatas, para pengunjung rela berdiri menanti kedatangan sang narasumber Meet and Greet acara Bentang Street Festival
pada Minggu (26/5/2013), yakni Dewi “Dee” Lestari Simangungsong. Tepat
pukul 15.00 WIB, terdengar lantunan lagu karya penulis perempuan
kelahiran Bandung, 20 Januari 1976 tersebut “Malaikat Juga Tahu”.
Ternyata menurut Dee, inspirasi soundtrack film “Recto Verso”
tersebut didapat tatkala ia sedang mandi. Alumnus Fakultas Hubungan
Internasional (HI) Universitas Parahyangan, Bandung itu memang
melakukan “ritual” bersih diri sebagai relaksasi pasca menulis novel di
rumahnya. Dalam Wikipedia tercatat karir kepenulisan mantan personel
RSD (Rida Sita Dewi) tersebut relatif bersinar. Sebelum novel
“Supernova” keluar, memang tak banyak orang tahu kalau Dee telah sering
menulis. Tulisan Dee pernah dimuat di beberapa media. Salah satu
cerpennya berjudul “Sikat Gigi” di Jendela Newsletter, sebuah media berbasis budaya yang independen dan berskala kecil untuk kalangan sendiri.
Tahun 1993, ia juga mengirim tulisan berjudul “Ekspresi” ke majalah Gadis
yang saat itu sedang mengadakan lomba menulis. Dee pun menjadi juara
pertama. Tiga tahun berikutnya, ia menulis cerita bersambung berjudul
“Rico the Coro” yang dimuat di majalah Mode. Bahkan ketika
masih menjadi siswa SMU 2 Bandung, ia pernah menulis sendiri 15 karangan
untuk buletin sekolah. Novel pertama Dee yang meledak di pasaran
berjudul “Supernova Satu: Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh”. Novel
spiritual berbasis sains fiksi tersebut dirilis pada 16 Februari 2001
dan laku 12.000 eksemplar dalam tempo 35 hari. Hingga kini telah
mengalami cetak ulang dan terjual sampai lebih dari 75.000 eksemplar.
Lantas, pada Maret 2002, Dee meluncurkan “Supernova Satu” edisi Inggris
untuk menembus pasar internasional. Tak tanggung-tanggung, ia menggaet
Harry Aveling (60), pakar penerjemahan karya sastra Indonesia ke bahasa
Inggris.
Selain itu, novel “Supernova” pernah menjadi nominasi Khatulistiwa Literary Award (KLA) yang digelar QB World Books.
Ia bersaing ketat dengan para sastrawan kondang seperti Goenawan
Muhammad, Danarto lewat karya “Setangkai Melati di Sayap Jibril,”
Dorothea Rosa Herliany lewat karya “Kill The Radio,” Sutardji Calzoum
Bachri lewat karya “Hujan Menulis Ayam” dan Hamsad Rangkuti lewat karya
“Sampah Bulan Desember.” Sukses dengan novel pertamanya tak membuat Dee
berhenti berkarya, ia lalu meluncurkan novel keduanya “Supernova Dua”
yang berjudul “Akar” pada 16 Oktober 2002 silam. Pada Januari 2005 Dee
juga merilis novel ketiganya, “Supernova” episode “Petir”. Kisah di
novel tersebut masih terkait dengan dua novel sebelumnya. Hanya saja, ia
memasukkan empat tokoh baru, salah satunya ialah Elektra, tokoh utama
di novel tersebut.
Lama tidak menghasilkan karya, pada Agustus 2008 silam, Dee merilis
novel terbarunya “Recto Verso”. Karya tersebut merupakan sintesis
antara fiksi dan musik. Tema yang diusung ialah “Sentuh Hati dari Dua
Sisi.” Istilah “Recto Verso” sendiri berarti dua citra yang seolah
terpisah tapi sesungguhnya satu kesatuan dan saling melengkapi.
Sistematika buku “Recto Verso” terdiri atas 11 fiksi dan 11 lagu yang
saling berkelindan erat. Tagline dari buku itu ialah “Dengar Fiksinya, Baca Musiknya.” Laman khusus mengenai ulasan buku “Recto Verso” klik saja di www.dee-rectoverso.com
Pengulangan yang Familiar
Tatkala ditanya oleh Master of Ceremony (MC) terkait proses penerjemahan dari buku ke film, Dee berpendapat
bahwa pengalaman menonton film, membuat film, menulis buku, dan
membaca buku merupakan proses yang berbeda. “Misalnya, di buku saya
menulis percakapan di sebuah warung makan, tapi ketika hendak
difilmkan, percakapan di warung tersebut perlu dipindah ke rel kereta
api. Kenapa? Karena pemirsa harus disuguhkan sajian yang menarik bukan
sekadar percakapan belaka,” ujarnya.
“Selain itu, pertimbangan biaya juga patut diperhatikan. Misalnya di
dalam buku saya menulis adegan beberapa menit di dalam pesawat terbang
tapi saat akan difilmkan harus dipindah ke airport untuk
menghemat biaya produksi. Film ialah hasil kolaborasi banyak orang,
harus melewati proses musyawarah, diskusi, dll. Kalau menulis buku sih suka-suka saya. Intinya, harus ada transformasi audience,
dari pembaca buku ke penonton film. Itu pengalaman yang tak mudah tapi
justru mematangkan diri saya lewat proses produksi novel-novel saya
yang diangkat ke layar lebar,“ imbuhnya lagi.
Pada sesi tanya-jawab, salah seorang penanya bernama Waisi datang
langsung dari Surabaya untuk bisa bertemu dengan Dewi “Dee” Lestari. Ia
bertanya bagaimana cara menemukan gaya menulis?
Menurut Dee, langkah pertama ialah dengan meniru. Saat masih kuliah di
semester dua, ia banyak membaca karya-karya Dr. Sapardi Djoko Damono.
Hal itu secara tak sadar mengubah caranya membuat lirik lagu dan
menulis kalimat. “Saya seolah berada di bawah pengaruh bayang-bayang
beliau,” ujarnya.
“Selain itu, karena saya berangkat dari musik, jadi saya sangat peka
dengan irama. Kalimat harus memiliki rangkaian nada dalam kepala saya.
Alhasil, kalimat-kalimat saya menjadi merdu dan berlagu. Dalam proses
kreatif, saya harus menemukan ritme kalimatnya dulu, baru kemudian
memilih kata secara cermat,” imbuhnya lagi.
“Semua yang kita suka sekaligus semua yang tak kita suka niscaya
menjadi ciri khas kita. Saya tak percaya ada gaya 100% orisinal, kita
pasti terpengaruh tokoh tertentu. Awalnya semua penulis ialah imitator.
Perlahan seiring proses dan pengalaman, sudut pandang kita menjadi
unik, sehingga otomatis apa yang kita tulis pun menjadi khas,“ katanya.
Dee juga menceritakan pengalamannya menjadi juri menulis. Menurutnya
ada banyak penulis yang sudah bisa memilih kalimat dengan baik, tapi
ritmenya belum pas. “Tapi yakinlah, semakin banyak kita menulis dan
menggali lebih dalam, maka pasti ketemu oh inilah diri saya.
Tak ada jalan lain, selain dengan berkarya sebanyak-banyaknya, agar
makin mendalam,” tuturnya. Dee lebih suka menyebut gaya menulis dengan
istilah pengulangan yang familiar. “Ayu Utami dan Djenar juga memiliki
pola familiar mereka. Mereka tak bisa ditiru orang lain. Oleh sebab itu,
sekali lagi, teruslah berkarya, itulah cara yang paling realistis.
Terus membuat sesuatu yang baru dan terus menulis,” imbuhnya lagi.
Menghidupkan Cerita
Pertanyaan selanjutnya dari floor ialah bagaimana cara membuat
cerita hidup dan kaya imajinasi? Menurut Dee, seorang penulis harus
rela menjadi wadah bagi karakter-karakter yang lahir dan muncul dalam
benaknya. Tak heran ada hipotesis yang mengatakan bahwa penulis itu
paling rentan mengidap penyakit gila karena kalau tidak kuat, kita
membiarkan diri kita memiliki sekian banyak karakter.
“Kata kuncinya percaya, ini yang membuat sebuah cerita hidup. Karena
penulisnya percaya pada tokoh dan kejadian yang telah ia reka dalam
benaknya maka pembaca juga akan percaya juga. Misalnya, saya harus
merasakan patah hati sampai nangis betulan saat menulisnya.
Lalu, saat menulis sesuatu yang lucu, saya juga sering tertawa-tawa
sendiri. Tanya saja ke suami saya, Reza Gunawan yang sering melihat saya
ngakak sendiri saat menulis di rumah. Cerita kita harus nyata dan punya dampak, nah itu yang akan menular ke pembaca,” ujarnya.
Lalu, ketika Dee ditanya apakah saat menulis ia pernah kehilangan ide? Kalau udah begitu solusinya bagaimana? Menurut Dee, penghambat tersebut namanya writer block, “Bab selanjutnya mau ngomongin apa, alinea berikutnya apa lagi ya? dst,” katanya.
Berdasarkan pengalaman pribadinya, cara untuk mengatasinya ialah dengan menetapkan deadline,
ada target harian. “Misalnya saya punya komitmen untuk menulis 2,5
halaman spasi 1 per hari spasi. Jadi kalau saya berhenti di 2 halaman
saja, harus cari solusi bagaimana caranya untuk memenuhi quota tersebut
karena kalau tertunda malah menumpuk pekerjaan. Kalau kita punya
komitmen, itu sangat bermanfaat. Selain itu, kalau macet menulis, saya
biasanya langsung mandi untuk menyegarkan diri,” imbuhnya lagi.
Masih menurut Dee, writer block terbesar biasanya berada di
awal, tatkala kita baru mau memulai sebuah karya tulis. Kenapa? Karena
kita kurang perspektif, mau cerita genre apa nih, karakter ini kok
rasanya belum hidup ya jadi ibarat saklar listrik belum on. “Oleh sebab itu, saya selalu punya deadline. Bulan sekian tahun sekian buku harus sudah keluar dan diterbitkan penerbit bla bla bla, jadi secara otomatis setiap 1,5 tahun sekali alarm deadline dalam diri saya berbunyi, saatnya menyelesaikan buku terbaru. Oleh sebab itu, saya harus berkarya lebih giat,” tandasnya.
Akhir kata, musuh sekaligus sahabat terbesar penulis ialah dirinya sendiri. Dalam konteks ini, keterampilan (skill) menjadi penting, kita harus punya komitmen kuat untuk serius menapaki jalur kepenulisan. Salam pena!
Sumber Foto: Dok. Pri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar