Juli 05, 2013

Menjawab Tantangan Dunia Pendidikan

Dimuat di Surat Pembaca, Suara Merdeka, Sabtu/6 Juli 2013
Berikut ini versi awal sebelum diedit Yth. Redaktur:

“Mestinya kita tidak hanya sibuk memikirkan nilai rupiah dan panjang pendeknya masa jabatan. Persoalan yang paling mendasar adalah bagaimana menata martabat bangsa. Untuk itu pendidikan menjadi sangat strategis. Dulu kita selalu ingat nilai ekonomi saja. Tapi nilai ekonomi belum tentu memberi nilai tambah bagi tatanan kehidupan. Kita malah menjadi tidak ramah terhadap lingkungan; tidak ramah terhadap kehidupan sosial. Karena kita mengejar pertumbuhan ekonomi semata…” - Prof. Dr. H. Abdul Malik Fajar, Msc.

Dalam pembukaan Undang-undang Dasar (UUD) 1945 bahkan secara eksplisit ditulis bahwa salah satu tujuan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia (RI) ialah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh sebab itu, 20 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dipakai untuk membenahi sektor pendidikan dari Sabang sampai Merauke. Bahkan pada 2013 ini nominalnya mencapai Rp331 trilyun.

Ironisnya, sistem pendidikan nasional kian karut-marut dan dibangun tanpa desain. Baik itu dari level pendidikan anak usia dini (PAUD), sekolah dasar (SD) hingga ke jenjang perguruan tinggi (PT). Bahkan tampak kentara dari bangunan fisiknya, masih ada anak-anak yang terpaksa belajar di gubuk reyot.

Dalam konteks ini, penulis mengafirmasi pendapat Soegeng Sarjadi, pengampu kebijakan pendidikan nasional di negeri ini kurang intelek, tidak memiliki standar, dan belum berperadaban. Tatkala dibandingkan dengan Cornell University, Oxford University, Sorbonne University, dll ibarat langit dan bumi.

Pendiri Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS) itu juga mengkritik kenapa setiap ganti menteri selalu ganti kurikulum? Alhasil, pendidikan tidak memiliki hati, karena yang tersisa hanya ego pribadi. Biaya pendidikan pun semakin mahal bagi anak bangsa. Sungguh ironis lembaga pendidikan negeri malah SPP-nya seperti swasta.

Parahnya lagi, proses pembelajaran cenderung menyiksa ketimbang menggembirakan siswa. Padahal dulu di Sekolah Rakyat (SR) anak-anak selalu diajak menyanyi lagu kebangsaaan, sorak-sorai bergembira! Selain itu, pakar pendidikan berpengalaman seperti Daoed Joesoef yang memiliki konsep visioner malah didepak dari birokrasi. Dulu beliau sempat menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) periode 1978-1983.

Kini anggaran pendidikan nasional dipakai untuk membiayai kebijakan tanpa konsep. Tak heran kalau terjadi begitu banyak penyimpangan. Misalnya untuk UN (Ujian Nasional) dan perubahan Kurikulum 2013. Di seluruh Indonesia ada 70.000 desa. Kalau setiap desa mendapat Rp1 milyar saja - jadi totalnya Rp70 trilyun per tahun dari total anggaran Rp331 trilyun - maka beres sudah, tak ada lagi anak-anak yang terancam tertimpa atap roboh saat belajar di kelas.

Peran Guru

Penulis bersepakat pula dengan tesis Harry Tjan Silalahi yang menyoroti peran guru. Menurut direktur Center for Strategic and International Studies (CSIS) tersebut hanya ada dua profesi di dunia ini, yakni tukang dan pendidik. Ia menandaskan bahwa setiap orang setelah dewasa niscaya menjadi pendidik. Bisa sebagai kepala kantor, orang tua, atau pun tokoh di masyarakat.

Oleh sebab itu, dalam Declaration of Independent (Prokramasi Kemerdekaan) RI, pendidikan dijadikan satu dari empat tujuan NKRI. Ibarat perhiasan, mencerdasakan kehidupan bangsa merupakan perhiasan yang paling gemilang dan berharga. Para guru adalah penentu utama transformasi kehidupan berbangsa itu.

Bahkan setelah Hirosima dan Nagasaki hancur lebur dibom oleh Sekutu dalam Perang Dunia II, Sang Kaisar Jepang pun sontak bertanya: “Berapa guru yang masih kita miliki?” Artinya, kemajuan sebuah bangsa memang berbanding lurus dengan kualitas tenaga pengajar di sektor pendidikan. Senada dengan pendapat Anand Krishna Ph.D, “Kalau mau melahirkan Manusia Baru, kita harus mulai dari mana, dari siapa? Barangkali ada yang menjawab, ‘dari anak.’ Betul, tapi ‘anak’ itu ciptaan siapa, cetakan siapa? Yang membentuk kepribadiannya siapa lagi kalau bukan seorang guru?” (Mengajar Tanpa Dihajar Stress, 2003).

Secara lebih mendalam, Harry Tjan Silalahi juga memaknai hakikat pendidikan sebagai upaya untuk menjadi insan kamil alias manusia yang komprehensif. Ironisnya, pada era reformasi kualitas pendidikan malah merosot drastis. Salah satu penyebabnya ialah karena politisi yang tak siap tapi tetap ditunjuk menjadi menteri oleh presiden.  Beda dengan Daoed Joesoef yang memang sudah dipersiapkan lewat kuliah di Sorbonne University jauh sebelum beliau didaulat menjadi Mendikbud dalam Kabinet Pembangunan III.

Tanpa tedeng aling-aling Harry Tjan Silalahi pernah mengkritik Mendikbud periode 2009-2014 Moh. Nuh karena tak mau bersilaturahmi dengan swasta. Padahal di Indonesia ini ada lebih dari 3.000 Universitas swasta.  Pihak swasta diperlakukan oleh pemerintah ibarat tebu. Habis manis sepah dibuang padahal tanpa silaturahmi, kerjasama, dan hati…pendidikan nasional niscaya tetap jalan di tempat.

Investasi Masa Depan

Sulastomo, Koordinator Gerakan Jalan Lurus pernah mengingatkan bahwa pendidikan ialah investasi masa depan. Hasilnya baru akan terasa 10-15 tahun ke depan. Sebaliknya, kalau kini kita acuh melihat karut-marut sistem penddikan nasional, dampak buruknya juga baru akan terasa 10-15 tahun ke depan. Satu genarasi bangsa bisa hilang ditelan zaman.

Ia juga memaparkan kaitan antara pendidikan dan kejiwaan manusia. Sistem pendidikan terbaik di dunia ialah Finlandia. Di sana mereka begitu memperhatikan pendidikan usia dini, karena sejak usia 0-12 tahun otak manusia masih terbuka dan reseptif pada nilai-nilai baru. Pemerintah Finlndia sampai mengalokasikan 25 persen anggaran negaranya untuk early childhood education. Salah satu concern mereka ialah mengembangkan minat baca kepada para siswa sekolah dasar. Alhasil, di level sekolah menengah dan perguruan tinggi, mereka sudah tahu apa yang terbaik bagi dirinya dan bisa mencari referensi sendiri lewat sumber bacaan yang luas.

Sulastomo juga mengkritik keras sistem Ujian Nasional (UN). Apakah anggaran untuk UN sebanding dengan hasilnya? Padahal sudah menjadi rahasia umum terjadi kebocoran kunci jawaban dan distrubusi soal yang kacau di beberapa daerah. Alangkah baiknya jika anggaran UN tersebut dimanfaatkan untuk mendidik guru-guru SD sampai SMA dan para dosen Perguruan Tinggi (PT), memperbaiki fasilitas belajar siswa, membangun perpustakaan, menyediakan buku-buku bermutu niscaya hasilnya lebih optimal.

Ia juga mengutip pemberitaan dari Al-Jazeera edisi 22 Februari 2013. Pendidikan di Indonesia kembali menjadi sorotan dunia internasional. Kali ini, sebuah program “101 East” telah melakukan investigasi. Mereka kemudian mengulasnya dalam judul “Educating Indonesia” untuk mengetahui alasan mengapa pendidikan Indonesia menempati peringkat 40, paling rendah di seluruh dunia. Kita seolah kembali ke jaman batu (stone age). Padahal, di era pasar bebas ini, sekolah asing juga akan menjajakan dagangannya di Indonesia. Kita terikat pada kesepakatan World Trade Organization (WTO) tersebut dan tak bisa menolaknya.

Sebagai solusi, minat baca harus ditingkatkan. Penelitian terkini menyatakan bahwa perpustakaan merupakan sumber belajar yang efektif. Sepertiga proses pembelajaran terjadi di sana. Bahkan kalau anggota DPR rajin membaca, mereka tak perlu studi banding ke luar negeri. Kenapa? karena cukup dengan membaca di perpustakaan dan browsing informasi lewat internet. Dalam konteks ini, mendongkrak minat baca dan melek teknologi infromasi (TI) siswa menjadi sangat urgen.

Satu kebijakan sederhana bisa diterapkan kembali oleh pemerintah. Pada saat Daoed Joesoef masih menjadi Mendikbud, ia mengharuskan setiap anak yang lulus menyumbang minimal satu buku untuk perpustakaan sekolahnya. Ia juga berusaha mendekatkan perpustakaan dengan masyarakat. Di daerah pedalaman ada perpustakaan dalam kapal yang berkeliling ke desa-desa terpencil untuk meminjamkan buku bacaan.

Terakhir tapi penting, Soegeng Sarjadi juga mendirikan perpustakaan di TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Bantar Gebang. Dari tempat yang dianggap kotor tersebut bisa muncul generasi cerdas dan berwawasan luas. Begitu pula dengan program Indonesia Mengajar (IM) https://indonesiamengajar.org/ yang digagas Anies Baswedan. Para eksekutif muda meninggalkan kenyamanan kota dan berkarya di daerah-daerah terpencil. Mereka belajar dari akar rumput sekaligus berbagi inspirasi. Langkah sederhana namum konkrit semacam itu laksana pelita dalam kegelapan. Salam pendidikan!
13730884231748684656
Picture Source: http://www.citizenjurnalism.com/world-news/indonesia/cj-dpr-ri-news/komisi-viii-berharap-tidak-ada-sekolah-reyot-lagi/

Tidak ada komentar: