Dimuat di Surat Pembaca, Suara Merdeka, Sabtu/6 Juli 2013
Berikut ini versi awal sebelum diedit Yth. Redaktur:
“Mestinya kita tidak hanya sibuk
memikirkan nilai rupiah dan panjang pendeknya masa jabatan. Persoalan
yang paling mendasar adalah bagaimana menata martabat bangsa. Untuk itu
pendidikan menjadi sangat strategis. Dulu kita selalu ingat nilai
ekonomi saja. Tapi nilai ekonomi belum tentu memberi nilai tambah bagi
tatanan kehidupan. Kita malah menjadi tidak ramah terhadap
lingkungan; tidak ramah terhadap kehidupan sosial. Karena kita mengejar
pertumbuhan ekonomi semata…” - Prof. Dr. H. Abdul Malik Fajar, Msc.
Dalam pembukaan Undang-undang Dasar
(UUD) 1945 bahkan secara eksplisit ditulis bahwa salah satu tujuan
proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia (RI) ialah untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa. Oleh sebab itu, 20 persen dari total Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dipakai untuk membenahi sektor
pendidikan dari Sabang sampai Merauke. Bahkan pada 2013 ini nominalnya
mencapai Rp331 trilyun.
Ironisnya, sistem pendidikan nasional
kian karut-marut dan dibangun tanpa desain. Baik itu dari level
pendidikan anak usia dini (PAUD), sekolah dasar (SD) hingga ke jenjang
perguruan tinggi (PT). Bahkan tampak kentara dari bangunan fisiknya,
masih ada anak-anak yang terpaksa belajar di gubuk reyot.
Dalam konteks ini, penulis mengafirmasi
pendapat Soegeng Sarjadi, pengampu kebijakan pendidikan nasional di
negeri ini kurang intelek, tidak memiliki standar, dan belum
berperadaban. Tatkala dibandingkan dengan Cornell University, Oxford University, Sorbonne University, dll ibarat langit dan bumi.
Pendiri Soegeng Sarjadi Syndicate
(SSS) itu juga mengkritik kenapa setiap ganti menteri selalu ganti
kurikulum? Alhasil, pendidikan tidak memiliki hati, karena yang tersisa
hanya ego pribadi. Biaya pendidikan pun semakin mahal bagi anak bangsa.
Sungguh ironis lembaga pendidikan negeri malah SPP-nya seperti swasta.
Parahnya lagi, proses pembelajaran
cenderung menyiksa ketimbang menggembirakan siswa. Padahal dulu di
Sekolah Rakyat (SR) anak-anak selalu diajak menyanyi lagu kebangsaaan,
sorak-sorai bergembira! Selain itu, pakar pendidikan berpengalaman
seperti Daoed Joesoef yang memiliki konsep visioner malah didepak dari
birokrasi. Dulu beliau sempat menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan (Mendikbud) periode 1978-1983.
Kini anggaran pendidikan nasional
dipakai untuk membiayai kebijakan tanpa konsep. Tak heran kalau terjadi
begitu banyak penyimpangan. Misalnya untuk UN (Ujian Nasional) dan
perubahan Kurikulum 2013. Di seluruh Indonesia ada 70.000 desa. Kalau
setiap desa mendapat Rp1 milyar saja - jadi totalnya Rp70 trilyun per
tahun dari total anggaran Rp331 trilyun - maka beres sudah, tak ada
lagi anak-anak yang terancam tertimpa atap roboh saat belajar di kelas.
Peran Guru
Penulis bersepakat pula dengan tesis Harry Tjan Silalahi yang menyoroti peran guru. Menurut direktur Center for Strategic and International Studies
(CSIS) tersebut hanya ada dua profesi di dunia ini, yakni tukang dan
pendidik. Ia menandaskan bahwa setiap orang setelah dewasa niscaya
menjadi pendidik. Bisa sebagai kepala kantor, orang tua, atau pun tokoh
di masyarakat.
Oleh sebab itu, dalam Declaration of Independent
(Prokramasi Kemerdekaan) RI, pendidikan dijadikan satu dari empat
tujuan NKRI. Ibarat perhiasan, mencerdasakan kehidupan bangsa merupakan
perhiasan yang paling gemilang dan berharga. Para guru adalah penentu
utama transformasi kehidupan berbangsa itu.
Bahkan setelah Hirosima dan Nagasaki
hancur lebur dibom oleh Sekutu dalam Perang Dunia II, Sang Kaisar
Jepang pun sontak bertanya: “Berapa guru yang masih kita miliki?”
Artinya, kemajuan sebuah bangsa memang berbanding lurus dengan kualitas
tenaga pengajar di sektor pendidikan. Senada dengan pendapat
Anand Krishna Ph.D, “Kalau mau melahirkan Manusia Baru, kita harus
mulai dari mana, dari siapa? Barangkali ada yang menjawab, ‘dari anak.’
Betul, tapi ‘anak’ itu ciptaan siapa, cetakan siapa? Yang membentuk
kepribadiannya siapa lagi kalau bukan seorang guru?” (Mengajar Tanpa Dihajar Stress, 2003).
Secara lebih mendalam, Harry Tjan
Silalahi juga memaknai hakikat pendidikan sebagai upaya untuk menjadi
insan kamil alias manusia yang komprehensif. Ironisnya, pada era
reformasi kualitas pendidikan malah merosot drastis. Salah satu
penyebabnya ialah karena politisi yang tak siap tapi tetap ditunjuk
menjadi menteri oleh presiden. Beda dengan Daoed Joesoef yang memang
sudah dipersiapkan lewat kuliah di Sorbonne University jauh sebelum beliau didaulat menjadi Mendikbud dalam Kabinet Pembangunan III.
Tanpa tedeng aling-aling Harry Tjan
Silalahi pernah mengkritik Mendikbud periode 2009-2014 Moh. Nuh karena
tak mau bersilaturahmi dengan swasta. Padahal di Indonesia ini ada
lebih dari 3.000 Universitas swasta. Pihak swasta diperlakukan oleh
pemerintah ibarat tebu. Habis manis sepah dibuang padahal tanpa
silaturahmi, kerjasama, dan hati…pendidikan nasional niscaya tetap
jalan di tempat.
Investasi Masa Depan
Sulastomo, Koordinator Gerakan Jalan
Lurus pernah mengingatkan bahwa pendidikan ialah investasi masa depan.
Hasilnya baru akan terasa 10-15 tahun ke depan. Sebaliknya, kalau kini
kita acuh melihat karut-marut sistem penddikan nasional, dampak
buruknya juga baru akan terasa 10-15 tahun ke depan. Satu genarasi
bangsa bisa hilang ditelan zaman.
Ia juga memaparkan kaitan antara
pendidikan dan kejiwaan manusia. Sistem pendidikan terbaik di dunia
ialah Finlandia. Di sana mereka begitu memperhatikan pendidikan usia
dini, karena sejak usia 0-12 tahun otak manusia masih terbuka dan
reseptif pada nilai-nilai baru. Pemerintah Finlndia sampai
mengalokasikan 25 persen anggaran negaranya untuk early childhood education. Salah satu concern mereka
ialah mengembangkan minat baca kepada para siswa sekolah dasar.
Alhasil, di level sekolah menengah dan perguruan tinggi, mereka sudah
tahu apa yang terbaik bagi dirinya dan bisa mencari referensi sendiri
lewat sumber bacaan yang luas.
Sulastomo juga mengkritik keras sistem
Ujian Nasional (UN). Apakah anggaran untuk UN sebanding dengan
hasilnya? Padahal sudah menjadi rahasia umum terjadi kebocoran kunci
jawaban dan distrubusi soal yang kacau di beberapa daerah. Alangkah
baiknya jika anggaran UN tersebut dimanfaatkan untuk mendidik guru-guru
SD sampai SMA dan para dosen Perguruan Tinggi (PT), memperbaiki
fasilitas belajar siswa, membangun perpustakaan, menyediakan buku-buku
bermutu niscaya hasilnya lebih optimal.
Ia juga mengutip pemberitaan dari
Al-Jazeera edisi 22 Februari 2013. Pendidikan di Indonesia kembali
menjadi sorotan dunia internasional. Kali ini, sebuah program “101
East” telah melakukan investigasi. Mereka kemudian mengulasnya dalam
judul “Educating Indonesia” untuk mengetahui alasan mengapa pendidikan
Indonesia menempati peringkat 40, paling rendah di seluruh dunia. Kita
seolah kembali ke jaman batu (stone age). Padahal, di era pasar bebas ini, sekolah asing juga akan menjajakan dagangannya di Indonesia. Kita terikat pada kesepakatan World Trade Organization (WTO) tersebut dan tak bisa menolaknya.
Sebagai solusi, minat baca harus
ditingkatkan. Penelitian terkini menyatakan bahwa perpustakaan
merupakan sumber belajar yang efektif. Sepertiga proses pembelajaran
terjadi di sana. Bahkan kalau anggota DPR rajin membaca, mereka tak
perlu studi banding ke luar negeri. Kenapa? karena cukup dengan membaca
di perpustakaan dan browsing informasi lewat internet. Dalam
konteks ini, mendongkrak minat baca dan melek teknologi infromasi (TI)
siswa menjadi sangat urgen.
Satu kebijakan sederhana bisa
diterapkan kembali oleh pemerintah. Pada saat Daoed Joesoef masih
menjadi Mendikbud, ia mengharuskan setiap anak yang lulus menyumbang
minimal satu buku untuk perpustakaan sekolahnya. Ia juga berusaha
mendekatkan perpustakaan dengan masyarakat. Di daerah pedalaman ada
perpustakaan dalam kapal yang berkeliling ke desa-desa terpencil untuk
meminjamkan buku bacaan.
Terakhir tapi penting, Soegeng Sarjadi
juga mendirikan perpustakaan di TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Bantar
Gebang. Dari tempat yang dianggap kotor tersebut bisa muncul generasi
cerdas dan berwawasan luas. Begitu pula dengan program Indonesia
Mengajar (IM) https://indonesiamengajar.org/
yang digagas Anies Baswedan. Para eksekutif muda meninggalkan
kenyamanan kota dan berkarya di daerah-daerah terpencil. Mereka belajar
dari akar rumput sekaligus berbagi inspirasi. Langkah sederhana namum
konkrit semacam itu laksana pelita dalam kegelapan. Salam pendidikan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar