Dimuat di HMINEWS.COM, Rabu/3 Juli 2013
Judul: Stop Menjadi Guru!
Penulis: Asep Sapa’at
Penerbit: Tangga Pustaka
Cetakan: I/2012
Tebal: xxii + 288 halaman
ISBN: 979-083-069-6
Pada masa peralihan tahun ajaran baru seperti saat ini, orang tua
mengalami dua perasaan sekaligus. Di satu sisi mereka merasa bahagia
karena buah hati tercinta berhasil lulus TK/SD/SMP/SMA atau sekolah
lain yang sederajat, di sisi lain mereka pun merasa was-was. Terutama
terkait penentuan kelanjutan studi anak dan memilih sekolah yang baru.
Buku ini memuat beberapa penelitian mengenai efektifitas sebuah
sekolah. Edmons (1979) menyebutkan bahwa ada lima karakteristik
sekolah efektif, yakni: (1) kepemimpinan dan perhatian kepala sekolah
terhadap kualitas pengajaran; (2) pemahaman yang mendalam terhadap
pengajaran; (3) iklim yang nyaman dan tertib bagi berlangsungnya
pengajaran dan pembelajaran; (4) harapan bahwa semua siswa minimal
akan menguasai ilmu pengetahuan tertentu; dan (5) peniliaian siswa
yang didasarkan pada hasil pengukuran nilai belajar siswa (halaman
119).
Setali tiga uang dengan pendapat Edward Henveld (1992). Ia pun
mengungkapkan 16 indikator sebuah sekolah dapat disebut efektif,
yakni: (1) dukungan orang tua siswa dan lingkungan; (2) dukungan yang
efektif dari sistem pendidikan; (3) dukungan materi yang cukup; (4)
kepemimpinan yang efektif; (5) pengajaran yang baik; (6) fleksibilitas
dan otonomi; (7) waktu yang cukup di sekolah; (8) harapan yang tinggi
dari siswa; (9) sikap yang positif dari guru; (10) peraturan yang
disiplin; (11) kurikulum yang terorganisasi; (12) adanya penghargaan
dan insentif; (13) waktu pembelajaran yang cukup; (14) variasi
strategi pengajaran; (15) frekuensi pekerjaan rumah; dan (16) adanya
penilaian dan umpan balik sesering mungkin.
Menurut penulis buku ini, orangtua jangan mudah tergiur oleh promosi
heboh yang dilakukan oleh pihak sekolah jelang peralihan tahun ajaran
baru. Selain itu, jangan pula silau dengan label standar nasional,
label bertaraf internasional, dan label-label luaran lainnya. Pastikan
terlebih dahulu sekolah tersebut memenuhi kriteria sekolah efektif
dari Edmons (1979) dan Edward Henveld (1992) di atas. Sehingga saat
memilih sekolah anak tidak seperti memilih kucing dalam karung.
Sistematika buku bersampul kuning ini terdiri atas 6 bab. Antara lain
“Sebuah Cermin untuk Berbenah”, “Terus Mencintai dan Membenahi
Sekolah”, dan “Penerang Ilmu Bernama Pendidik Berliterasi”. Tesis
dasarnya sederhana tapi mendalam, menurut aktivis Sekolah Guru
Indonesia tersebut, pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia.
Setiap manusia toh memiliki impian, oleh sebab itu sekolah harus
menjadi tempat terbaik untuk mewujudkan impian murid-murid di masa
depan. Dalam konteks ini, guru merupakan sosok yang mesti mampu
mengembangkan keberanian murid-murid untuk bermimpi. Mimpi untuk
menjadi manusia seutuhnya, unik, otentik, dan paham kenapa mereka
memang harus memiliki mimpi (halaman 4).
Selanjutnya, pembicara di berbagai pertemuan ilmiah tentang pendidikan
di dalam dan luar negeri (Hong Kong, Brunei Darussalam, Jepang, dll)
tersebut mengajak pembaca belajar dari negeri Sakura. Dalam acara Conference of Lesson Study
2010, sebuah SMP di Lembang kedatangan tamu dari negeri manca. Salah
satunya bernama Kubochi Ikuya. Dia adalah guru sains dari Ohzu High
School, Ehime-Pre, Jepang. Uniknya, saat dipanggil untuk menjadi guru
tamu dalam pembelajaran sains, semua orang terheran-heran. Kenapa?
Karena tampilannya lebih mirip pemain musik daripada seorang guru.
Fotonya dapat dilihat di halaman 12. Tapi saat mulai mengajar semua
orang pun berdecak kagum.
Jika ada anak yang mengangkat tangan tanda bersedia menjawab
pertanyaan dari Kubochi, luar biasa! Ia bergegas menyalami murid yang
satu itu, lantas meminta semua siswa lainnya memberikan tepuk tangan
sebagai apresiasi atas kesediaan anak tersebut. Bahkan jika jawaban
anak tersebut salah sekalipun, ia tetap melakukan hal serupa. Intinya,
setiap ucapan dan sikap Kubochi selalu menunjukkan rasa hormat dan
percaya kepada kemampuan siswa. Hal kecil tapi berdampak besar inilah
yang sering dilupakan oleh dunia pendidikan nasional kita dewasa ini.
Kebetulan penulis sempat mewawancarai Kubochi pasca sesi open class.
“Apakah Anda mencintai profesi guru? Mengapa Anda mencintai profesi
guru?” tanya Asep Sapa’at untuk menggali sisi unik pribadi sosok guru
muda nan inspiratif tersebut. Dengan santai, Kubochi menjelaskan bahwa
dirinya sangat mencintai anak-anak dan pelajaran sains. “Ketika siswa
berhasil dalam belajar mereka, hal itu menjadi sesuatu yang teramat
sangat berharga dalam hidup saya,” tuturnya dengan mata berbinar. Senada
dengan petuah dari sensei Kodama, “Sensei (guru) yang baik itu tahu
potensi anak-anaknya. Dan dia bersungguh-sungguh menjadi jalan
kesuksesan bagi anak-anaknya.” (halaman 18).
Buku setebal 288 halaman ini menandaskan bahwa menjadi guru bukan profesi main-main. Guru ialah sebuah panggilan jiwa (inner calling).
Kendati pemerintah belum menjadikan profesi guru sebagai profesi
mulia saat ini, teruslah mendidik dan menginspirasi siswa-siswi kita
di kelas. Sehingga kelak mereka menjadi pemimpin bangsa yang
kebijakannya sungguh memberi kemaslahatan bagi profesi guru di tanah
air tercinta. Selamat membaca dan salam pendidikan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar