Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Senin/22 Juli 2013
http://mjeducation.co/mengabadikan-kehidupan-lewat-rangkaian-puisi-liputan-acara-mengenang-7-hari-meninggalnya-hari-leo-aer/
“Lewat angin dan musim
Aku mengenangmu dengan sepenuh rindu
Lewat angin dan musim
Aku menyapamu dengan sepenuh haru
Lewat angin dan musim
Aku baca petuahmu yang satu
Lewat angin dan musim
Aku berkaca kepada jiwamu yang batu
Lewat angin dan musim
Aku gambar adamu
Dalam diri yang kaku…”
Begitulah petikan puisi Hari Leo AER yang terpampang sebagai latar belakang panggung Kampayo XT Square, Jln. Veteran, Yogyakarta. Kamis malam (18/7/2013) itu, penulis tiba di lokasi pukul 20.00 WIB. Ternyata ratusan pecinta seni dan budaya di kota Gudeg sudah berkumpul untuk mengenang 7 hari meninggalnya sastrawan, pencipta puisi, dan penulis naskah drama kondang tersebut. Pria kelahiran 3 Agustus 1960 itu tutup usia pada Kamis malam (12/7/2013) pukul 00.30 WIB silam di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta karena penyakit diabetes.
Tepat pukul 20.30 WIB Master of Ceremony (MC) menyapa ramah seluruh penonton yang duduk lesehan dan di bangku-bangku taman. Acara memang berlangsung informal di luar ruangan (outdoor). Ichsan Zulkarnain dan Yuli Kurnia berduet memandu jalannya acara. Sebelumnya, MC mengajak seluruh hadirin berdiri khidmat dan berdoa bersama agar arwah almarhum Hari Leo AER diterima di sisi-Nya. Setelah itu, sembari membacakan siapa saja para pengisi acara yang akan tampil, mereka juga mempersilakan para tamu untuk menikmati minuman dan camilan ala kadarnya, seperti wedang jahe, teh hangat, ubi rebus, kacang rebus, martabak, cemplon, dll
Risandi kelompok musik yang digawangi para generasi muda menjadi penampil pertama. Ketujuh personilnya mengapresiasi karya almarhum Hari Leo AER lewat musikalisasi puisi. “Kami adalah anak-anak didik dari Pakde Leo, begitu kami biasa memanggil beliau. Pakde Leo seorang guru bagi kami dalam bermusik dan bersastra. Bulan lalu pun kami masih bermain bersama beliau dalam “Lelaki Bermata Api” lewat iringan orkestra,” ujar seorang personel Risandi.
Puisi Hari Leo yang dimusikalisasikan oleh Risandi berjudul “Ingin Kudengarkan.” Berikut ini petikan liriknya:
Ada jejak tapak kaki
Ada tetesan keringat
Dan ada percikan darah
Yang pernah kau lewati…
Petikan gitar, alunan accordion, tabuhan kahoon, dan irama keyboard mengiringi sajak-sajak puitis yang pernah ditorehkan almarhum di atas secarik kertas tersebut.
“Kepergian Mas Hari Leo yang tiba-tiba masih menyisakan duka mendalam. Dulu almarhum juga suka ngangkring di XT Square ini,” ujar Hasto selaku tuan rumah. Ia juga berharap agar QT Square bisa menjadi tempat berkesenian dan berekspresi kaum muda demi keistimewaan Yogyakarta seperti yang dicita-citakan oleh mendiang Hari Leo.
Setelah sambutan singkat dari manajemen QT Square tersebut, Risandi langsung memainkan repertoire musikalisasi puisi yang kedua, judulnya “Ayah”. Berikut ini petikan puisi Hari Leo tersebut:
Nada-nada indah dalam simponiku
Api dalam jiwa yang terus menyala
Tiada henti
Ayah aku mengenangmu dengan seribu rindu…
Dian Anggraeni, seorang sahabat almarhum turut menyampaikan testimoninya. “Walau kini fisik beliau sudah tidak ada, tapi karya-karyanya tetap ada,” ujar mantan pengurus Taman Budaya Yogyakarta (TBY) tersebut. Dulu, Dian mengaku sering bertemu Hari Leo di TBY. Karena TBY merupakan tempat untuk berkumpulnya para sastrawan dari dalam maupun luar daerah Yogyakarta, terutama dalam program Bincang-Bincang Sastra (BBS).
“Semoga ke depannya, sastra kian mendapat prioritas dalam program-program budaya. Saya senang sekali ada tempat baru seperti di QT Square ini. Sebab peristiwa-peristiwa budaya merupakan identitas yang khas dari Yogyakarta,” imbuhnya lagi.
“Konon orang yang suka menulis puisi itu awet muda, ternyata yang awet muda itu karya puisinya, sedangkan penulisnya tak demikian,” begitulah prolog dari testimoni Hamdy Salad untuk mengenang Hari Leo. Lantas sastrawan yang merupakan sahabat karib almarhum tersebut membacakan puisi almarhum yang dimuat di Koran Merapi edisi 14 Juli 2013. Menurut redakturnya, puisi tersebut didapat dari HP Hari Leo, tapi belum ada judulnya. Berikut ini petikannya:
Pada titik kerinduan
Aku bersujud pada-Mu
ku lihat linangan air mata…
Ternyata acara mengenang 7 hari meninggalnya Hari Leo malam itu juga disiarkan secara langsung oleh Radio Buku di radiobuku.com dan streaming se-Asia. “Sehingga teman-teman pecinta karya-karya Hari Leo di Singapura, Malaysia, Klaten, dll bisa turut menyimak,” ujar Ichsan Zulkarnain selaku MC.
Persembahan dari Hendra Buana dan Saron Song tak kalah menarik dari sajian-sajian sebelumnya. Pelukis dan pemain saron itu berkolaborasi mengenang Hari Leo dengan melukis bebas (free painting) di atas kanvas diiringi dentingan suara saron.
Suasana kian semarak takala Jemek Supardi turut berimprovisasi lewat gerakan-gerakan tanpa kata alias pantominnya. Jemek membawa lilin besar yang menyala. Ia mengenakan pakaian serba putih dari kantong goni. Di akhir atraksi malam itu, ia meniup nyala lilin tadi hingga padam. Bisa jadi sebagai perumpamaan kepergian Hari Leo kembali ke alam baka.
Edo Cahyono, seorang sahabat almarhum lainnya berbagi secuil kisah juga. Ia pertama kali berkenalan dengan Hari Leo pada 1987. Saat itu, Edo masih tergabung dalam kelompok Ketoprak Teater Getih Budoyo. Menurutnya ada kebiasaan kecil yang jarang diketahui orang. “Mas Hari Leo itu selalu membawa 6 seruling bambu di dalam bagasi vespanya,” ujarnya.
Edo menambahkan bahwa cita-cita almarhum sangat sederhana tapi mulia, yakni agar para seniman bisa berkesenian tanpa padu (berkelahi). “Yang penting kita bisa terus bekerja dan senang,” imbuhnya lagi. Di akhir testimoninya, Edo membacakan selarik sajak:
Pagi di Parangtritis
Ada dua arti kekalahan
Dari sebuah pertempuran
Selanjutnya, kembali perwakilan dari generasi muda yang tampil membawakan musikalisasi puisi karya Hari Leo. Di awal penampilannya, Doni Suwung bercerita ihwal pertemuan pertamanya dengan almarhum, yakni pada tahun 1995-1996 dalam Konser Puisi Indonesia.
Lantas, pertemuan terakhirnya dengan Hari Leo beberapa waktu lalu. Saat itu, mereka bersua di Taman Budaya Yogyakarta, Hari Leo bertanya kepadanya, “Don kowe lagi garap opo? Lampu reting motormu opo iseh murup?” Pasca bertanya begitu, Hari Leo meninggalkannya, tapi kemudian membalikkan badan setelah melangkah kira-kira 10 meter dan berkata, “Don sik yo.” Sembari melambaikan tangannya. “Ternyata itu merupakan lambaian tangan terakhir,” ujar Doni dengan suara bergetar. Doni membawakan puisi “Bulan Datang” dengan iringan gitar.
Malam terus merambat kian larut, udara dingin menembus kulit, kendati demikian tak menyurutkan para penonton dan pengisi acara untuk undur diri. Selanjutnya, Untung Basuki dan Sanggar Sabu mengenang Hari Leo lewat dua persembahan musikalisasi puisi, yakni “Yang Di Aceh” karya Angger Jati dan sebuah puisi dari antologi “Menggambar Angin”. Berikut ini petikan liriknya:
Simpan amarah
Detak jantung ini adalah isyarat
Cinta kasih yang amat dalam
Broto Seno, seorang sahabat almarhum turut berbagi testimoni. Ia mengaku sebagai orang kalah, setelah 10 tahun belajar seni secara literer Broto memilih keluar dari dunia seni. “Puisi itu tak bisa untuk hidup, tapi bagi Hari Leo saya yakin syair-syair beliau telah lama membukakan pintu surga” ujarnya. Broto Seno kini menjadi Komandan Tim SAR DIY (Search and Rescue) Daerah Istimewa Yogyakarta. Menurutnya ada dua ciri khas keistimewaan Yogyakarta, yakni semangat seni budaya dan kerelawanan.
Lalu agar identitas keistimewaan tersebut tetap terjaga, pemerintah harus mendukung lewat subsidi. “Katakan saja di DIY ada 5 surat kabar, setiap minggu mereka memuat rubrik puisi. Bagi para sastrawan yang karyanya tembus media tersebut tinggal membawa bukti kliping ke kantor Pemda/Pemkab setempat untuk mendapat subsidi Rp1 juta,” ujarnya dengan mantap.
“Kalau setahun ada 52 minggu, maka subsidi yang dibutuhkan hanya Rp 5 juta kali 52, totalnya Rp 260 juta untuk mengapresiasi karya para sastrawan. Ini bukan sekadar masalah uang tapi bagaimana mendidik pemerintah agar juga merawat identitas Yogyakarta sebagai kota budaya,” imbuhnya lagi. Gagasan tersebut merupakan dialog terakhir dengan salah satu penulis puisi dan naskah drama tersebut. Almarhum juga sangat setuju. “Bener juga kowe yo,” ujar Broto menirukan Hari Leo.
Nuansa Kejawen menambah semarak acara malam itu, Bambang Nur Singgih S.Sn mengiringi kepergian Hari Leo lewat tembang geguritan. Karena penulis tak begitu paham bahasa Jawa, istri turut membantu menuliskan. Berikut ini petikannya:
Puluh-puluh dadi rong puluh
Sumitro kang legowo selehne lakumu
Sugeng tindak lan mugi rahayu
Manunggaling Gusti…
Sebagai gong penutup, Anterock menggebrak dengan hentakan musik rock. Puisi-puisi Hari Leo diekspresikan lewat aliran musik cadas tersebut. Menurut sang vokalis Wendy HS, “Almarhum melakukannya agar generasi muda jadi lebih tertarik pada puisi. Selain itu, agar puisi bisa dinikmati oleh segmen yang baru.”
Ada 3 puisi yang dibawakan malam itu, semuanya karya Hari Leo, yakni “Menangisi Waktu”, “Nyanyi Sunyi”, dan “Air Mata Darah.” Berikut ini petikan dari tembang yang pertama:
Usia lewat tak bisa bicara apa-apa
Tapaknya pun tak meninggalkan jejak
Aroma tanah basah
Bumi yang diinjak-injaknya
Selamat jalan Hari Leo, semoga makin bahagia di alam sana dalam pelukan kasih-Nya. Ibarat kata pepatah, harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, dan manusia mati meninggalkan karya. Menyitir pendapat Dian Anggraeni, “Walau kini fisik almarhum sudah tidak ada lagi, tapi karya-karya puisi beliau tetap abadi.”
Sumber Foto: Dok. Pri
http://mjeducation.co/mengabadikan-kehidupan-lewat-rangkaian-puisi-liputan-acara-mengenang-7-hari-meninggalnya-hari-leo-aer/
“Lewat angin dan musim
Aku mengenangmu dengan sepenuh rindu
Lewat angin dan musim
Aku menyapamu dengan sepenuh haru
Lewat angin dan musim
Aku baca petuahmu yang satu
Lewat angin dan musim
Aku berkaca kepada jiwamu yang batu
Lewat angin dan musim
Aku gambar adamu
Dalam diri yang kaku…”
Begitulah petikan puisi Hari Leo AER yang terpampang sebagai latar belakang panggung Kampayo XT Square, Jln. Veteran, Yogyakarta. Kamis malam (18/7/2013) itu, penulis tiba di lokasi pukul 20.00 WIB. Ternyata ratusan pecinta seni dan budaya di kota Gudeg sudah berkumpul untuk mengenang 7 hari meninggalnya sastrawan, pencipta puisi, dan penulis naskah drama kondang tersebut. Pria kelahiran 3 Agustus 1960 itu tutup usia pada Kamis malam (12/7/2013) pukul 00.30 WIB silam di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta karena penyakit diabetes.
Tepat pukul 20.30 WIB Master of Ceremony (MC) menyapa ramah seluruh penonton yang duduk lesehan dan di bangku-bangku taman. Acara memang berlangsung informal di luar ruangan (outdoor). Ichsan Zulkarnain dan Yuli Kurnia berduet memandu jalannya acara. Sebelumnya, MC mengajak seluruh hadirin berdiri khidmat dan berdoa bersama agar arwah almarhum Hari Leo AER diterima di sisi-Nya. Setelah itu, sembari membacakan siapa saja para pengisi acara yang akan tampil, mereka juga mempersilakan para tamu untuk menikmati minuman dan camilan ala kadarnya, seperti wedang jahe, teh hangat, ubi rebus, kacang rebus, martabak, cemplon, dll
Risandi kelompok musik yang digawangi para generasi muda menjadi penampil pertama. Ketujuh personilnya mengapresiasi karya almarhum Hari Leo AER lewat musikalisasi puisi. “Kami adalah anak-anak didik dari Pakde Leo, begitu kami biasa memanggil beliau. Pakde Leo seorang guru bagi kami dalam bermusik dan bersastra. Bulan lalu pun kami masih bermain bersama beliau dalam “Lelaki Bermata Api” lewat iringan orkestra,” ujar seorang personel Risandi.
Puisi Hari Leo yang dimusikalisasikan oleh Risandi berjudul “Ingin Kudengarkan.” Berikut ini petikan liriknya:
Ada jejak tapak kaki
Ada tetesan keringat
Dan ada percikan darah
Yang pernah kau lewati…
Petikan gitar, alunan accordion, tabuhan kahoon, dan irama keyboard mengiringi sajak-sajak puitis yang pernah ditorehkan almarhum di atas secarik kertas tersebut.
“Kepergian Mas Hari Leo yang tiba-tiba masih menyisakan duka mendalam. Dulu almarhum juga suka ngangkring di XT Square ini,” ujar Hasto selaku tuan rumah. Ia juga berharap agar QT Square bisa menjadi tempat berkesenian dan berekspresi kaum muda demi keistimewaan Yogyakarta seperti yang dicita-citakan oleh mendiang Hari Leo.
Setelah sambutan singkat dari manajemen QT Square tersebut, Risandi langsung memainkan repertoire musikalisasi puisi yang kedua, judulnya “Ayah”. Berikut ini petikan puisi Hari Leo tersebut:
Nada-nada indah dalam simponiku
Api dalam jiwa yang terus menyala
Tiada henti
Ayah aku mengenangmu dengan seribu rindu…
Dian Anggraeni, seorang sahabat almarhum turut menyampaikan testimoninya. “Walau kini fisik beliau sudah tidak ada, tapi karya-karyanya tetap ada,” ujar mantan pengurus Taman Budaya Yogyakarta (TBY) tersebut. Dulu, Dian mengaku sering bertemu Hari Leo di TBY. Karena TBY merupakan tempat untuk berkumpulnya para sastrawan dari dalam maupun luar daerah Yogyakarta, terutama dalam program Bincang-Bincang Sastra (BBS).
“Semoga ke depannya, sastra kian mendapat prioritas dalam program-program budaya. Saya senang sekali ada tempat baru seperti di QT Square ini. Sebab peristiwa-peristiwa budaya merupakan identitas yang khas dari Yogyakarta,” imbuhnya lagi.
“Konon orang yang suka menulis puisi itu awet muda, ternyata yang awet muda itu karya puisinya, sedangkan penulisnya tak demikian,” begitulah prolog dari testimoni Hamdy Salad untuk mengenang Hari Leo. Lantas sastrawan yang merupakan sahabat karib almarhum tersebut membacakan puisi almarhum yang dimuat di Koran Merapi edisi 14 Juli 2013. Menurut redakturnya, puisi tersebut didapat dari HP Hari Leo, tapi belum ada judulnya. Berikut ini petikannya:
Pada titik kerinduan
Aku bersujud pada-Mu
ku lihat linangan air mata…
Ternyata acara mengenang 7 hari meninggalnya Hari Leo malam itu juga disiarkan secara langsung oleh Radio Buku di radiobuku.com dan streaming se-Asia. “Sehingga teman-teman pecinta karya-karya Hari Leo di Singapura, Malaysia, Klaten, dll bisa turut menyimak,” ujar Ichsan Zulkarnain selaku MC.
Persembahan dari Hendra Buana dan Saron Song tak kalah menarik dari sajian-sajian sebelumnya. Pelukis dan pemain saron itu berkolaborasi mengenang Hari Leo dengan melukis bebas (free painting) di atas kanvas diiringi dentingan suara saron.
Suasana kian semarak takala Jemek Supardi turut berimprovisasi lewat gerakan-gerakan tanpa kata alias pantominnya. Jemek membawa lilin besar yang menyala. Ia mengenakan pakaian serba putih dari kantong goni. Di akhir atraksi malam itu, ia meniup nyala lilin tadi hingga padam. Bisa jadi sebagai perumpamaan kepergian Hari Leo kembali ke alam baka.
Edo Cahyono, seorang sahabat almarhum lainnya berbagi secuil kisah juga. Ia pertama kali berkenalan dengan Hari Leo pada 1987. Saat itu, Edo masih tergabung dalam kelompok Ketoprak Teater Getih Budoyo. Menurutnya ada kebiasaan kecil yang jarang diketahui orang. “Mas Hari Leo itu selalu membawa 6 seruling bambu di dalam bagasi vespanya,” ujarnya.
Edo menambahkan bahwa cita-cita almarhum sangat sederhana tapi mulia, yakni agar para seniman bisa berkesenian tanpa padu (berkelahi). “Yang penting kita bisa terus bekerja dan senang,” imbuhnya lagi. Di akhir testimoninya, Edo membacakan selarik sajak:
Pagi di Parangtritis
Ada dua arti kekalahan
Dari sebuah pertempuran
Selanjutnya, kembali perwakilan dari generasi muda yang tampil membawakan musikalisasi puisi karya Hari Leo. Di awal penampilannya, Doni Suwung bercerita ihwal pertemuan pertamanya dengan almarhum, yakni pada tahun 1995-1996 dalam Konser Puisi Indonesia.
Lantas, pertemuan terakhirnya dengan Hari Leo beberapa waktu lalu. Saat itu, mereka bersua di Taman Budaya Yogyakarta, Hari Leo bertanya kepadanya, “Don kowe lagi garap opo? Lampu reting motormu opo iseh murup?” Pasca bertanya begitu, Hari Leo meninggalkannya, tapi kemudian membalikkan badan setelah melangkah kira-kira 10 meter dan berkata, “Don sik yo.” Sembari melambaikan tangannya. “Ternyata itu merupakan lambaian tangan terakhir,” ujar Doni dengan suara bergetar. Doni membawakan puisi “Bulan Datang” dengan iringan gitar.
Malam terus merambat kian larut, udara dingin menembus kulit, kendati demikian tak menyurutkan para penonton dan pengisi acara untuk undur diri. Selanjutnya, Untung Basuki dan Sanggar Sabu mengenang Hari Leo lewat dua persembahan musikalisasi puisi, yakni “Yang Di Aceh” karya Angger Jati dan sebuah puisi dari antologi “Menggambar Angin”. Berikut ini petikan liriknya:
Simpan amarah
Detak jantung ini adalah isyarat
Cinta kasih yang amat dalam
Broto Seno, seorang sahabat almarhum turut berbagi testimoni. Ia mengaku sebagai orang kalah, setelah 10 tahun belajar seni secara literer Broto memilih keluar dari dunia seni. “Puisi itu tak bisa untuk hidup, tapi bagi Hari Leo saya yakin syair-syair beliau telah lama membukakan pintu surga” ujarnya. Broto Seno kini menjadi Komandan Tim SAR DIY (Search and Rescue) Daerah Istimewa Yogyakarta. Menurutnya ada dua ciri khas keistimewaan Yogyakarta, yakni semangat seni budaya dan kerelawanan.
Lalu agar identitas keistimewaan tersebut tetap terjaga, pemerintah harus mendukung lewat subsidi. “Katakan saja di DIY ada 5 surat kabar, setiap minggu mereka memuat rubrik puisi. Bagi para sastrawan yang karyanya tembus media tersebut tinggal membawa bukti kliping ke kantor Pemda/Pemkab setempat untuk mendapat subsidi Rp1 juta,” ujarnya dengan mantap.
“Kalau setahun ada 52 minggu, maka subsidi yang dibutuhkan hanya Rp 5 juta kali 52, totalnya Rp 260 juta untuk mengapresiasi karya para sastrawan. Ini bukan sekadar masalah uang tapi bagaimana mendidik pemerintah agar juga merawat identitas Yogyakarta sebagai kota budaya,” imbuhnya lagi. Gagasan tersebut merupakan dialog terakhir dengan salah satu penulis puisi dan naskah drama tersebut. Almarhum juga sangat setuju. “Bener juga kowe yo,” ujar Broto menirukan Hari Leo.
Nuansa Kejawen menambah semarak acara malam itu, Bambang Nur Singgih S.Sn mengiringi kepergian Hari Leo lewat tembang geguritan. Karena penulis tak begitu paham bahasa Jawa, istri turut membantu menuliskan. Berikut ini petikannya:
Puluh-puluh dadi rong puluh
Sumitro kang legowo selehne lakumu
Sugeng tindak lan mugi rahayu
Manunggaling Gusti…
Sebagai gong penutup, Anterock menggebrak dengan hentakan musik rock. Puisi-puisi Hari Leo diekspresikan lewat aliran musik cadas tersebut. Menurut sang vokalis Wendy HS, “Almarhum melakukannya agar generasi muda jadi lebih tertarik pada puisi. Selain itu, agar puisi bisa dinikmati oleh segmen yang baru.”
Ada 3 puisi yang dibawakan malam itu, semuanya karya Hari Leo, yakni “Menangisi Waktu”, “Nyanyi Sunyi”, dan “Air Mata Darah.” Berikut ini petikan dari tembang yang pertama:
Usia lewat tak bisa bicara apa-apa
Tapaknya pun tak meninggalkan jejak
Aroma tanah basah
Bumi yang diinjak-injaknya
Selamat jalan Hari Leo, semoga makin bahagia di alam sana dalam pelukan kasih-Nya. Ibarat kata pepatah, harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, dan manusia mati meninggalkan karya. Menyitir pendapat Dian Anggraeni, “Walau kini fisik almarhum sudah tidak ada lagi, tapi karya-karya puisi beliau tetap abadi.”
Sumber Foto: Dok. Pri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar