Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Jumat/26 Juli 2013
http://mjeducation.co/membongkar-kekerasan-cinta-17/
Sabtu pagi (20/7/2013) matahari bersinar cerah di atas kota Gudeg. Tersaji aneka pilihan acara untuk menikmati akhir pekan. Salah satunya sarasehan “Membongkar Kekerasan Cinta 17+” di Ruang Kunjono, Lantai IV, Gedung Pusat Administrasi Universitas Sanata Dharma (USD), Jln. Affandi, Yogyakarta. Walau acara baru akan dimulai pada pukul 09.00 WIB tapi para peserta sudah mengantri mengisi daftar hadir di depan pintu masuk sejak pukul 08.00 WIB. Acara tersebut gratis bagi mahasiswa, pegawai, dan dosen USD, sedangkan bagi umum sekadar membayar kontribusi untuk sertifikat, materi dan konsumsi.
Gigih Adiguna selaku MC (Master Ceremony) membawakan acara dengan gaya Stand Up Comedy. Aneka banyolan segar ia lontarkan untuk menghangatkan suasana. Misalnya ia mengaku sering melihat pasangan muda-mudi bercengkerama di Stadion Maguwoharjo pada malam hari. Padahal di sana gelap, lha bagaimana bisa mengagumi kecantikan pacar kita (bagi pria) dan ketampanan pacar kita (bagi wanita) kalau wajahnya saja tak tampak? Pertanyaan retoris tersebut sontak disambut gelak tawa ratusan peserta yang memadati ruangan sarasehan.
Lalu, pihak MC menyerahkan kemudi untuk mengatur jalannya diskusi kepada Budi Setyahandana, S.T., M.T selaku moderator. Pak Budi segera mempersilakan dua narasumber, yakni Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si dan Endah Marianingsih Th., S.IP, M. Kes untuk naik ke atas panggung dan duduk di kursi pembicara. Pada sesi pertama, mereka akan membongkar kekerasan cinta 17+ dari sudut pandang psikologi dan medis. Lantas nanti pada sesi kedua, Mutiara Andalas, S.J akan mengulas dari aspek spiritualitas Ignasian.
Pembicara perdana adalah Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si, dosen Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma. Pak Priyo mengawali dengan sebuah cerita berdasarkan pengalaman pribadinya. Dulu ketika masih menjadi dosen muda, ia tak membawa motor sendiri ke kampus. Jadi setiap sore istrinya harus menjemput.
Suatu ketika istrinya terlambat datang menjemput, padahal perutnya sudah keroncongan minta diisi nasi. Lalu, Pak Priyo makan dulu di kantin. Saat sedang asyik makan, istrinya datang dan langsung marah-marah karena sang suami malah jajan, padahal di rumah sudah dimasakkan.
Sepanjang perjalanan pulang menuju ke rumah, istrinya terus mengomel dan marah-marah. Stok kesabaran Pak Priyo habis, lantas ia berkata, “Kalau masih berisik terus lebih baik turun saja dari motor, tak usah membonceng, jalan saja sana!” Ternyata istrinya nekad turun dan berjalan sendirian. Setelah beberapa lama mengamati, Pak Priyo membatin dalam hati, “Kasihan kalau dibiarkan, toh dulu yang memilih dia jadi isti juga saya.”
Singkat cerita Pak Priyo menghampiri sang istri dan berkata mesra, “Mau jalan sendirian terus atau membonceng lagi?” Tanpa menjawab sang istri kembali naik ke atas boncengan motor.
Tapi ternyata sepanjang sisa perjalanan, sang istri masih marah dan mengomel terus. Lucunya, mereka berdua turun lagi dan menuntun motor tersebut sampai ke rumah. Setiap kali di jalan berpapasan kenalan dan tetangga, mereka ditanya, “Kok motornya dituntun? Mogok ya?” Mereka pun kompak menjawab, “Iya businya mati.” Padahal bukan busi melainkan hati pasangan tersebut yang mogok.
Setiba di rumah, karena sang istri memakai hak sepatu tinggi, kakinya sampai lecet-lecet. Sedangkan Pak Priyo pegal-pegal karena harus menuntun motor yang berat. Akhirnya, mereka berdua berdamai, bermaaf-mafaan, saling pijat-pijatan dan mengobati kaki yang lecet-lecet tadi. “Begitulah pengalaman di awal pernikahan kami. Intinya, kekesalan dan kebahagiaan saling berhimpitan dalam dinamika hidup berumah tangga, seiring berjalannya waktu, kini kami bisa lebih saling memahami,” ujarnya yang sontak disambut tepuk tangan peserta.
Selanjutnya tak kalah menarik, Pak Priyo juga bercerita tentang cara mendidik anak yang efektif. Dulu anak laki-lakinya bersekolah di SMA Kolese De Britto, sekolah swasta yang hanya menerima siswa laki-laki dan mengizinkan mereka berambut gondrong.
Suatu hari si anak menunjukkan sebuah flash disk. “Pak ayo nonton film, di flash disk ini filmnya bagus-bagus,” ajak anaknya tersebut. Tapi setelah diputar ternyata isinya film biru khusus untuk dewasa. Dalam hati Pak Priyo merasa jengkel dan ingin memarahi anaknya tersebut. Tapi ia kemudian memiliki ide dan berkata kepada si anak, “Dik bagaimana kalau adikmu yang perempuan diajak nonton juga.” Pak Priyo berharap adik perempuannya akan menasihati kakak laki-lakinya tersebut.
Tapi pucuk dicinta ulam tak tiba, ternyata adik perempuannya pun sudah pernah menonton film biru khusus untuk dewasa. “Ah kalau film semacam itu saya sudah pernah menonton sejak kelas 2 SMP,” ujar anak perempuan Pak Priyo. Tak kehabisan akal, Pak Priyo menyuruh mereka mengajak ibunya untuk menonton juga. Alhasil mereka sekeluarga menonton film biru bersama. Sang ibu sudah hendak marah-marah lagi, tapi kakinya diinjak oleh Pak Priyo agar menahan diri.
Lantas, kakak tertua mereka pulang. Sang kakak tersebut bekerja di warnet. Ia menasehati bahwa selama ini ia mengamati anak muda yang suka menonton film biru. Hasilnya mereka tak punya masa depan. Kenapa? Karena di dalam pikiran mereka hanya adegan-adegan mesum. “Kalau kalian mau sukses dalam studi dan hidup lebih baik hapus saja file-file film tersebut dari flask disk,” ujar sang kakak tertua.
Kini tiada lagi film biru baik di flash disk maupun laptop anak-anak Pak Priyo. “Intinya dalam hidup keluarga perlu keterbukaan, semua keputusan merupakan hasil berembuk/diskusi bersama. Tapi sebagai manusia, sebagai orang tua jujur saya sering merasa tak sabar dan tergoda memakai kekerasan. Kendati demikian, kekerasan tak pernah menyelesaikan masalah, semua perlu dialog,” ujar Pak Priyo.
Pada akhir paparannya Pak Priyo menyimpulkan dari aspek psikologis, “Seseorang yang kehidupan batinnya belum matang atau belum sembuh dari trauma masa lalu, cenderung menyelesaikan masalah dengan kekerasan. Jadi kehidupan batin perlu diolah sehingga dapat mencerna baik peristiwa positif maupun negatif secara memadai sebagai pelajaran untuk terus berkembang.”
Aspek Medis
Selanjutnya, Endah Marianingsih Th., S.IP, M. Kes selaku pembicara kedua membongkar kekerasan cinta 17+ dari sudut pandang medis. Beliau menyarankan para peserta sarasehan yang sebagian masih muda (terutama yang perempuan) agar kalau bergaul dengan lawan jenis yang biasa-biasa saja, jangan terlalu jauh. Sebab data dari WHO (World Health Organization), satu dari 3 perempuan rawan mengalami tindak kekerasan (Every third woman on our planet is a victim of abuse and violence).
Perawat yang spesialisasinya di bidang kesehatan reproduksi tersebut juga mengkritisi praktik mutilasi alat genital wanita. Karena akhirnya wanita hanya bisa mereproduksi anak, tanpa pernah mengalami orgasme dalam hubungan intim dengan pasangan sah.
Risiko kehamilan remaja tak luput dari pengamatannya. Ia pernah menangani kasus anak kelas 5 SD yang baru berusia 9 tahun pingsan saat pelajaran olahraga di sekolah. Lalu, anak tadi dibawa ke puskesmas tempatnya bekerja. Ternyata anak perempuan tersebut sudah hamil di atas 5 bulan.
Setelah ketahuan hamil, pihak sekolah mengeluarkannya. Jadi anak tersebut mengalami double burdens, pertama karena kehamilan yang tak diinginkan dan kedua dikeluarkan dari sekolah. Ironisnya lagi, ia juga diusir dari rumah.
Ternyata kakak iparnya yang melakukan perbuatan tercela tersebut. Karena istrinya mau melahirkan jadi tak bisa melayani kebutuhan syahwat suami. Sehingga adik ipar istrinya yang menjadi korban. Kini anak tersebut tinggal di yayasan sosial. Ia didampingi secara intensif dan bisa melahirkan secara normal.
Kendati demikian, Bu Endah mewanti-wanti agar para peserta jangan melahirkan di usia terlalu muda. Karena saat itu rongga panggul yang belum berkembang. Selain itu, saat masih remaja, anak-anak perempuan kan suka diet untuk menjaga berat badan dan kelihatan langsing. Sehingga banyak yang mengidap anemia alias jumlah normal sel darah merah rendah. Sehingga kelak bayi yang dikandung lahir dengan berat badan rendah. “Kalau bayi lahir dengan berat badan rendah, sulit perawatannya,” ujarnya.
Dalam paparannya Bu Endah juga menayangkan foto-foto. Salah satunya korban unsave abortion atau aborsi yang tak aman. Si pelaku sampai keluar usus besarnya. Ada juga gambar-gambar penderita Cervical Cancer alias kanker cerviks, Penyakit Menular Seksual (PMS) Gonorrhea bacteria, Syphilis bacteria, dan HIV AIDS.
Sebagai kesimpulan, Bu Endah mengingatkan pada prinsip kuno yang tetap relevan, yakni lebih baik mencegah daripada mengobati. Guideline tersebut juga diadopsi oleh WHO, pemerintah, rumah sakit, puskesmas, dan masyarakat. Terakhir tapi penting, kaum perempuan berperan besar dalam perbaikan kualitas hidup bersama, ia menyitir pendapat Kofi Annan, “There is no tool for development more effective than the empowerment of women.”
Ulasan dari Pak Priyo dan Bu Endah dari aspek psikologi dan medis sangatlah berbobot. Agar tidak terlalu over load, panitia memberikan waktu untuk rehat sejenak. Peserta bisa mencerna materi tadi sembari menikmati snack dan minuman yang telah disediakan. Mulai dari teh, kopi, martabak, lemper, hingga kue bolu. Sedangkan bagi peserta yang menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan, panitia telah menyediakan bungkusan untuk dibawa pulang bekal berbuka nanti.
Di sela-sela acara penulis sempat mewawancarai Roni Dwi Agus Sulistyo selaku wakil ketua panitia. Menurut beliau, acara sarasehan ini rutin diadakan setiap bulan Juli. Tujuannya untuk memperkenalkan spiritualitas Ignasian kepada generasi muda dan khalayak ramai. “Tahun ini peminatnya banyak sekali hampir 300 orang karena mungkin temanya menarik, ada kata cinta dan 17+, jadi banyak mahasiswa dan orang umum yang datang.”
Telinga Besar
Pada sesi kedua, Mutiara Andalas S.J membongkar kekerasan cinta 17+ dari sudut pandang spiritualitas Ignasian. Secara khusus, ia menyoroti ancaman kekerasan seksual lewat media sosial seperti Facebook, Twitter, Yahoo Messenger, dll. Menurut pengamatannya, percakapan antarpeselancar di media sosial berlangsung relatif cepat. Sehingga pengguna (user) merasa kekurangan waktu untuk menelusuri dan berkeliling melihat masalah secara menyeluruh. Alhasil, kesempatan untuk menimbang perkara relatif terbatas.
Padahal perkara pelik semacam kekerasan cinta di media sosial berat dan butuh waktu relatif lama untuk menimbang-nimbang sebelum mengambil keputusan. “Silakan menonton film Trust di Youtube jika kalian tak ada acara di malam minggu nanti, isinya mengungkapkan contoh konkret bahaya kekerasan sosial di dunia maya,” ujarnya.
Di sisi lain, Mutiara Andalas juga mengkritisi pengharaman media sosial oleh ormas atau majelis agama. Karena itu sama sekali tak menyelesaikan masalah dari akarnya. Begitu pula kebijakan Kementerian Informasi dan Komunikasi yang memblokir situs-situs berbau pornografi. Kenapa? Karena pengharaman dan pemblokiran tak efektif penerapannya di lapangan.
Dalam konteks ini softskill pembedaan roh (discernment of the spirits) yang dipopulerkan St. Ignasius Loyola menemukan relevansinya. Analogi pendiri ordo Jesuit tersebut sangat mudah dicerna, walau memang cenderung mengandung stereotip bagi aktivis sosial yang berperspektif keadilan gender. Menurut St. Igansius, roh jahat itu seperti perempuan yang lemah ketika kita melawannya dan garang ketika kita mendiamkannya. Pada saat yang sama, roh jahat itu juga seperti lelaki hidung belang yang menyembunyikan kejahatan-kejahatannya dengan tipu muslihat.
Sebagai kesimpulan, Mutiara Andalas mengatakan bahwa selain melihat gerakan-gerakan batin dalam diri sendiri, kita bisa menangkap gerakan-gerakan batin dalam batin orang lain. Sehingga dapat mengantisipasi terjadinya kekerasan berkedok cinta dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam interaksi di media sosial. “Milikilah telinga yang besar, dalam arti kesediaan untuk mendengarkan demi menjaga keharmonisan hubungan dengan diri sendiri dan orang lain,” pungkasnya.
Sumber Foto: Dok. Pri
http://mjeducation.co/membongkar-kekerasan-cinta-17/
Sabtu pagi (20/7/2013) matahari bersinar cerah di atas kota Gudeg. Tersaji aneka pilihan acara untuk menikmati akhir pekan. Salah satunya sarasehan “Membongkar Kekerasan Cinta 17+” di Ruang Kunjono, Lantai IV, Gedung Pusat Administrasi Universitas Sanata Dharma (USD), Jln. Affandi, Yogyakarta. Walau acara baru akan dimulai pada pukul 09.00 WIB tapi para peserta sudah mengantri mengisi daftar hadir di depan pintu masuk sejak pukul 08.00 WIB. Acara tersebut gratis bagi mahasiswa, pegawai, dan dosen USD, sedangkan bagi umum sekadar membayar kontribusi untuk sertifikat, materi dan konsumsi.
Gigih Adiguna selaku MC (Master Ceremony) membawakan acara dengan gaya Stand Up Comedy. Aneka banyolan segar ia lontarkan untuk menghangatkan suasana. Misalnya ia mengaku sering melihat pasangan muda-mudi bercengkerama di Stadion Maguwoharjo pada malam hari. Padahal di sana gelap, lha bagaimana bisa mengagumi kecantikan pacar kita (bagi pria) dan ketampanan pacar kita (bagi wanita) kalau wajahnya saja tak tampak? Pertanyaan retoris tersebut sontak disambut gelak tawa ratusan peserta yang memadati ruangan sarasehan.
Lalu, pihak MC menyerahkan kemudi untuk mengatur jalannya diskusi kepada Budi Setyahandana, S.T., M.T selaku moderator. Pak Budi segera mempersilakan dua narasumber, yakni Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si dan Endah Marianingsih Th., S.IP, M. Kes untuk naik ke atas panggung dan duduk di kursi pembicara. Pada sesi pertama, mereka akan membongkar kekerasan cinta 17+ dari sudut pandang psikologi dan medis. Lantas nanti pada sesi kedua, Mutiara Andalas, S.J akan mengulas dari aspek spiritualitas Ignasian.
Pembicara perdana adalah Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si, dosen Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma. Pak Priyo mengawali dengan sebuah cerita berdasarkan pengalaman pribadinya. Dulu ketika masih menjadi dosen muda, ia tak membawa motor sendiri ke kampus. Jadi setiap sore istrinya harus menjemput.
Suatu ketika istrinya terlambat datang menjemput, padahal perutnya sudah keroncongan minta diisi nasi. Lalu, Pak Priyo makan dulu di kantin. Saat sedang asyik makan, istrinya datang dan langsung marah-marah karena sang suami malah jajan, padahal di rumah sudah dimasakkan.
Sepanjang perjalanan pulang menuju ke rumah, istrinya terus mengomel dan marah-marah. Stok kesabaran Pak Priyo habis, lantas ia berkata, “Kalau masih berisik terus lebih baik turun saja dari motor, tak usah membonceng, jalan saja sana!” Ternyata istrinya nekad turun dan berjalan sendirian. Setelah beberapa lama mengamati, Pak Priyo membatin dalam hati, “Kasihan kalau dibiarkan, toh dulu yang memilih dia jadi isti juga saya.”
Singkat cerita Pak Priyo menghampiri sang istri dan berkata mesra, “Mau jalan sendirian terus atau membonceng lagi?” Tanpa menjawab sang istri kembali naik ke atas boncengan motor.
Tapi ternyata sepanjang sisa perjalanan, sang istri masih marah dan mengomel terus. Lucunya, mereka berdua turun lagi dan menuntun motor tersebut sampai ke rumah. Setiap kali di jalan berpapasan kenalan dan tetangga, mereka ditanya, “Kok motornya dituntun? Mogok ya?” Mereka pun kompak menjawab, “Iya businya mati.” Padahal bukan busi melainkan hati pasangan tersebut yang mogok.
Setiba di rumah, karena sang istri memakai hak sepatu tinggi, kakinya sampai lecet-lecet. Sedangkan Pak Priyo pegal-pegal karena harus menuntun motor yang berat. Akhirnya, mereka berdua berdamai, bermaaf-mafaan, saling pijat-pijatan dan mengobati kaki yang lecet-lecet tadi. “Begitulah pengalaman di awal pernikahan kami. Intinya, kekesalan dan kebahagiaan saling berhimpitan dalam dinamika hidup berumah tangga, seiring berjalannya waktu, kini kami bisa lebih saling memahami,” ujarnya yang sontak disambut tepuk tangan peserta.
Selanjutnya tak kalah menarik, Pak Priyo juga bercerita tentang cara mendidik anak yang efektif. Dulu anak laki-lakinya bersekolah di SMA Kolese De Britto, sekolah swasta yang hanya menerima siswa laki-laki dan mengizinkan mereka berambut gondrong.
Suatu hari si anak menunjukkan sebuah flash disk. “Pak ayo nonton film, di flash disk ini filmnya bagus-bagus,” ajak anaknya tersebut. Tapi setelah diputar ternyata isinya film biru khusus untuk dewasa. Dalam hati Pak Priyo merasa jengkel dan ingin memarahi anaknya tersebut. Tapi ia kemudian memiliki ide dan berkata kepada si anak, “Dik bagaimana kalau adikmu yang perempuan diajak nonton juga.” Pak Priyo berharap adik perempuannya akan menasihati kakak laki-lakinya tersebut.
Tapi pucuk dicinta ulam tak tiba, ternyata adik perempuannya pun sudah pernah menonton film biru khusus untuk dewasa. “Ah kalau film semacam itu saya sudah pernah menonton sejak kelas 2 SMP,” ujar anak perempuan Pak Priyo. Tak kehabisan akal, Pak Priyo menyuruh mereka mengajak ibunya untuk menonton juga. Alhasil mereka sekeluarga menonton film biru bersama. Sang ibu sudah hendak marah-marah lagi, tapi kakinya diinjak oleh Pak Priyo agar menahan diri.
Lantas, kakak tertua mereka pulang. Sang kakak tersebut bekerja di warnet. Ia menasehati bahwa selama ini ia mengamati anak muda yang suka menonton film biru. Hasilnya mereka tak punya masa depan. Kenapa? Karena di dalam pikiran mereka hanya adegan-adegan mesum. “Kalau kalian mau sukses dalam studi dan hidup lebih baik hapus saja file-file film tersebut dari flask disk,” ujar sang kakak tertua.
Kini tiada lagi film biru baik di flash disk maupun laptop anak-anak Pak Priyo. “Intinya dalam hidup keluarga perlu keterbukaan, semua keputusan merupakan hasil berembuk/diskusi bersama. Tapi sebagai manusia, sebagai orang tua jujur saya sering merasa tak sabar dan tergoda memakai kekerasan. Kendati demikian, kekerasan tak pernah menyelesaikan masalah, semua perlu dialog,” ujar Pak Priyo.
Pada akhir paparannya Pak Priyo menyimpulkan dari aspek psikologis, “Seseorang yang kehidupan batinnya belum matang atau belum sembuh dari trauma masa lalu, cenderung menyelesaikan masalah dengan kekerasan. Jadi kehidupan batin perlu diolah sehingga dapat mencerna baik peristiwa positif maupun negatif secara memadai sebagai pelajaran untuk terus berkembang.”
Aspek Medis
Selanjutnya, Endah Marianingsih Th., S.IP, M. Kes selaku pembicara kedua membongkar kekerasan cinta 17+ dari sudut pandang medis. Beliau menyarankan para peserta sarasehan yang sebagian masih muda (terutama yang perempuan) agar kalau bergaul dengan lawan jenis yang biasa-biasa saja, jangan terlalu jauh. Sebab data dari WHO (World Health Organization), satu dari 3 perempuan rawan mengalami tindak kekerasan (Every third woman on our planet is a victim of abuse and violence).
Perawat yang spesialisasinya di bidang kesehatan reproduksi tersebut juga mengkritisi praktik mutilasi alat genital wanita. Karena akhirnya wanita hanya bisa mereproduksi anak, tanpa pernah mengalami orgasme dalam hubungan intim dengan pasangan sah.
Risiko kehamilan remaja tak luput dari pengamatannya. Ia pernah menangani kasus anak kelas 5 SD yang baru berusia 9 tahun pingsan saat pelajaran olahraga di sekolah. Lalu, anak tadi dibawa ke puskesmas tempatnya bekerja. Ternyata anak perempuan tersebut sudah hamil di atas 5 bulan.
Setelah ketahuan hamil, pihak sekolah mengeluarkannya. Jadi anak tersebut mengalami double burdens, pertama karena kehamilan yang tak diinginkan dan kedua dikeluarkan dari sekolah. Ironisnya lagi, ia juga diusir dari rumah.
Ternyata kakak iparnya yang melakukan perbuatan tercela tersebut. Karena istrinya mau melahirkan jadi tak bisa melayani kebutuhan syahwat suami. Sehingga adik ipar istrinya yang menjadi korban. Kini anak tersebut tinggal di yayasan sosial. Ia didampingi secara intensif dan bisa melahirkan secara normal.
Kendati demikian, Bu Endah mewanti-wanti agar para peserta jangan melahirkan di usia terlalu muda. Karena saat itu rongga panggul yang belum berkembang. Selain itu, saat masih remaja, anak-anak perempuan kan suka diet untuk menjaga berat badan dan kelihatan langsing. Sehingga banyak yang mengidap anemia alias jumlah normal sel darah merah rendah. Sehingga kelak bayi yang dikandung lahir dengan berat badan rendah. “Kalau bayi lahir dengan berat badan rendah, sulit perawatannya,” ujarnya.
Dalam paparannya Bu Endah juga menayangkan foto-foto. Salah satunya korban unsave abortion atau aborsi yang tak aman. Si pelaku sampai keluar usus besarnya. Ada juga gambar-gambar penderita Cervical Cancer alias kanker cerviks, Penyakit Menular Seksual (PMS) Gonorrhea bacteria, Syphilis bacteria, dan HIV AIDS.
Sebagai kesimpulan, Bu Endah mengingatkan pada prinsip kuno yang tetap relevan, yakni lebih baik mencegah daripada mengobati. Guideline tersebut juga diadopsi oleh WHO, pemerintah, rumah sakit, puskesmas, dan masyarakat. Terakhir tapi penting, kaum perempuan berperan besar dalam perbaikan kualitas hidup bersama, ia menyitir pendapat Kofi Annan, “There is no tool for development more effective than the empowerment of women.”
Ulasan dari Pak Priyo dan Bu Endah dari aspek psikologi dan medis sangatlah berbobot. Agar tidak terlalu over load, panitia memberikan waktu untuk rehat sejenak. Peserta bisa mencerna materi tadi sembari menikmati snack dan minuman yang telah disediakan. Mulai dari teh, kopi, martabak, lemper, hingga kue bolu. Sedangkan bagi peserta yang menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan, panitia telah menyediakan bungkusan untuk dibawa pulang bekal berbuka nanti.
Di sela-sela acara penulis sempat mewawancarai Roni Dwi Agus Sulistyo selaku wakil ketua panitia. Menurut beliau, acara sarasehan ini rutin diadakan setiap bulan Juli. Tujuannya untuk memperkenalkan spiritualitas Ignasian kepada generasi muda dan khalayak ramai. “Tahun ini peminatnya banyak sekali hampir 300 orang karena mungkin temanya menarik, ada kata cinta dan 17+, jadi banyak mahasiswa dan orang umum yang datang.”
Telinga Besar
Pada sesi kedua, Mutiara Andalas S.J membongkar kekerasan cinta 17+ dari sudut pandang spiritualitas Ignasian. Secara khusus, ia menyoroti ancaman kekerasan seksual lewat media sosial seperti Facebook, Twitter, Yahoo Messenger, dll. Menurut pengamatannya, percakapan antarpeselancar di media sosial berlangsung relatif cepat. Sehingga pengguna (user) merasa kekurangan waktu untuk menelusuri dan berkeliling melihat masalah secara menyeluruh. Alhasil, kesempatan untuk menimbang perkara relatif terbatas.
Padahal perkara pelik semacam kekerasan cinta di media sosial berat dan butuh waktu relatif lama untuk menimbang-nimbang sebelum mengambil keputusan. “Silakan menonton film Trust di Youtube jika kalian tak ada acara di malam minggu nanti, isinya mengungkapkan contoh konkret bahaya kekerasan sosial di dunia maya,” ujarnya.
Di sisi lain, Mutiara Andalas juga mengkritisi pengharaman media sosial oleh ormas atau majelis agama. Karena itu sama sekali tak menyelesaikan masalah dari akarnya. Begitu pula kebijakan Kementerian Informasi dan Komunikasi yang memblokir situs-situs berbau pornografi. Kenapa? Karena pengharaman dan pemblokiran tak efektif penerapannya di lapangan.
Dalam konteks ini softskill pembedaan roh (discernment of the spirits) yang dipopulerkan St. Ignasius Loyola menemukan relevansinya. Analogi pendiri ordo Jesuit tersebut sangat mudah dicerna, walau memang cenderung mengandung stereotip bagi aktivis sosial yang berperspektif keadilan gender. Menurut St. Igansius, roh jahat itu seperti perempuan yang lemah ketika kita melawannya dan garang ketika kita mendiamkannya. Pada saat yang sama, roh jahat itu juga seperti lelaki hidung belang yang menyembunyikan kejahatan-kejahatannya dengan tipu muslihat.
Sebagai kesimpulan, Mutiara Andalas mengatakan bahwa selain melihat gerakan-gerakan batin dalam diri sendiri, kita bisa menangkap gerakan-gerakan batin dalam batin orang lain. Sehingga dapat mengantisipasi terjadinya kekerasan berkedok cinta dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam interaksi di media sosial. “Milikilah telinga yang besar, dalam arti kesediaan untuk mendengarkan demi menjaga keharmonisan hubungan dengan diri sendiri dan orang lain,” pungkasnya.
Sumber Foto: Dok. Pri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar