Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Minggu/14 Juli 2013
Judul : Bahasa dan Kepemimpinan, Menggali Inspirasi Discursive Leadership Soegijapranata dan Abdurahman Wahid
Penulis : Dr. P. Ari Subagyo, M.Hum
Pelukis Sampul : Pius Sigit Kuncoro
Penerbit : Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Cetakan : 1/November 2012
Tebal : vi + 68 halaman
ISBN : 978-602-9187-35-9
Harga : Rp 27.500
Sebagai sebuah bangsa yang besar,
Indonesia memiliki banyak tokoh hebat. Dua di antaranya ialah Mgr. A
Soegijapranata (1896-1963) dan K.H. Abdurrahman Wahid (1940-2009).
Kendati beliau berdua menziarahi bumi nusantara dalam rentang waktu
berbeda, toh Soegija dan Gus Dur yang tak lain adalah
panggilan akrab Abdurrahman Wahid sama-sama dikenal sebagai tokoh agama
sekaligus aktivis kebangsaan kondang.
Monsinyur Soegijapranata merupakan
pastor Katolik yang menjadi uskup pribumi pertama di Vikaris Apostolik
Semarang (1940-1963). Sejarah mencatat bahwa romo Jesuit kelahiran
Surakarta tersebut terlibat aktif dalam perjuangan republik sejak 5
tahun jelang kemerdekaan. Bahkan tatkala Belanda bersama pasukan Sekutu
berhasrat menguasai kembali “balita” Indonesia, beliau pun turut
menegakkan kedaulatan negara dan bangsanya.
Alhasil, Soegija diangkat sebagai
Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI No. 152 Tahun 1963,
tertanggal 26 Juli 1963. Itu hanya berselang 4 hari setelah beliau
wafat, 22 Juli 1963, di Steyl, Venlo, Belanda. Proses cepat Presiden
Soekarno mengeluarkan SK tersebut menyiratkan betapa besar jasa dan
pengorbanan Soegijapranata bagi bangsa ini (halaman 4).
Adapun Gus Dur merupakan Ketua Umum
Rois Tanfidziyah PB Nahdatul Ulama (1984-1999). Uniknya, sebagai
seorang kiai, beliau tak hanya merangkul warga NU dan umat Islam,
tetapi seluruh anak bangsa Indonesia. Bahkan kiprah sosial-politiknya
mengantar sang cucu pendiri NU K.H. Hasyim Asy’ari ini menjadi Presiden
ke-4 RI (1999-2001). Selain itu, karena sikap pluralisnya, pada diri
Gus Dur melekat predikat “Guru Bangsa.”
Menurut pengamatan penulis, selama
67 tahun Indonesia merdeka, relasi agama dan negara masih menjadi
pergulatan yang belum berakhir. Hebatnya, baik Monsinyur Soegija maupun
Gus Dur dapat meredakan tegangan tersebut. Mereka berdua berangkat
dari ranah agama, namun akhirnya mampu bertransformasi menjadi sosok
“manusia Indonesia” yang melampaui kotak-kotak agama. Sungguh istimewa
bukan?
Lewat buku ini, Dr. P. Ari Subagyo, M.Hum menggunakan pisau analisis dari John Baldoni (Great Communication Secrets of Great Leader, 2003). Tesisnya sederhana tapi universal, efektivitas kepemimpinan sangat bergantung pada kemampuan komunikasi yang baik (good communication skills). Dalam konteks tersebut, bahasa (linguistic) menemukan
kebermanfaatannya. Senada dengan pendapat Effendi Gazali, bahasa
menentukan keberhasilan dan kegagalan seorang pemimpin (halaman 1).
Misalnya untuk berdiplomasi dengan
tentara Jepang, Monsinyur tidak hanya menulis surat kepada penguasa
kolonial Dai Nippon, beliau juga menghubungi Mgr. Paul Mirela, nuntius
(Duta Vatikan) yang bermarkas di Tokyo, Jepang. Lewat cara tersebut,
diplomasi internasional yang efektif dilakukan oleh Soegija. Hasilnya
tidak hanya dinikmati Gereja Katolik Semarang, tapi juga memperkokoh
fondasi negara-bangsa Indonesia (halaman 18).
Selain itu, Monsinyur juga menulis catatan harian yang nyaris tanpa putus. Diary tersebut
didokumentasikan dalam buku “Kesaksian Revolusioner Seorang Uskup di
Masa Perang: Catatan Harian Mgr. A. Soegijapranata, S.J. 13 Februari
1947 - 17 Agustus 1949.” (Subanar, 2003). Ternyata beliau suka memakai
gaya bahasa repetisi (pengulangan) dan menciptakan persajakan seperti
layaknya sebuah puisi, “Kemerdekaan jiwa itulah yang akan menyelamatkan
kita dari kolonialisme, yang berupa barang, uang, orang, ilmu,
pandangan hidup, ideologi, kesenian, pertunjukan, bacaan, kesukaan,
kebiasaan dan adat istiadat. Kemerdekaan jiwa itulah yang memberi hati
untuk berani mempertahankan, menjunjung tinggi harta benda pusaka
nasional warsian dari nenek moyang…”(Subanar, 202:87-88).
Sebagaimana Soegijapranata,
Abdurrahman Wahid juga piawai menulis. Artikel Gus Dur di media massa
sejak tahun 1970-an terus dibaca khalayak ramai. Menurut sang adik,
Salahuddin Wahid, “Topiknya menarik ditulis dengan judul dan gaya
tulisan juga menarik. Tulisannya ringkas dan padat. Tulisan-tulisan di
berbagai media itu dibuat di tengah-tengah kesibukan berkeliling di
berbagai tempat untuk memberi ceramah dan pengajian (2012, x).
Bahkan menurut Mustafa Bisri, tak
sampai 3 bulan pasca lengser dari kursi RI 1, kolom-kolomnya kembali
muncul dengan derasnya. Dalam rentang waktu 16 bulan (September 2001 -
10 Maret 2002) ada 54 artikel dalam berbagai tema telah ditulis Gus
Dur. Artinya, dalam sebulan, ia menulis minimal 3 artikel. Ini angka
yang menakjubkan, terlebih bagi beliau yang kesehatannya tak lagi
seprima seperti sebelum terkena stroke pada tahun 1998.
Ada sebuah cerita unik, magnet sense of humor
Gus Dur yang tinggi membuat seorang artis cantik terpukau. Saat beliau
hadir dalam suatu acara di rumah salah seorang pengasuh Pondok Kajen,
Jawa Tengah, saking gemesnya, artis itu dengan santai langsung ngesun
(mencium) pipi Gus Dur tanpa permisi dan basa-basi. Jelas beberapa
santri yang hadir merasa kaget. Tak lama berselang begitu sudah agak
sepi, Gus Mus bertanya, “Lho Gus, kok Gus Dur diam saja sih disun sama perempuan?’” Dengan santai Gus Dur menjawab, “Lha wong saya kan nggak bisa lihat. Ya mbok sampeyan jangan pengen….” Sungguh polos dan begitu apa-adanya sosok mendiang Gus Dur.
Akhir kata, di tengah lunturnya
visi kebangsaan terutama di kalangan para elit politik kita, buku
berukuran mini ini niscaya bermanfaat sekali. Yakni sebagai reminder
alias sarana pengingat bagi segenap elemen bangsa. Ternyata dulu dari
rahim Ibu Pertiwi pernah terlahir dua tokoh besar yang menyitir tesis
Romo Magnis Suseno - membebaskan masyarakat dari rasa takut. Oleh sebab
itu, kini saatnya berani, “Menjadi 100% Indonesia, Gitu Aja Kok Repot!“
Tidak ada komentar:
Posting Komentar