Dimuat di WAWASANews, Senin/15 Juli 2013
Judul : Cyber Smart Parenting.
Penulis : Hellen Chou Pratama
Penyunting : James Yanuar
Penerbit : Visi Anugerah Indonesia
Cetakan : 1/ Oktober 2012
Tebal : 126 halaman
ISBN : 978-602-8073-73-8
Sebuah riset mengungkap fakta
mengejutkan. Jika pada 1940-an kenakalan anak yang marak terjadi ialah
mengunyah dan membuang permen karet sembarangan, bolos dan kabur dari
sekolah, serta tidak tertib menunggu giliran antri dan ribut sendiri,
maka sejak 1990-an kenakalan anak telah berubah menjadi masalah
kecanduan obat, alkohol, kehamilan pranikah, bunuh diri, pemerkosaan,
perampokan hingga pembunuhan (hlm. 75).
Hellen Chou Pratama mengutip tesis
mendiang Stephen Covey. Saat ini memang meta-struktur (dataran) tempat
keluarga berpijak dan membangun dirinya sedang beringsut. Hal tersebut
merupakan harga mahal yang harus dibayar oleh masyarakat modern sebagai
dampak perkembangan teknologi informasi di era digital.
Akibatnya, minim jaminan anak-anak bisa bebas dari ancaman budaya seksualisasi. Pada 2005 hasil studi New Hempspire menemukan bahwa 13% anak usia 10-17 tahun mendapat undangan chatting berbau seks lewat internet. Para pemangsa di dunia maya tersebut mengirimi anak-anak e-mail,
surat, hadiah, uang dan bahkan menelepon secara teratur. Ironisnya,
hanya 25% anak menceritakan kejadian tersebut kepada orang tuanya,
sedangkan 75% lainnya tetap bungkam.
Adalah Justin Berry (13 tahun),
seorang anak berprestasi di sekolah. Pasca kedua orang tuanya bercerai,
Justin tinggal bersama sang ayah. Tapi karena kesibukan ayahnya
mengurus bisnis, Justin sering ditinggal sendirian dan dirundung
kesepian. Ia menjadikan komputer sebagai tempat pelarian. Lewat sarana
teknologi informasi tersebut, Justin bisa bertemu siapa saja di dunia
virtual.
Secara psikis, ia begitu merindukan
kasih sayang seorang ayah. Saat berselancar di jagat maya ia berkenalan
dengan seorang pria dewasa yang sudi memberi perhatian “seorang ayah”.
Semula biasa saja, tapi perlahan orang dewasa tersebut mulai
menunjukkan maksud jahatnya. Justin secara tak sadar terjerat dalam
aktivitas seksual yang tak wajar. Enam tahun berselang, Justin telah
menjadi seorang pelacur video (camwhore) untuk situs porno (hlm. 73).
Menurut penulis buku ini, masalah
penderitaan emosional -berupa depresi, kesepian, kekosongan hidup- dan
siklus kecanduan karena terbentuknya lintasan baru di syaraf otak yang
tercipta karena sering menyaksikan materi seks, sangatlah berbahaya.
Riset pakar otak membuktikan bahwa dalam 3/10 detik gambar visual yang
ditangkap mata akan menembus memori otak.
Selain itu, kecanduan pornografi tak
mudah dikenali secara kasat mata. Karena tidak ada zat yang dimasukkan
ke dalam tubuh. Beda dengan narkoba. Kendati demikian, tubuh tetap
mengeluarkan cairan biokimia akibat hormon seksual yang terhubung ke
otak primitif memberikan reaksi otomatis terhadap stimulan visual. Pun
kecanduan seks dapat menyabotase seluruh kinerja otak orang yang
bersangkutan secara akut.
Berdasarkan pengalaman menjadi narasumber seminar parenting,
lulusan Magister Bidang Konseling di STT Injili Indonesia, Jakarta ini
memetakan aneka reaksi orang tua dalam menyikapi tantangan teknologi
internet di atas. Ada 3 kategori, yakni menarik diri (Bubble Way), menyerahkan diri (EGP/Emang Gue Pikirin Way) atau menerima dengan kritis (Smart Way).
Pada 2010 dalam seminar bagi orang
tua di Bandung, penulis bertemu seorang ibu muda yang dengan emosional
menyatakan, “Saya tidak memberikan fasilitas komputer dan internet
kepada anak-anak saya dan saya memastikan tidak akan pernah
memberikannya!”. Ibu muda tersebut masuk kategori pertama. Padahal
ibarat gelembung udara (bubble) -entah karena pemberontakan dari dalam atau tekanan dari luar– suatu saat pasti pecah.
Menurut penulis, jenis orang tua
semacam itu sebenarnya hidup dalam keyakinan semu dan penyangkalan atas
ketakutan-ketakutannya sendiri. Sikap ekstrim ini hanya efektif untuk
jangka pendek, sedangkan dalam jangka panjang justru berakibat fatal.
Karena mereka tak sempat melatih anak mengasah keterampilan agar
sensitif dan mampu menilai/memilah suatu perkara. Padahal wiweka dan
sikap kritis sangat penting untuk mengarungi samudera kehidupan nyata.
Lalu, dalam salah satu sesi
tanya-jawab di seminar orang tua, seorang bapak menyampaikan opini,
“Ibu, saya kira dalam era digital dan kecanggihan teknologi sedemikian
rupa kita tidak perlu merasa takut. Berikan saja ijin kepada anak-anak
kita untuk menggunakan semua gadget canggih. Menurut hemat kami, zaman
memang sudah berubah. Kalau kita mau anak-anak kita menjadi orang
sukses, mereka harus diberikan kebebasan untuk berinternet dan
menggunakan teknologi yang nyata-nyata membuat mereka canggih dan
pintar. Saya sendiri tidak pernah mengawasi anak-anak dalam
berinternet…” Bapak tersebut masuk kategori kedua. Orang tua EGP Way berpikir terlalu positif dalam menanggapi manfaat teknologi.
Menurut penulis, jenis orang tua
semacam itu terlalu menyederhanakan masalah. Adalah sebuah kecerobohan
besar jika kita membiarkan anak-anak melayari dunia maya dan menikmati
semua yang disajikan. Orang tua wajib mempertimbangkan keterbatasan
anak untuk menilai dan membedakan, ataupun memperhitungkan bahaya sisi
negatif yang menyertai manfaat teknologi internet.
Selanjutnya terkait kategori ketiga, penulis buku ini menceritakan pengalamannya sendiri dalam mendidik anak dengan Smart Way. Tatkala hendak memberikan komputer atau smartphone dengan
akses internet kepada anak-anaknya, mereka harus melewati sejumlah
diskusi panjang. Lewat proses yang relatif melelahkan disertai debat,
protes, wajah manyun bahkan terkadang bantingan di pintu kamar
karena timbul ketidaksabaran menunggu fasilitas/kepercayaan yang
diberikan. Pada akhirnya, pasca memastikan nilai, aturan, bahaya, dan
batasan maka kesepakatan kedua belah pihak pun tercapai.
Fasilitas/kepercayaan berupa gadget dari orang tua bisa menjadi milik
anak-anak (hlm. 31).
Buku setebal 126 halaman ini
menawarkan pendekatan cerdas mendidik anak di era cyber. Isinya menuntut
komitmen sepenuh hati dari para orang tua. Sebuah referensi berharga
untuk dapat merancang strategi pengasuhan efektif sesuai tantangan
zaman. Selamat membaca!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar