Dimuat di Majalah Utusan edisi Juli 2013
“Hus hus hus,” terdengar Mbok
Inah berteriak sembari mengayun-ayunkan gagang sapu ijuk. Ternyata ia
hendak mengusir seekor katak hijau yang menyusup ke kamar mandi.
Katak itu meloncat kesana-kemari menghindari sergapan Mbok Inah.
Aku mendekati Mbok Inah dan bertanya, “Apa apa Mbok kok teriak-teriak begitu?”
“Itu lho Mas Anton, ada katak
hijau mau masuk ke kamar mandi. Ia harus diusir. Karena bisa membuat
kotor dan membawa penyakit,” jawab Mbok Inah. Matanya terus mengawasi
gerak-gerik si katak.
“Jangan Mbok jangan… biar aku bawa
saja katak itu. Kasihan kalau dipukul dengan gagang sapu,“ kataku
sambil langsung menangkap katak tersebut dengan cekatan.
Aku memang sudah pernah memegang katak
sebelumnya. Yakni, ketika mengikuti perkemahan satu minggu (Persami)
Pramuka siaga tingkat Kecamatan Sonolegi. Kebetulan aku mewakili
sekolahku bersama 7 siswa lain dari kelas 5 SD Budi Luhur. Salah satu
lomba yang digelar menangkap katak hijau di kolam berlumpur. Regu yang
mendapat katak paling banyak jadi pemenangnya. Kelompokku mendapat
juara I saat itu.
Mbok Inah hanya bisa terbengong-bengong
menyaksikan aksiku tersebut. Barangkali baginya memegang katak
sangatlah menjijikkan. Sebelumnya, aku sudah memersiapkan diri. Aku
memakai sarung tangan khusus yang terbuat dari karet tipis. Sehingga
tanganku tetap higinis bersih dari kuman.
“Mbok Inah, aku pamit keluar dulu ya…
Nanti kalau ibu pulang, tolong sampaikan kalau aku ada urusan yang
penting sekali,” ujarku sembari berlari kecil menuju pintu depan.
Di ujung kompleks perumahan Sari
Asri, aku berbelok ke arah timur. Di sana ada sebuah restoran swike.
Kalau saat jam makan siang atau makan malam, banyak sekali
pengunjungnya. Kemudian aku masuk ke restoran tersebut. Karena masih
sore, tak begitu ramai.
Seorang pramusaji menyapaku dengan
ramah. “Selamat datang Dik, mau pesan swike juga? Dimakan di sini atau
dibungkus dibawa pulang?” tanyanya.
“Tidak Kak, maaf saya ke sini hanya mau bertanya apakah ada tempat penampungan katak hijau di restoran ini?” aku balik bertanya.
Sejak dari masuk ke restoran sampai
bertemu Mbak pramusaji, posisi kedua tanganku selalu berada di
belakang. Seperti orang yang beristirahat di tempat dalam latihan
baris-berbaris. Kenapa? Karena aku hendak menyembunyikan si katak
yang ada di genggaman tanganku.
“Oh ada dong Dik, di
sana di dapur ada tempat penampungan katak. Kalau mau lihat, ayo saya
antarkan,” ujarnya sambil berjalan menuju pintu dapur restoran.
Aku mengikuti dari belakang sambil
terus waspada jangan sampai pengunjung restoran lain mengetahui kalau
aku sedang membawa seekor katak hijau. Setibanya di dapur aku
terperangah kaget. Di pojok ruang ada tong plastik besar. Puluhan
katak hijau berbunyi teot tebung teot tebung berada di dalamnya. Itulah tempat penantian mereka, sebelum akhirnya dimasak menjadi hidangan swike.
“Oh oh terima kasih Kak, saya pamit dulu, nanti saya dicari ibu,” kataku sembari bergegas menuju pintu keluar.
Posisi badanku tetap menghadap ke
Mbak pramusaji itu. Aku hampir menabrak salah seorang pengunjung yang
hendak masuk ke restoran. Setibanya di luar, aku berlari menuju ke
taman di halaman sekolah. Semula aku hendak menitipkan katak hijau di
restoran. Tapi karena mereka hendak menjadikannya swike aku batalkan
niatku. Aku kasihan dan tak tega hati menyaksikannya jadi menu makan
siang atau makan malam.
Di dekat taman sekolah ada rumah Pak
Albert. Beliau petugas penjaga kebersihan di sana. Sore itu Pak
Albert sedang merapikan tanaman dengan gunting khusus.
“Selamat sore Pak. Saya mau bertanya, di mana rumah katak hijau?”
“Oh…mereka memang sering datang ke taman sekolah, suaranya nyaring teot tebung teot tebung
sehingga saya terganggu sekali. Sampai tak bisa tidur kalau malam.
Kemudian mereka saya tangkapi dan saya jual ke restoran swike. Sebelum
berada di taman mereka dulu tinggal di tepi sungai itu,” ujar Pak
Albert sembari menunjuk ke arah tenggara.
Di sana memang ada sungai kecil. Dulu
airnya jernih sekali, sepulang sekolah - kalau tak ada PR - aku
sering mampir dan bermain air di sana bersama teman-teman.
“Baiklah Pak, terima kasih banyak, “ ujarku sambil terus menyembunyikan katak hijau di balik punggung.
Segera aku bergegas menuju ke sungai.
Aku hendak melepaskan katak hijau tersebut di sana. Tapi setibanya
di tepi sungai, aku tak tega melakukannya. Kenapa? Karena kini sungai
tersebut berair keruh kehitaman. Tampak sampah-sampah plastik dan
dedaunan busuk mengambang di atas permukaannya.
Ternyata katak-katak hijau itu
mengungsi ke kebun sekolah karena habitatnya di sungai telah rusak.
Akibat dicemari sampah yang dibuang sembarangan oleh manusia.
Ironisnya, setiba di kebun sekolah pun mereka justru ditangkapi oleh
Pak Albert. Kemudian dijual ke restoran swike. Mungkin katak hijau
yang kini berada di tanganku ini, salah satu katak yang berhasil
meloloskan diri.
Aku akhirnya memutuskan untuk membawa
si katak hijau tersebut kembali ke rumah. Aku akan memelihara dan
merawatnya di kolam di pekarangan. Dan ketika libur sekolah tiba, kelak
katak tersebut akan aku bawa ke rumah nenek di desa. Di sana, masih
banyak sungai berair jernih tempat hidup yang nyaman bagi para katak
hijau teot tebung teot tebung.
Sumber Foto: http://www.nutrisijiwa.com/penemuan-katak-dengan-lompatan-sejauh-90-km/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar