Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Senin/1 Juli 2013
Selasa
malam (26/6) cuaca kota gudeg cerah. Walau purnama penuh telah lewat
tapi rembulan masih bersinar terang di atas sana. Jam tangan baru
menunjuk pukul 18.00 WIB, kendati demikian ratusan penonton telah
memadati sisi selatan Pendopo Agung Royal Ambarrukmo. Di bagian barat
tampak berjajar rapi gamelan Jawa komplit, di sisi timur berjajar aneka
tetabuhan perkusi Bali, sedangkan tepat di sisi utara berdiri dua
gapura. Acara malam tersebut memang bertajuk “Harmonisasi Nusantara,
Jelajah Nusa Lestari Budaya.”
Menurut Bli Putu dalam
siaran persnya, pertunjukan seni yang gratis dan terbuka untuk umum ini
bertujuan untuk melestarikan tarian dan tetabuhan klasik yang ada di
bumi pertiwi tercinta. Selain itu, “Sajian seni malam ini juga sebagai
perwujudan doa bagi kesejahteraan dan keselamatan negeri. Semoga dapat
pula menumbuhkan semangat nasionalisme melalui kecintaan terhadap budaya
sendiri,” imbuhnya lagi.
Sanggar Tunjung dari Ubud, Bali;
Paguyuban Sanggraheng Lokika; Sanggar Sasminta Mardawa dari Ndalem
Pujokesuman, Yogyakarta; Sanggar Natya Lakshita asuhan Didik Ninik
Thowok; dan Blind Aphrohite Band berkolaborasi bersama melestarikan
kebudayaan warisan leluhur kita. Karena saat ini krisis identitas
dialami sebagian besar putra-putri Ibu Pertiwi, ada yang bergaya
kebarat-baratan, kekorea-koreaan, kearab-araban, kecina-cinaan, dan lain
sebagainya. Padahal Indonesia memiliki begitu banyak keanekaragaman
budaya dari Sabang sampai Merauke. Potensi sosial dan kearifan lokal
tersebut merupakan identitas khas dan warisan budaya nan adiluhung.
Tepat pukul 19.30 WIB MC (Master of Ceremony) membuka
acara. Dara jelita berkebaya putih menyapa ramah hadirin yang telah
menanti sejak petang tadi, “Salam budaya teman-teman dari Bali,
Yogyakarta, dan seluruh Indonesia! Sebelumnya mari kita ikuti bersama
prosesi Melasti yang akan dipersembahkan oleh teman-teman dari Sanggar
Tunjung, Ubud, Pulau Dewata. ”Para hadirin yang duduk di sisi selatan
bagian tengah kemudian memberi jalan bagi iring-iringan yang akan
memasuki Pendopo Agung Royal Ambarrukmo. Irama rancak seketika memecah
kesunyian malam. Sebagian besar pemain musik dan para penarinya ternyata
masih remaja.
Dalam kata sambutan, Bli Bagus Suwardika
memang mengatakan bahwa Sanggar Tunjung, Ubud, Bali hendak membawa
generasi muda Ubud untuk keluar dari titik nyaman di Pulau Dewata.
Sehingga mereka bisa melihat perkembangan seni budaya di kota-kota
tujuan. “Kami biasa dikunjungi oleh para wisatawan dari dalam maupun
luar negeri, tapi kami sendiri tidak pernah jalan-jalan. Lewat acara touring
ini kami hendak belajar mengenal dan berkolaborasi dengan seniman
Lenong, penari Jaipong, gamelan Kromo, penari Topeng Indramayu, dll
karena makna hakiki seni dan budaya ialah bentuk puja kepada Yang Maha
Kuasa,” ujarnya.
Sebelum
sampai di Yogyakarta mereka telah berkunjung dan tampil di Halaman
Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta (22 Juni 2013), di Desa Wisata
Cinunuk, Bandung (23 Juni 2013), di Alun-alun Darmajaya, Sumedang (23
Juni 2013), di Petilasan Sutajaya, Desa Kandangan, Indramayu (24 Juni
2013), kemudian rencananya setelah dari Yogyakarta akan pentas di SMAK 8
Solo (26 Juni 2013), di Taman Budaya Malang (27 Juni 2013), dan
Petilasan Empu Bharadah Candi Tegowangi, Malang (28 Juni 2013). “Kami
berkolaborasi dalam pementasan satu malam dengan komunitas seni budaya
setempat. Semoga acara Harmonisasi Nusantara, Jelajah Nusa Lestari
Budaya 1 ini dapat menciptakan harmonisasi hidup antara manusia dengan
pencipta, antara manusia dengan manusia lain dan antara manusia dengan
alam semesta,” pungkasnya.
Bapak Bagus sebagai perwakilan
tuan rumah dari Pendopo Agung Royal Ambarrukmo juga menyambut baik acara
seni dan budaya ini. “Semoga dapat membawa dampak positif. Harmonisasi
Nusantara memang kunci keserasian di tengah aneka perbedaan di negeri
kita,” ujarnya.
Sebelum
pentas tari dimulai, para pengunjung dihibur dengan alunan tembang
akustik dari grup band Blind Aphrodite. Personilnya terdiri atas para
mahasiswa berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta. Band tersebut memang
selalu menciptakan dan membawakan lagu berisikan seruan perdamaian dan
semangat cinta lingkungan. Berikut ini petikan liriknya:
“Indahnya perbedaan bila kita mampu berdampingan
Menuju dunia tanpa tangisan
Tutur kata seiring sejalan…”
Ibarat sajian makan malam, menu utama malam itu ialah pentas tari nonstop selama 3 jam. Pertama, Sanggar Sasminta Mardawa dari Ndalem Pujokusuman
Yogyakarta mempersembahkan tari Serimpi. Empat orang penari perempuan
menari lembut mengikuti irama gamelan yang ditabuh secara live.Kedua,
Sanggar Tunjung dari Ubud, Bali mempersembahkan tari Windu Pranawa.
Sebuah tarian sakral yang menggambarkan bunga teratai sebagai singgasana
para dewa. Kalau tarian pertama cenderung pelan, tarian kedua berirama
lebih rancak. Kendati demikian, masing-masing memiliki daya tariknya
sendiri.
Tidak hanya itu, pentas tari malam itu juga
dimeriahkan oleh salah satu legenda tari Indonesia yang telah melanglang
ke seluruh dunia, yakni Didik Nini Thowok dari Sanggar Natya Lakshita.
Penari transgender tersebut membawakan tari Dwi Muka Jali (Jawa-Bali).
Ia sempat berganti kostum beberapa kali, mulai dari selendang, topeng,
hingga penutup kepala. Iringan musik dan interaksinya dengan para
penonton sontak mengundang gelak tawa.
Selanjutnya,
Sanggar Sasminta Mardawa menampilkan Tari Golek Menak Putri dan Tari
Golek Menak Kakung. Sedangkan, Sanggar Tunjung menampilkan Tari
Barongket dan Tari Tri Semaya (Tetel, Jauk, Panamprat, Rangda, Keris).
Lagi-lagi walau berbeda irama, kostum, alat musik, gerakan tari,
ekspresi, dll tapi keduanya dapat menyentuh rasa terdalam hadirin di
sana. Ratusan pasang mata seolah enggan berkedip, puluhan kamera
mengabadikan peristiwa langka tersebut, dan setiap akhir pementasan
gemuruh tepuk tangan membahana seketika.
Sekilas tentang Sanggar Tunjung
Ubud,
Bali adalah sebuah kota kecil yang terletak di Kabupaten Gianyar.
Berbeda dengan destinasi wisata lain di Pulau Bali lainnya, Ubud tidak
memiliki pantai berpasir putih tempat turis bisa berjemur ataupun
berselancar. Ubud hanya memiliki 3 hal, hamparan sawah-sawah hijau
dengan struktur terasiring nan eksotis, kehidupan seni budaya
berbasiskan spiritual, dan masyarakat yang terbuka serta ramah.
Ketiga
hal itulah yang dicari para wisatawan ketika berkunjung ke Ubud, mereka
mencari rasa damai. Kedamaian masyarakat agraris yang religius,
penghayatan terhadap seni budaya, keheningan pura-pura dan tempat-tempat
yang disucikan, dan tentu saja keramahan masyarakat Ubud terhadap para
pendatang. Jadi wisata ke Ubud lebih merupakan wisata spiritual.
Ironisnya,
kini Ubud yang hening dan kontemplatif sulit ditemui, gempuran pengaruh
hingar-bingar pariwisata kian menggerus benteng magis kesakralannya.
Berbagai fasilitas wisata modern bertaburan di kawasan Ubud. Mulai dari
hotel, spa, supermarket, cafe, distro dan apa saja yang mewakili wisata
modern. Ubud yang hening menjelma menjadi Ubud yang hingar-bingar dan
centang-perentang.
Pengaruh pariwisata modern tersebut
tidak hanya mengurangi aura sakral Ubud tapi juga mempengaruhi
manusianya. Generasi muda yang lahir pasca booming pariwisata
modern adalah generasi yang setiap hari terpapar oleh ekspresi
kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan leluhur. Celakanya generasi
tersebut menganggap kebudayaan asing itu adalah kebenaran, superior dan
dapat menyejahterakan mereka. Alhasil, anak muda Ubud menenggelamkan
diri ke dalam banjir pengaruh asing tanpa “ruh” tersebut.
Lantas,
Ida Bagus Suwardika, putra seorang Pedanda sekaligus tokoh masyarakat
di Ubud melakukan sebuah terobosan. Ia semenjak kecil memang dilingkupi
suasana peribadatan suci dan olah seni budaya. Sehingga ia memiliki
kepekaan spiritual dan seni. Pasca menyelesaikan SMA, ilmu sejarah
dipilihnya untuk didalami di tingkat perguruan tinggi. Program Wajib
Militer pun ia jalani setelah menyelesaikan gelar sarjana. Tapi
kehidupan militer yang cenderung keras dan kaku dapat ia sikapi dengan
dengan luwes. Tentu itu berkat bekal spiritual dan olah seni yang telah
ia tekuni sejak usia dini.
Pengalamannya bertugas
menyelesaikan berbagai persoalan bangsa, lawatan-lawatannya ke banyak
tempat, dan jalinan pertemanannya dengan berbagai pihak dan golongan
membuatnya semakin mengapresiasi akar jati dirinya, yakni tanah Ubud
Bali.
Intinya,
Ida Bagus Suwardika sangat mengkhawatirkan perkembangan generasi muda
Ubud saat ini. Karena mereka semakin tercerabut dari akar budayanya.
Anak-anak muda memang masih menari, menabuh, mengukir, melukis dan
sembahyang di pura-pura, namun ruh spiritualnya tampak kian meredup.
Kebanyakan
anak-anak itu menari dan beraktivitas hanya dengan tujuan konsumtif,
mendapatkan bayaran dari turis dan kemudian membelanjakannya untuk
berperilaku menyamai gaya “tuan” mereka para turis tersebut.
Mengonsumsi alkohol di jalanan, berdandan, bergaya kebarat-baratan
hingga menganut paham budaya asing tanpa pertimbangan matang.
Keprihatinan itu membuat Ida Bagus Suwardika selalu kembali ke tanah
kelahirannya setiap kali ada kesempatan.
Ada
sebuah pondok, dalam arti sesunguhnya, sebuah bangunan tanpa dinding
terletak di halaman tempat tinggal Pedanda, yang juga kakak dari Ida
Bagus Suwardika. Pondok itu sering menjadi tempatnya berkontemplasi dan
bergaul dengan warga Ubud. Dari sanalah ia kemudian mengajak anak-anak
muda Ubud untuk berkumpul dan berkegiatan positif. Senam pernapasan dan
yoga guna memaksimalkan aktivitas otak tengah (AOT) diajarkannya.
Pelaku
seni dan peminat seni dihimpunnya untuk saling asah asih asuh, hingga
suatu ketika mereka mampu membeli seperangkat Gong Suling sederhana guna
dimainkan bersama. Anak-anak muda - khususnya yang tinggal di wilayah
Padang Tegal dan sekelilingnya - semakin banyak bergabung dan berlatih
bersama. Sehingga tempat latihan dirasa tidak memadai lagi.
Lalu
mereka bergotong royong membangun pondok yang lebih besar, masih di
lingkungan Griya Pondok. Tempat tersebut dapat menampung kegiatan yang
semakin padat dengan peserta yang semakin banyak. Seniman tari, seniman
karawitan, dan seniman Bali lainnya bergabung dalam komunitas untuk
belajar dan berbagi ilmunya.
Hingga suatu hari, tepatnya
pada 23 Oktober 2011 diresmikanlah kelompok Gong Suling Sanggar Tunjung.
Hari bersejarah itu kemudian dijadikan hari lahir Sanggar Tunjung. Hari
demi hari, latihan demi latihan perenungan demi perenungan, karya demi
karya tidak terasa sudah lebih satu tahun lahirnya Sanggar Tunjung.
Kini
Sanggar Tunjung telah memiliki seperangkat Gong Semar Pagulingan,
kostum-kostum tari dan yang paling berharga adalah paguyuban tersebut
dimiliki oleh generasi muda Ubud yang berusaha kembali memposisikan
karya seni sebagai bentuk puja kepada Sang Maha Kuasa. Untuk info lebih
lengkap silakan berkunjung ke http://www.sanggartunjung.net/. Salam budaya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar