Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Rabu/31 Juli 2013
http://mjeducation.co/dari-belanda-ke-yogyakarta-untuk-bersepada-keliling-desa-dengan-mas-towil-dkk/
http://mjeducation.co/dari-belanda-ke-yogyakarta-untuk-bersepada-keliling-desa-dengan-mas-towil-dkk/
Minggu
pagi (27/7/2013) hangat mentari bersinar lembut. Jam tangan masih
menunjuk pukul 06.30 WIB, penulis bergegas meluncur di atas motor keluar
dari kota Gudeg menuju ke arah barat. Selepas melintasi jembatan Bantar
di Jalan Wates Km 15 langsung berbelok ke kanan menuju Griya Joglo
Towilfiets. Tepatnya di Dusun Bantar Bangunsucipto Sentolo, Kulon Progo,
Yogyakarta, Indonesia.
Penulis sempat tersasar beberapa
kali. Untungnya, warga setempat cukup familiar dengan Ketua Podjok atau
Paguyuban Onthel Djogja tersebut. “Oh Mas Towil yang punya banyak sepeda onthel dan sering didatangi Londo-londo itu tho, di sana rumahnya Mas,” ujar salah satu warga sembari menunjukkan arah.
Kediaman mantan eksportir handicraft tersebut terbilang asri dan njawani.
Bentuknya berupa rumah joglo, lalu di depannya ada bangku-bangku dan
meja taman. Rimbun dedaunan pohon nangka dan kelapa gading menambah
keteduhan.
Sekitar pukul 07.30 WIB sudah banyak
romongan tamu-tamu dari luar negeri berdatangan diantar mobil travel.
Mereka bersiap-siap melakukan kegiatan touring dengan mengendarai sepeda onthel keliling desa. “Selamat datang, welcome, sugeng rawuh,” sapa Mas Towil dengan ramah sembari menyalami dan berkenalan satu-persatu. “Kalau bulan Juli (peak season) seperti sekarang banyak sekali tamu yang datang Mas, hari ini rencananya ada 8 kelompok,” jelasnya kepada penulis.
Oleh
sebab itu, ayah dua anak tersebut melibatkan pemuda-pemuda kampung dan
para mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi di Yogyakarta untuk
menjadi guide. “Syaratnya hanya dua Mas, yakni mau berbahasa Inggris dan mau bersepeda,” imbuhnya lagi.
Selain
memandu di sepanjang perjalanan, mereka juga fasih menjelaskan aneka
aktivitas yang dilakukan warga dan manfaat keanekaragaman hayati yang
ada di desa tersebut. “Ini wisata desa, bukan desa wisata, jadi kami
sekadar memfasilitasi para tamu untuk berinteraksi dan terlibat langsung
dalam aktivitas sehari-hari masyarakat setempat,” jelas Mas Towil yang
telah menjalankan program wisata alternatif ini sejak 6 tahun silam.
Satu
pemandangan yang unik tersaji di halaman rumah mertua di sisi timur
pria kelahiran Boyolali tahun 1973 tersebut. Puluhan sepeda onthel
terparkir rapi, sedangkan puluhan lainnnya masih terparkir di dalam
rumah, total ada seratus sepeda kayuh. Semua masih dalam kondisi siap
pakai walau bermerk lawas keluaran tahun 1940-an, antara lain Gazelle,
Fonger, Simplex, Humber, Teha, BSA, Phillip, Triumph, Phoenix, dll.
“Saya
mengumpulkannya satu-persatu Mas, sebagian besar sepeda-sepeda yang tak
terpakai, saya keliling ke desa-desa dan membeli langsung dari
pemiliknya. Lantas, kami perbaiki. Kini kami menjalin relasi dengan 5
bengkel yang siap merakit, mengganti, dan merawat onderdil sepeda-sepeda
tersebut,” terang Mas Towil.
Masih menurut Mas Towil,
karena ia Ketua Podjok yang menaungi ribuan pecinta sepeda, ia enggan
membeli sepeda-sepeda onthel yang sudah dipakai oleh para pemiliknya.
Karena tujuan mereka kan untuk mendorong masyarakat kembali bersepeda.
Dulu Yogyakarta memang pernah dikenal sebagai kota sepeda.
Lalu, ketika ditanya kenapa pilihannya jatuh kepada sepeda onthel model lawas. Ia menjawab karena sepeda-sepeda tua tersebut bukan sekadar alat transportasi biasa tapi sebuah heritage.
“Ada cerita dan kenangan di balik keberadaan sepeda-sepeda warisan
leluhur,” ujarnya sedikit berfilosofi. Ternyata harga sepeda onthel tak
bisa dibilang murah, ada yang Rp 500 ribuan, 5 jutaan bahkan sampai 50
jutaan.
Sebelumnya, enam kelompok touring sepeda jelajah desa sudah berangkat. Masing-masing didampingi oleh dua guide. Selain menikmati panorama ijo royo-royo khas wong
tani, mereka pun akan berkunjung ke rumah-rumah penduduk. Kebetulan di
sana ada tukang urut bayi, pengrajin tikar, pembuat stagen, pengrajin
tempe tradisional, pasar rakyat tradisonal, kelompok gamelan, dll.
Pagi
itu, Mas Towil sendiri mendampingi kelompok tujuh bersama Mbak Dewi.
Rencananya, ada kelompok kedelapan, tapi pada saat-saat terakhir
membatalkan janji kedatangan. Sehingga Mbak Dewi yang dijadwalkan
bertugas mendampingi mereka diajak sekalian menemani kelompok ketujuh
saja.
Kelompok
ini terdiri atas satu anggota keluarga dari Belanda. Ayah, Ibu, dua
putra laki-laki usia 17 dan 19 tahun, dan seorang anak perempuan (21).
Mereka terlebih dahulu memilih dan mencoba-coba sepeda onthel yang telah tersedia. “Pastikan kalau remnya berfungsi dengan baik dan siap dipakai,” ujar Mas Towil.
Sebagian besar turis lelaki tersebut berbadan tinggi, sehingga mereka memilih sepeda lanang (cowok) yang
tinggi juga. Salah satu sepeda tersebut menurut Mas Towil merupakan
hadiah dari Walikota Yogyakarta, Haryadi Suyuti. “Towil, this is for you,” ujar Mas Towil menirukan dengan bahasa Inggris.
Tanpa
banyak membuang waktu, tepat pukul 09.00 WIB rombongan tersebut segera
mengayuh sepeda onthelnya masing-masing. Penulis juga mengikuti dengan
mengendarai sepeda mini. Bentangan lanskap khas pedesaan segera
menyambut dengan keelokannya. Oksigen segar mencuci paru-paru yang
selama ini terpapar karbondioksida.
Di
satu sudut jalanan, kami sempat berpapasan dengan anak-anak kecil,
rombongan pun segera menepi. Turis-turis dari Belanda tersebut membawa
sebungkus balon karet. Lalu, mereka meniupnya dan membagikan balon
warna-warni yang disambut dengan ucapan terima kasih dan wajah ceria
anak desa. “Thank you…” ujar mereka serempak.
Pemberhentian selanjutnya di dekat rel kereta api. Dari situ tampak jembatan Bantar buatan Belanda yang dibuat zaman baheula
(1930) tapi tetap berdiri kokoh hingga kini. Mas Towil juga mengajak
mereka ke kebun singkong dan pepaya. Secara cekatan ia menjelaskan aneka
manfaat cassava. “If you eat nasi Padang in the hotel, you can boil the leaves and eat them,”
ujarnya tentang manfaat daun singkong untuk lalapan. Selain itu, Mbak
Dewi juga menjelaskan manfaat daun pepaya, yakni untuk melunakkan
daging. Kebetulan Ibu keluarga Belanda tersebut suka memasak.
Saat menunjukkan dan bermain-main dengan daun tanaman putri malu, mereka menyebutnya Shy Princess.
Sebaliknya, para turis mancanegara tersebut juga belajar budaya lokal.
Misalnya ketika berpapasan dengan warga, Mas Towil mengajarkan cara
menyapa dengan bahasa Jawa. “This is the way we greet in Javanese,” paparnya. Maka setiap kali mereka berpapasan dengan warga di jalan, sontak terucap kata, “Monggo…”
Kami
melanjutkan perjalanan menyusuri jalan pedesaan dengan penuh semangat.
Mas Towil berada di barisan terdepan. Setibanya di tengah areal
persawahan, rombongan kembali berhenti sejenak. Musim tanam padi telah
usai, kini bekas sawah-sawah tersebut ditanami kedelai sebagai bahan
baku pembuat tempe, kecap, susu, dll. “Kami lantas menjualnya di pasar
tradisional,“ ujar Mas Towil, tentu dengan bahasa Inggris. Ia memang
pernah bekerja di hotel selama 5 tahun.
Di pertigaan Jalan
Ploso, rombongan berbelok ke kanan, kami mampir di rumah tukang pijat
tradisional, namanya Mbah Diar. Di sana para tamu yang membawa bayi dan
anak-anak kecilnya antre menunggu giliran. Mereka tampak kaget didatangi
tamu-tamu dari luar negeri. Kembali keluarga Belanda itu meniup balon
warna-warni dan membagikannya kepada anak-anak.
Lalu, Mas
Towil menjelaskan aneka ramuan tradisional yang terbuat dari
rempah-rempah tersebut. Ada yang dalam bentuk minyak dan ada yang dalam
bentuk tumbukan jahe. Selain itu, ada juga jamu brotowali untuk penambah
nafsu makan anak. Kalau dalam bahasa Jawa namanya dicekoki.
Uniknya,
ketika sang ayah keluarga Belanda tersebut bertanya berapa biaya
berobat pijat di sini? Mbah Diar mengatakan terserah alias sukarela. Mas
Towil menerjemahkannya dengan the cost is up to you. Bayarnya terserah, jadi beda dengan di rumah-rumah sakit di kota.
Selanjutnya,
perjalanan bersepeda ria tersebut harus melintasi jalan setapak yang
berumput, letaknya di sisi saluran irigasi. Para wisatawan asing
tersebut heran kenapa tidak ada airnya dan kering kerontang seperti itu.
Menurut
Mas Towil, setelah musim panen padi, saluran irigasi tersebut memang
dikeringkan sehingga bisa dibersihkan. Pada tanggal 10 Agustus 2013
mendatang baru akan dibuka kembali aliran airnya. Tampak jelas di sini
bahwa penguasaan medan dan pengetahuan Mas Towil amat memadai.
Di
dekat sebuah areal peternakan ayam, rombongan kami berhenti sejenak.
Aroma khas kotoran ayam tercium jelas dari rongga hidung. Di sana
terdapat juga pohon jati muda, lantas Mas Towil memetik ujung daunnya.
Setelah diremas-remas telapak tangan menjadi merah. “You can be used for lipstick and hair color,” ujar Mas Towil. Daun jati dapat dipakai untuk pewarna bibir dan rambut.
Di
tengah perjalanan, sepeda anak laki-laki yang pertama sempat macet.
Ternyata setelah dicek rantainya putus. Pak Harto, salah satu mekanik
yang dari tadi mengikuti bertindak cepat. Ia memberikan sepedanya untuk
dipakai, sedangkan ia sendiri membawa pulang sepeda yang rusak tersebut.
Prinsipnya, senantiasa berharap yang terbaik tapi juga bersiap untuk
yang terburuk. Kalau ada sepeda yang mogok, ya diganti yang baru.
Kepuasan pelanggan selalu nomor satu.
Praktik Menenun
Persinggahan
yang paling heboh di rumah Mbah Semi. Beliau seorang pembuat tikar dari
daun Agel (sejenis pandan). Saat itu rumah Joglo Mbah Semi sedang
direnovasi sehingga para tamu diterima di halaman rumah. “Mesin” pembuat
tikar Agel tersedia dan siap dipakai.
Pertama,
Mbah Semi memberi contoh cara membuat benang dan anyaman tikar alami
tersebut. Kedua, ia meminta para turis mempraktikkannya sendiri. Dari
anggota keluarga tersebut, anak perempuan, Sama dan sang Ibu yang
bersedia mencoba.
Sekilas kalau hanya dilihat tampak mudah
membuat anyaman tersebut, tapi setelah mempraktikkanya lumayan rumit.
Kendati demikian, Mbah Semi dan Mas Towil merupakan instruktur yang
andal. Mereka mengajari dengan penuh kesabaran dan dedikasi.
Menurut
Mbak Dewi yang menerjemahkan penjelasan dari Mbah Semi, ia mulai
menenun sejak 1974. Sehari rata-rata bisa membuat 4 meter, sedangkan
harga per 10 meternya Rp 100.000. Tapi Mbah Semi tak mau mengerjakannya
dengan asal-asalan, beliau menggarap sesela waktu dan sekuat tubuh
rentanya saja. Dalam bahasa Jawa disebut alon-alon waton kelakon.
Sembari
menenun tikar Agel, Mbak Semi selalu memamah sirih, tembakau, dan
pinang. Walau sudah lanjut usia semangatnya masih tinggi. Setiap tamu
yang datang diajak bersalaman dan berfoto bersama.
Lucunya, saat berfoto dengan dua anak laki-laki dari Belanda tersebut, Mbah Semi seperti diapit dua menara kembar. “I like to see, to work and I am also very happy,” ujar sang ibu setelah menyelesaikan beberapa sentimeter anyaman tikar Agel dengan “mesin” tenun manual yang dipandu Mbah Semi.
Saking
bahagianya keluarga tersebut memberikan uang kepada Mbah Semi sebagai
ucapan terima kasih. Ternyata Mbah Semi tak memiliki dompet, ia hanya
menyelipkannya di stagen yang melilit pinggangnya. “In Javannese it’s called gambol,” ujar Mbak Dewi menjelaskan kepada para tamu yang melongo terkesima. “This is the reality,” imbuh Mas Towil.
Tak
kalah menarik lawatan selanjutnya di kediaman Bu Tukinah. Beliau
seorang pembuat stagen dari bahan baku tali kapas. Praktik membuat
stagen tersebut masih menggunakan cara manual. “Mesin” dari kayu untuk
memintal benang dan membuat tenunan dibuat sendiri. Harga sepuluh meter
stagen putih Rp15.000. Stagen tersebut disetorkan ke juragan. Fungsi
stagen ialah untuk memakai kain jarit dan kebaya serta melangsingkan
perut setelah ibu melahirkan.
Sama, si anak perempuan kembali belajar mengoperasikan “mesin” tersebut. “Alat tenun manual membutuhkan kemampuan multitasking,
karena kaki dan tangan bekerja secara bersamaan,“ jelas Mbak Dewi,
tentu dengan bahasa Inggris. Menurut Bu Tukinah, hasil tenunan Sama
tergolong rapi. “Jika Mbak Sama di sini sebulan pasti bisa membuat kain
stagen sendiri,” ujar Bu Tukinah.
Sebagai
kejutan, Mas Towil mengajak Sama ke dalam kamar bersama Bu Tukinah.
Anggota keluarga lainnya penasaran apa yang akan dilakukan. Ternyata
Sama mengenakan kain batik dan kebaya buatan Bu Tukinah. Ia tampak
seperti penari keraton. Uniknya, Sama masih memakai sepatu kets
olahraganya.
Sebelum berpamitan kepada Bu Tukinah, Mas
Towil menunjukkan buah asam yang dijemur di atas tampah di pekarangan
rumah. “Silakan mencicipi rasanya seperti mangga muda. Kalau hendak
memetiknya harus menggunakan galah karena pohonnya tinggi. Tapi kalau
kalian berdua hendak mengambilnya cukup dengan tangan saja,” ujar Mas
Towil kepada 2 saudara laki-laki yang memang berpostur hampir 2 meter.
Daun Keberuntungan
Setelah
melanjutkan perjalanan beberapa saat, rombongan kami beristirahat
sejenak di sebuah poskamling di tengah kebun jagung. Mas Towil
membongkar perbekalan yang ada di tas ranselnya. Di sana tersedia kue
sus, pastel, dan arem-arem. Tak ketinggalan kemasan air mineral untuk
melepas dahaga.
Selain itu, Mas Towil juga menghadiahi mereka lucky leaves.
Konon kalau di Belanda ada kepercayaan kalau kita mendapat yang
berhelai 4 akan mendapat keberuntungan. Tapi di negeri kincir angin
tersebut hanya ada 3 helai. “These are for you all,“ ujar Mas Towil. Ternyata berhelai 4.
Mbak Dewi menanyakan apakah kalian semua bahagia, “Are you happy?” “Yes, we are very happy,” jawab mereka serempak. Kehidupan di desa memang menyenangkan. Tidak ada polusi udara dan suara bising kendaraan. “It’s quite and peaceful…” imbuh sang ayah.
Selanjutnya
sebagai pemberhentian terakhir, Mas Towil mengajak rombongan ke rumah
Mbah Sumirah. Beliau pengrajin tempe tradisional. Bungkusnya pun masih
dari daun pisang dan koran bekas. Daun pisang untuk yang bagian dalam,
sedangkan korannya untuk bagian luar.
“Setiap hari sejak
1960, Mbah Sumirah sudah membuat tempe dengan cara tradisional. Sekarang
rata-rata 5 kg kedelai yang dibuat tempe. Dari bahan baku tersebut per
kilogram bisa menghasilkan 40 bungkus. Sedangkan harga per bungkus Rp
300. Jadi total sehari bisa menghasilkan pemasukan kotor Rp 60.000,”
ujar Mbak Dewi dengan bahasa Inggris.
Tak hanya menjadi
pengamat, Sama dan Ibunya kembali mempraktikkan proses membuat tempe.
Mereka memasukkan sendok kedelai ke dalam daun pisang dan membungkusnya
dengan koran bekas dibagian luar. Lalu, mengikatnya dengan tali dari
serat batang pisang.
Awalnya
memang tak beraturan bentuknya, tapi kemudian setelah diajari Mbah
Sumirah akhirnya bisa juga. “Tunggu selama 2 hari untuk proses
fermentasi, setelah itu kalian bisa minta kepada koki di hotel untuk
menggoreng tempe tersebut,” ujar Mas Towil, sambil menyerahkan beberapa
bungkus tempe untuk dibawa pulang.
Selain itu, mereka juga
membawa beberapa butir kedelai untuk dibawa ke Belanda. Ternyata sang
ayah suka sekali bercocok tanam di dalam pot. Ia menujukkan beberapa
foto tanamannya. Seperti mendapat wangsit, Mas Towil mengajak sang ayah
dan keluarga tersebut ke halaman rumah. Di sana ada tanaman merica.
Rempah-rempah tersebut merupakan primadona perdagangan di masa lampau.
Uniknya, merica itu tumbuh di atas pot yang terbuat dari ban luar mobil.
Setibanya
di rumah Joglo Towilfiets kembali. Mereka mencuci tangan dan membasuh
wajah. Mbak Dewi sengaja mengajak mereka ke sumur yang masih menggunakan
timba manual. Mereka bergiliran menimba sendiri air dari sumur.
Ternyata air tersebut segar sekali. Jauh lebih bersih ketimbang air
kran. “It’s so fresh,” ujar salah seorang anak.
Tak
terasa jam tangan sudah menunjuk jam 12.00 WIB, jadi sekitar 3 jam kami
berkeliling desa menikmati suasana dan berinteraksi dengan warga.
Sambil beristirahat di bangku taman, Mbak Dewi menyuguhkan teh hangat
dan setandan pisang muli. Walau ukurannya kecil tapi rasanya sangat
manis.
Mas Towil juga mempersilakan mereka mengisi buku gambar ukuran besar. “Silakan menulis nama, e-mail, dan kesan-kesan Anda. Foto-foto perjalanan tadi akan kami kirimkan lewat e-mail
sebagai kenang-kenangan.” Mas Herry sang fotografer memang dari tadi
mengabadikan wisata tur sepeda keluarga Belanda tersebut. Bahkan tak
jarang Mas Towil merangkap sebagai juru kamera juga.
Secuil
kisah di atas membuktikan bahwa hobi bisa menjadi profesi. Awalnya, Mas
Towil sekadar suka bersepada onthel. Lantas, untuk mendapat penghasilan
dari kegemarannya tersebut ia mengadakan wisata desa dengan mengendarai
sepeda onthel, terutama untuk wisatawan mancanegara.
Ternyata
sambutan masyarakat sangat antusias, karena desanya dikunjungi tamu
asing. Sebaliknya, para turis juga merasakan sensasi ala negeri agraris.
Inilah kombinasi antara inovasi, kreativitas, kejelian melihat peluang,
dan kepedulian pada sesama serta lingkungan alam sekitar. Maju terus
Mas Towil dkk! Salam Kring-kring Gowes-gowes!
Sumber Foto: Dok. Pri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar