Juli 31, 2013

Mengoptimalisasi Potensi Diri lewat Edukasi

Dimuat di Okezone.com, Rabu/31 Juli 2013

Judul: Tuhan Tidak Menciptakan Sampah, Pola Baru Pendidikan Anak
Penulis: Paulus Subiyanto
Penerbit: Fidei Press
Cetakan: 1/November 2012
Tebal: 133 halaman
ISBN: 978-602-8670-68-5

Aktivitas pembelajaran cenderung membidik target pencapaian angka (grade) saja. Terlebih dengan pemberlakuan sistem UN (Ujian Nasional) dari Sabang sampai Merauke. Tatkala siswa duduk di bangku “panas” kelas 6, 9, dan 12, mereka terpaksa berkutat dengan ritual drilling latihan soal. Kliping UN tahun-tahun terdahulu pun laris-manis seperti kacang goreng.

Imbasnya, nilai-nilai humaniora dan budi pekerti terabaikan. Padahal adagium Latin sejak dini mewanti-wanti bahwa non scholae sed vitae discimus. Manusia belajar bukan demi sekolah, tapi untuk hidup, Artinya, raison d’etre pendidikan bukan melulu agar terampil mengisi kolom pilihan ganda, tapi sebagai proses pembelajaran sepanjang hayat (long life learning). Bukankah setiap insan telah dikarunai – meminjam istilah Ki Hadjar Dewantara - cipta, rasa, dan karsa oleh Sang Khalik?

Oleh sebab itu, buku “Tuhan Tidak Menciptakan Sampah, Pola Baru Pendidikan Anak” ini menekankan pentingnya anak didik hidup dalam konteks kesekarangan. Menurut penulis, masa depan merupakan proyeksi kaum dewasa, sedangkan siswa sedang berkembang dengan kebutuhan konkret kini dan di sini (now here). Alam pikir mereka tak terbelenggu masa silam (past) dan belum menjangkau lembaran hari-hari esok (future).

Paulus Subiyanto, pria kelahiran Bantul, Yogyakarta, 22 Juli 1961 yang kini berdomisili di Pulau Dewata. Lewat buku ini, ia menawarkan konsep pendidikan dengan hati. Artinya, dinamika pembelajaran wajib memerhatikan kebutuhan-kebutuhan emosional anak. Tentu sesuai dengan tahapan perkembangan psikologis masing-masing individu.

Tesis utama buku ini menandaskan bahwa pendidikan satu arah relatif sarat beban stres. Meminjam istilah Romo Mangun, alih-alih memekarkan jiwa justru menumpuk emosi negatif. Padahal individu yang tak bisa menikmati keceriaan masa kanak-kanak niscaya mengalami trauma psikis. Mereka kelak menjadi orang dewasa yang tidak bahagia, suka mengeluh, dan uring-uringan. Bukan suatu kebetulan jika kini banyak oknum pejabat publik yang justru menghamba pada gengsi, harta, dan kursi.

Sistematika buku ini terdiri atas 6 pokok bahasan. Antara lain bertajuk, “Potret Buram Pendidikan Anak,” “Memandang Cakrawala Baru,” “Menumbuhkan Potensi Anak,” dan “Anak-anak yang Bahagia.” Fenomena sederhana kaya makna bertebaran dalam setiap lembarnya.

Alkisah, lantai beton merekah dan retak karena tertembus tunas tanaman lamtoro. Saat proses pembangunan rumah beberapa waktu lalu, biji mungil lamtoro itu jatuh tercampur dalam adonan semen. Lantas, biji tersebut tumbuh dan berhasil menerobos beton keras. Ternyata biji lunak menyimpan daya pertumbuhan dahsyat.

Manusia takzim meyakini fenomena itu sebagai tanda kemahakuasaan Tuhan. Sedangkan, para ilmuwan menyebutnya sebagai cetak biru (blue print) dalam uliran DNA gen lamtoro. Tapi yang jelas ada kekuatan adikodrati yang melingkupi sekaligus telah built up (terinstal) dalam biji tersebut.

Dalam konteks ini, ada dua kemungkinan, lamtoro itu berpotensi tumbuh besar menjadi pohon raksasa yang memberi keteduhan atau segera layu sebelum berkembang. Semua tergantung pada lingkungan dan perlakuan orang di sekitarnya. Pada penghujung analogi flora tersebut, penulis  melontarkan pertanyaan reflektif, “Kalau sebutir lamtoro saja memiliki daya yang luar biasa, apalagi anak manusia?” (halaman 13)

Aktivitas sehari-hari penulis sebagai guru TK Multi-Q di Badung, Bali menjadi sumber inspirasi utama. Referensinya pun relatif beragam, menyiratkan kalau ia gemar membaca. Antara lain karya Daniel Goleman teori Emotional Intelligence-nya, Howard Gardner dengan Multiple Intelligence-nya, Thomas Armstrong, Richards Carlson, Anand Krishna Ph.D, dan Prof. Dr. Conny Semiawan.

Penulis juga meredefinisi kata “talenta”. Selama ini acap dipahami sebagai “bakat khusus di bidang tertentu” seperti menyanyi, melukis, bermain musik, olahraga, dll. Padahal menurut Pengasuh rubrik Konsultasi Keluarga di koran lokal ini, secara epistemilogis, kata “talenta” berasal dari budaya di Timur Tengah sana.

Satu talenta setara dengan tiga ribu dinar. Sedangkan, satu dinar merupakan upah satu hari kerja. Kalau dipadankan dengan konteks Indonesia, rata-rata upah kerja bangunan sehari Rp100.000, maka nilai 1 talenta setara dengan 3.000 x Rp100.000 = Rp300.000.000. Bagi kalangan buruh lepas di tanah air, jumlah tersebut terbilang fantastis.

Tiada mawar tanpa duri, begitu pula buku bersampul hijau ini. Pada bagian penutup perlu disediakan daftar pustaka yang mencantumkan sumber referensi tulisan. Sehingga pembaca yang berminat memelajari dari sumber asli bisa mudah mendapatkan informasi.

Terlepas dari kelemahan di atas, buku setebal 133 halaman ini layak dijadikan rujukan para orang tua, guru, mahasiswa, akademisi, serta pejabat pengampu kebijakan publik di ranah pencerdasan bangsa. Proses edukasi tak cukup dengan perubahan kurikulum setiap ganti menteri, tapi perlu dilambari konsep yang jelas. Sebab, menyitir pendapat John Dewey (1859-1952), “Pendidikan bukan persiapan untuk hidup melainkan kehidupan itu sendiri.”

13753337331870436556

Dari Belanda ke Yogyakarta Keliling Desa dengan Mas Towil dkk

Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Rabu/31 Juli 2013
http://mjeducation.co/dari-belanda-ke-yogyakarta-untuk-bersepada-keliling-desa-dengan-mas-towil-dkk/

Minggu pagi (27/7/2013) hangat mentari bersinar lembut. Jam tangan masih menunjuk pukul 06.30 WIB, penulis bergegas meluncur di atas motor keluar dari kota Gudeg menuju ke arah barat. Selepas melintasi jembatan Bantar di Jalan Wates Km 15 langsung berbelok ke kanan menuju Griya Joglo Towilfiets. Tepatnya di Dusun Bantar Bangunsucipto Sentolo, Kulon Progo, Yogyakarta, Indonesia.

Penulis sempat tersasar beberapa kali. Untungnya, warga setempat cukup familiar dengan Ketua Podjok atau Paguyuban Onthel Djogja tersebut. “Oh Mas Towil yang punya banyak sepeda onthel dan sering didatangi Londo-londo itu tho, di sana rumahnya Mas,” ujar salah satu warga sembari menunjukkan arah.

Kediaman mantan eksportir handicraft tersebut terbilang asri dan njawani. Bentuknya berupa rumah joglo, lalu di depannya ada bangku-bangku dan meja taman. Rimbun dedaunan pohon nangka dan kelapa gading menambah keteduhan.  

Sekitar pukul 07.30 WIB  sudah banyak romongan tamu-tamu dari luar negeri berdatangan diantar mobil travel. Mereka bersiap-siap melakukan kegiatan touring dengan mengendarai sepeda onthel keliling desa.  “Selamat datang, welcome, sugeng rawuh,” sapa Mas Towil dengan ramah sembari menyalami dan berkenalan satu-persatu. “Kalau bulan Juli (peak season) seperti sekarang banyak sekali tamu yang datang Mas, hari ini rencananya ada 8 kelompok,” jelasnya kepada penulis.

Oleh sebab itu, ayah dua anak tersebut melibatkan pemuda-pemuda kampung dan para mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi di Yogyakarta untuk menjadi guide. “Syaratnya hanya dua Mas, yakni mau berbahasa Inggris dan mau bersepeda,” imbuhnya lagi.

Selain memandu di sepanjang perjalanan, mereka juga fasih menjelaskan aneka aktivitas yang dilakukan warga dan manfaat keanekaragaman hayati yang ada di desa tersebut. “Ini wisata desa, bukan desa wisata, jadi kami sekadar memfasilitasi para tamu untuk berinteraksi dan terlibat langsung dalam aktivitas sehari-hari masyarakat setempat,” jelas Mas Towil yang telah menjalankan program wisata alternatif ini sejak 6 tahun silam.

Satu pemandangan yang unik tersaji di halaman rumah mertua di sisi timur pria kelahiran Boyolali tahun 1973 tersebut. Puluhan sepeda onthel terparkir rapi, sedangkan puluhan lainnnya masih terparkir di dalam rumah, total ada seratus sepeda kayuh. Semua masih dalam kondisi siap pakai walau bermerk lawas keluaran tahun 1940-an, antara lain Gazelle, Fonger, Simplex, Humber, Teha, BSA, Phillip, Triumph, Phoenix, dll.

“Saya mengumpulkannya satu-persatu Mas, sebagian besar sepeda-sepeda yang tak terpakai, saya keliling ke desa-desa dan membeli langsung dari pemiliknya. Lantas, kami perbaiki. Kini kami menjalin relasi dengan 5 bengkel yang siap merakit, mengganti, dan merawat onderdil sepeda-sepeda tersebut,” terang Mas Towil.  

Masih menurut Mas Towil, karena ia Ketua Podjok yang menaungi ribuan pecinta sepeda, ia enggan membeli sepeda-sepeda onthel yang sudah dipakai oleh para pemiliknya. Karena tujuan mereka kan untuk mendorong masyarakat kembali bersepeda. Dulu Yogyakarta memang pernah dikenal sebagai kota sepeda.

Lalu, ketika ditanya kenapa pilihannya jatuh kepada sepeda onthel model lawas. Ia menjawab karena sepeda-sepeda tua tersebut bukan sekadar alat transportasi biasa tapi sebuah heritage. “Ada cerita dan kenangan di balik keberadaan sepeda-sepeda warisan leluhur,” ujarnya sedikit berfilosofi. Ternyata harga sepeda onthel tak bisa dibilang murah, ada yang Rp 500 ribuan, 5 jutaan bahkan sampai 50 jutaan. 

Sebelumnya, enam kelompok touring sepeda jelajah desa sudah berangkat. Masing-masing didampingi oleh dua guide. Selain menikmati panorama ijo royo-royo khas wong tani, mereka pun akan berkunjung ke rumah-rumah penduduk. Kebetulan di sana ada tukang urut bayi, pengrajin tikar, pembuat stagen, pengrajin tempe tradisional, pasar rakyat tradisonal, kelompok gamelan, dll.

Pagi itu, Mas Towil sendiri mendampingi kelompok tujuh bersama Mbak Dewi. Rencananya, ada kelompok kedelapan, tapi pada saat-saat terakhir membatalkan janji kedatangan. Sehingga Mbak Dewi yang dijadwalkan bertugas mendampingi mereka diajak sekalian menemani kelompok ketujuh saja.

Kelompok ini terdiri atas satu anggota keluarga dari Belanda. Ayah, Ibu, dua putra laki-laki usia 17 dan 19 tahun, dan seorang anak perempuan (21). Mereka terlebih dahulu memilih dan mencoba-coba sepeda onthel yang telah tersedia. “Pastikan kalau remnya berfungsi dengan baik dan siap dipakai,” ujar Mas Towil.

Sebagian besar turis lelaki tersebut berbadan tinggi, sehingga mereka memilih sepeda lanang (cowok) yang tinggi juga. Salah satu sepeda tersebut menurut Mas Towil merupakan hadiah dari Walikota Yogyakarta, Haryadi Suyuti. “Towil, this is for you,” ujar Mas Towil menirukan dengan bahasa Inggris.

Tanpa banyak membuang waktu, tepat pukul 09.00 WIB rombongan tersebut segera mengayuh sepeda onthelnya masing-masing. Penulis juga mengikuti dengan mengendarai sepeda mini. Bentangan lanskap khas pedesaan segera menyambut dengan keelokannya. Oksigen segar mencuci paru-paru yang selama ini terpapar karbondioksida.

Di satu sudut jalanan, kami sempat berpapasan dengan anak-anak kecil, rombongan pun segera menepi. Turis-turis dari Belanda tersebut membawa sebungkus balon karet. Lalu, mereka meniupnya dan membagikan balon warna-warni yang disambut dengan ucapan terima kasih dan wajah ceria anak desa. “Thank you…” ujar mereka serempak.

Pemberhentian selanjutnya di dekat rel kereta api. Dari situ tampak jembatan Bantar buatan Belanda yang dibuat zaman baheula (1930) tapi tetap berdiri kokoh hingga kini. Mas Towil juga mengajak mereka ke kebun singkong dan pepaya. Secara cekatan ia menjelaskan aneka manfaat cassava. “If you eat nasi Padang in the hotel, you can boil the leaves and eat them,” ujarnya tentang manfaat daun singkong untuk lalapan. Selain itu, Mbak Dewi juga menjelaskan manfaat daun pepaya, yakni untuk melunakkan daging. Kebetulan Ibu keluarga Belanda tersebut suka memasak.

Saat menunjukkan dan bermain-main dengan daun tanaman putri malu, mereka menyebutnya Shy Princess. Sebaliknya, para turis mancanegara tersebut juga belajar budaya lokal. Misalnya ketika berpapasan dengan warga, Mas Towil mengajarkan cara menyapa dengan bahasa Jawa. This is the way we greet in Javanese,” paparnya. Maka setiap kali mereka berpapasan dengan warga di jalan, sontak terucap kata, “Monggo…”

Kami melanjutkan perjalanan menyusuri jalan pedesaan dengan penuh semangat. Mas Towil berada di barisan terdepan. Setibanya di tengah areal persawahan, rombongan kembali berhenti sejenak. Musim tanam padi telah usai, kini bekas sawah-sawah tersebut ditanami kedelai sebagai bahan baku pembuat tempe, kecap, susu, dll. “Kami lantas menjualnya di pasar tradisional,“ ujar Mas Towil, tentu dengan bahasa Inggris. Ia memang pernah bekerja di hotel selama 5 tahun.

Di pertigaan Jalan Ploso, rombongan berbelok ke kanan, kami mampir di rumah tukang pijat tradisional, namanya Mbah Diar. Di sana para tamu yang membawa bayi dan anak-anak kecilnya antre menunggu giliran. Mereka tampak kaget didatangi tamu-tamu dari luar negeri. Kembali keluarga Belanda itu meniup balon warna-warni dan membagikannya kepada anak-anak.

Lalu, Mas Towil menjelaskan aneka ramuan tradisional yang terbuat dari rempah-rempah tersebut. Ada yang dalam bentuk minyak dan ada yang dalam bentuk tumbukan jahe. Selain itu, ada juga jamu brotowali untuk penambah nafsu makan anak. Kalau dalam bahasa Jawa namanya dicekoki.

Uniknya, ketika sang ayah keluarga Belanda tersebut bertanya berapa biaya berobat pijat di sini? Mbah Diar mengatakan terserah alias sukarela. Mas Towil menerjemahkannya dengan the cost is up to you. Bayarnya terserah, jadi beda dengan di rumah-rumah sakit di kota.

Selanjutnya, perjalanan bersepeda ria tersebut harus melintasi jalan setapak yang berumput, letaknya di sisi saluran irigasi. Para wisatawan asing tersebut heran kenapa tidak ada airnya dan kering kerontang seperti itu.

Menurut Mas Towil, setelah musim panen padi, saluran irigasi tersebut memang dikeringkan sehingga bisa dibersihkan. Pada tanggal 10 Agustus 2013 mendatang baru akan dibuka kembali aliran airnya. Tampak jelas di sini bahwa penguasaan medan dan pengetahuan Mas Towil amat memadai.

Di dekat sebuah areal peternakan ayam, rombongan kami berhenti sejenak. Aroma khas kotoran ayam tercium jelas dari rongga hidung. Di sana terdapat juga pohon jati muda, lantas Mas Towil memetik ujung daunnya. Setelah diremas-remas telapak tangan menjadi merah. “You can be used for lipstick and hair color,” ujar Mas Towil. Daun jati dapat dipakai untuk pewarna bibir dan rambut.

Di tengah perjalanan, sepeda anak laki-laki yang pertama sempat macet. Ternyata setelah dicek rantainya putus. Pak Harto, salah satu mekanik yang dari tadi mengikuti bertindak cepat. Ia memberikan sepedanya untuk dipakai, sedangkan ia sendiri membawa pulang sepeda yang rusak tersebut. Prinsipnya, senantiasa berharap yang terbaik tapi juga bersiap untuk yang terburuk. Kalau ada sepeda yang mogok, ya diganti yang baru. Kepuasan pelanggan selalu nomor satu.

Praktik Menenun

Persinggahan yang paling heboh di rumah Mbah Semi. Beliau seorang pembuat tikar dari daun Agel (sejenis pandan). Saat itu rumah Joglo Mbah Semi sedang direnovasi sehingga para tamu diterima di halaman rumah. “Mesin” pembuat tikar Agel tersedia dan siap dipakai.

Pertama, Mbah Semi memberi contoh cara membuat benang dan anyaman tikar alami tersebut. Kedua, ia meminta para turis mempraktikkannya sendiri. Dari anggota keluarga tersebut, anak perempuan, Sama dan sang Ibu yang bersedia mencoba.

Sekilas kalau hanya dilihat tampak mudah membuat anyaman tersebut, tapi setelah mempraktikkanya lumayan rumit. Kendati demikian, Mbah Semi dan Mas Towil merupakan instruktur yang andal. Mereka mengajari dengan penuh kesabaran dan dedikasi.

Menurut Mbak Dewi yang menerjemahkan penjelasan dari Mbah Semi, ia mulai menenun sejak 1974. Sehari rata-rata bisa membuat 4 meter, sedangkan harga per 10 meternya Rp 100.000. Tapi Mbah Semi tak mau mengerjakannya dengan asal-asalan, beliau menggarap sesela waktu dan sekuat tubuh rentanya saja. Dalam bahasa Jawa disebut alon-alon waton kelakon.

Sembari menenun tikar Agel, Mbak Semi selalu memamah sirih, tembakau, dan pinang. Walau sudah lanjut usia semangatnya masih tinggi. Setiap tamu yang datang diajak bersalaman dan berfoto bersama.

Lucunya, saat berfoto dengan dua anak laki-laki dari Belanda tersebut, Mbah Semi seperti diapit dua menara kembar. “I like to see, to work and I am also very happy,” ujar sang ibu setelah menyelesaikan beberapa sentimeter anyaman tikar Agel dengan “mesin” tenun manual yang dipandu Mbah Semi.

Saking bahagianya keluarga tersebut memberikan uang kepada Mbah Semi sebagai ucapan terima kasih. Ternyata Mbah Semi tak memiliki dompet, ia hanya menyelipkannya di stagen yang melilit pinggangnya. “In Javannese it’s called gambol,” ujar Mbak Dewi menjelaskan kepada para tamu yang melongo terkesima. “This is the reality,” imbuh Mas Towil.

Tak kalah menarik lawatan selanjutnya di kediaman Bu Tukinah. Beliau seorang pembuat stagen dari bahan baku tali kapas. Praktik membuat stagen tersebut masih menggunakan cara manual. “Mesin” dari kayu untuk memintal benang dan membuat tenunan dibuat sendiri. Harga sepuluh meter stagen putih Rp15.000. Stagen tersebut disetorkan ke juragan. Fungsi stagen ialah untuk memakai kain jarit dan kebaya serta melangsingkan perut setelah ibu melahirkan.

Sama, si anak perempuan kembali belajar mengoperasikan “mesin” tersebut. “Alat tenun manual membutuhkan kemampuan multitasking, karena kaki dan tangan bekerja secara bersamaan,“ jelas Mbak Dewi, tentu dengan bahasa Inggris. Menurut Bu Tukinah, hasil tenunan Sama tergolong rapi. “Jika Mbak Sama di sini sebulan pasti bisa membuat kain stagen sendiri,” ujar Bu Tukinah.

Sebagai kejutan, Mas Towil mengajak Sama ke dalam kamar bersama Bu Tukinah. Anggota keluarga lainnya penasaran apa yang akan dilakukan. Ternyata Sama mengenakan kain batik dan kebaya buatan Bu Tukinah. Ia tampak seperti penari keraton. Uniknya, Sama masih memakai sepatu kets olahraganya.

Sebelum berpamitan kepada Bu Tukinah, Mas Towil menunjukkan buah asam yang dijemur di atas tampah di pekarangan rumah. “Silakan mencicipi rasanya seperti mangga muda. Kalau hendak memetiknya harus menggunakan galah karena pohonnya tinggi. Tapi kalau kalian berdua hendak mengambilnya cukup dengan tangan saja,” ujar Mas Towil kepada 2 saudara laki-laki yang memang berpostur hampir 2 meter.

Daun Keberuntungan

Setelah melanjutkan perjalanan beberapa saat, rombongan kami beristirahat sejenak di sebuah poskamling di tengah kebun jagung. Mas Towil membongkar perbekalan yang ada di tas ranselnya. Di sana tersedia kue sus, pastel, dan arem-arem. Tak ketinggalan kemasan air mineral untuk melepas dahaga.

Selain itu, Mas Towil juga menghadiahi mereka lucky leaves. Konon kalau di Belanda ada kepercayaan kalau kita mendapat yang berhelai 4 akan mendapat keberuntungan. Tapi di negeri kincir angin tersebut hanya ada 3 helai. “These are for you all,“ ujar Mas Towil. Ternyata berhelai 4.

Mbak Dewi menanyakan apakah kalian semua bahagia, “Are you happy?” “Yes, we are very happy,” jawab mereka serempak. Kehidupan di desa memang menyenangkan. Tidak ada polusi udara dan suara bising kendaraan. “It’s quite and peaceful…” imbuh sang ayah.

Selanjutnya sebagai pemberhentian terakhir, Mas Towil mengajak rombongan ke rumah Mbah Sumirah. Beliau pengrajin tempe tradisional. Bungkusnya pun masih dari daun pisang dan koran bekas. Daun pisang untuk yang bagian dalam, sedangkan korannya untuk bagian luar.

“Setiap hari sejak 1960, Mbah Sumirah sudah membuat tempe dengan cara tradisional. Sekarang rata-rata 5 kg kedelai yang dibuat tempe. Dari bahan baku tersebut per kilogram bisa menghasilkan 40 bungkus. Sedangkan harga per bungkus Rp 300. Jadi total sehari bisa menghasilkan pemasukan kotor Rp 60.000,” ujar Mbak Dewi dengan bahasa Inggris.

Tak hanya menjadi pengamat, Sama dan Ibunya kembali mempraktikkan proses membuat tempe. Mereka memasukkan sendok kedelai ke dalam daun pisang dan membungkusnya dengan koran bekas dibagian luar. Lalu, mengikatnya dengan tali dari serat batang pisang.

Awalnya memang tak beraturan bentuknya, tapi kemudian setelah diajari Mbah Sumirah akhirnya bisa juga. “Tunggu selama 2 hari untuk proses fermentasi, setelah itu kalian bisa minta kepada koki di hotel untuk menggoreng tempe tersebut,” ujar Mas Towil, sambil menyerahkan beberapa bungkus tempe untuk dibawa pulang.

Selain itu, mereka juga membawa beberapa butir kedelai untuk dibawa ke Belanda. Ternyata sang ayah suka sekali bercocok tanam di dalam pot. Ia menujukkan beberapa foto tanamannya. Seperti mendapat wangsit, Mas Towil mengajak sang ayah dan keluarga tersebut ke halaman rumah. Di sana ada tanaman merica. Rempah-rempah tersebut merupakan primadona perdagangan di masa lampau. Uniknya, merica itu tumbuh di atas pot yang terbuat dari ban luar mobil.

Setibanya di rumah Joglo Towilfiets kembali. Mereka mencuci tangan dan membasuh wajah. Mbak Dewi sengaja mengajak mereka ke sumur yang masih menggunakan timba manual. Mereka bergiliran menimba sendiri air dari sumur. Ternyata air tersebut segar sekali. Jauh lebih bersih ketimbang air kran. “It’s so fresh,” ujar salah seorang anak.

Tak terasa jam tangan sudah menunjuk jam 12.00 WIB, jadi sekitar 3 jam kami berkeliling desa menikmati suasana dan berinteraksi dengan warga. Sambil beristirahat di bangku taman, Mbak Dewi menyuguhkan teh hangat dan setandan pisang muli. Walau ukurannya kecil tapi rasanya sangat manis.

Mas Towil juga mempersilakan mereka mengisi buku gambar ukuran besar. “Silakan menulis nama, e-mail, dan kesan-kesan Anda. Foto-foto perjalanan tadi akan kami kirimkan lewat e-mail sebagai kenang-kenangan.” Mas Herry sang fotografer memang dari tadi mengabadikan wisata tur sepeda keluarga Belanda tersebut. Bahkan tak jarang Mas Towil merangkap sebagai juru kamera juga.

Secuil kisah di atas membuktikan bahwa hobi bisa menjadi profesi. Awalnya, Mas Towil sekadar suka bersepada onthel. Lantas, untuk mendapat penghasilan dari kegemarannya tersebut ia mengadakan wisata desa dengan mengendarai sepeda onthel, terutama untuk wisatawan mancanegara.

Ternyata sambutan masyarakat sangat antusias, karena desanya dikunjungi tamu asing. Sebaliknya, para turis juga merasakan sensasi ala negeri agraris. Inilah kombinasi antara inovasi, kreativitas, kejelian melihat peluang, dan kepedulian pada sesama serta lingkungan alam sekitar. Maju terus Mas Towil dkk! Salam Kring-kring Gowes-gowes!

Sumber Foto: Dok. Pri

Juli 29, 2013

Membaca Cara Ampuh Melatih Otak

Dimuat di Surat Pembaca, Suara Merdeka, Selasa/30 Juli 2013

Kebiasaan membaca berpengaruh positif bagi setiap anak manusia, sehingga otak bisa bekerja secara optimal sampai usia tua. Hal ini senada dengan tesis Dr Robert S Wilson PhD, seorang peneliti dari Rush University Medical Centre di Chicago, Amerika Serikat. Menurut dia membaca merupakan cara ampuh untuk melatih otak. Bila sejak kecil anak-anak suka membaca, kesehatan otak niscaya terjaga hingga lanjut usia.

Penelitian Dr Robert melibatkan 294 orang di atas usia 55 tahun. Mereka harus menjalani serangkaian tes kognitif setiap 6 tahun sekali sampai akhirnya mereka meninggal dunia di usia rata-rata 89 tahun. Selain itu, mereka juga diminta menjawab pertanyaan kuisoner tentang apakah mereka membaca, menulis, dan terlibat dalam kegiatan literer lain sejak kanak-kanak, remaja, usia pertengahan hingga usia mereka saat itu?

Lantas setelah meninggal dunia, otak mereka dibedah dan diteliti secara intensif di laboratorium. Ternyata orang yang sering merangsang otak dengan membaca dan menulis lebih lambat penurunan tingkat memorinya ketimbang yang tidak melakukan baca-tulis sepanjang hayatnya.

Dari temuan tersebut, penulis terinspirasi untuk memperkenalkan budaya membaca kepada para siswa di SMP Kanisius Sleman, Yogyakarta. Dalam kelas ekskul bahasa Inggris, para siswa tampak asyik membaca Kumpulan Dongeng Motivasi (Stories of Great Virtue). Buku karangan Arleen Amidjaja dkk dengan ilustrator Sherly Gunawan dkk tersebut ditulis dengan dua bahasa (bilingual). Jadi seperti kata pepatah, sekali mendayung dua pulau terlampaui, dengan membacanya para siswa dapat belajar nilai-nilai budi pekerti sekaligus mengasah kemampuan linguistik.

Misalnya kisah romantik antara putri duyung bernama Sisi dan Pangeran tampan dari Kerajaan Laut. Daya tarik Sisi tidak semata secara fisik, tapi lebih pada inner beauty (kecantikan batin). Sisi menjahit sendiri gaun malam untuk pesta dansa. Sisi memahat sendiri kerajinan ukiran kerang yang hendak dijadikan hadiah untuk Sang Pangeran. Sedangkan putri-putri duyung lain cenderung malas dan mencari jalan pintas. Mereka cukup membelinya di butik dan toko souvenir kerajinan tangan.

Selain itu, tatkala putri-putri duyung lain beramai-ramai mengecat kuku mereka, Sisi justru asyik duduk diam membaca sendirian. Ia mencari buku-buku di perpustakaan, terutama yang terkait dengan sejarah kerajaan mereka, sehingga ketika berjumpa dengan Sang Pangeran, ia relatif memiliki cukup banyak materi pembicaraan. Alhasil, Sang Pangeran jatuh hati dan melamarnya menjadi permaisuri.

Akhir kata, lewat aktivitas sederhana itu, para siswa diperkenalkan kembali dengan budaya membaca buku dongeng dan cerita anak. Sebab selama ini remaja lebih akrab dengan gadget dan media sosial di internet. Dalam konteks ini, pendapat Esther Meynell, penulis biografi The Little Chronicle of Anna Magdalena Bach sungguh relevan, ’’Buku, bagi seorang anak yang membaca lebih dari sekadar buku. Bagi mereka, buku merupakan impian masa depan sekaligus pengetahuan masa silam.’’ Salam cinta buku!

13751444871517409012
Source of the picture: Source: http://bubbleblue.blogdetik.com/2013/06/18/baca-buku-bisa-cegah-pikun/

Juli 28, 2013

Memuliakan Allah lewat Usaha Bisnis

Dimuat di Radar Seni, Minggu/28 Juli 2013
http://radarseni.com/2013/07/28/memuliakan-allah-lewat-usaha-bisnis/

Judul: Business for the Glory of God, Ajaran Alkitab Tentang Kebaikan Moral Bisnis
Penulis: Prof. Wayne Grudem, Ph.D.
Penerjemah: Samuel Tumanggor
Penyunting: James Yanuar
Penerbit: VISI Press
Cetakan: 1/2010
Tebal: 110 halaman
ISBN: 978-602-8073-31-8
Harga: Rp27.000

Pada 3-5 Oktober 2002 silam, Ted Yamamari mantan presiden Food for the Hungry meminta Prof. Wayne Grudem, Ph.D. menyampaikan makalah dalam Konferensi untuk Usahawan Holistik di Regent University Graduate School of Business. Prof. Wayne memang telah bertahun-tahun meriset ajaran Alkitab terkait usaha bisnis. Makalahnya saat itu berjudul “Bagaimana Bisnis Dapat Memuliakan Allah”. Nah buku ini merupakan perluasan dari curah gagasan tersebut.

Tatkala kita mendengar kata bisnis beberapa orang sontak berpikiran negatif. Kenapa? Karena selama ini bisnis selalu dikaitkan dengan hal-hal yang kotor. Pertanyaan kritisnya, apakah  bisnis tidak bisa dipergunakan untuk memuliakan Tuhan? Tesis Prof. Wayne Grudem,  Ph.D. Profesor Riset Alkitab dan Theologi di Phoenix  Seminary, Scottsdale, Arizona, U.S.A. sederhana tapi mendalam, penyalahgunaan bisnis yang marak terjadi dewasa ini tidak menjadikan bisnis itu sendiri jahat. Bisnis pada hakikatnya baik dan potensial dipakai  untuk memuliakan Allah. Dalam konteks ini, senada dengan petuah dalam tradisi Kejawen, kesadaran dan kewaspadaan (eling lan waspada) menjadi penting. Sehingga manusia tak tergelincir dalam pemberhalaan bisnis demi kepemilikan harta semata (melik nggendong lali).

Lewat buku ini, alumnus dari Harvard University (B.A.), Westminster Seminary (M.Div.) menyoroti 9 aspek bisnis dengan terang iman Kristiani. Mulai dari aspek kepemilikan, produktivitas, pekerjaan, transaksi dagang, laba, uang, ketidakmerataan barang  milik, persaingan, hingga meminjam dan memberi pinjaman. Intinya, Doctor of Philosophy (Ph.D.) di University of Cambridge, U.K. tersebut menegaskan bahwa bisnis merupakan rancangan Allah bagi kemuliaan-Nya, kebaikan seluruh umat manusia, dan kemaslahatan segenap titah ciptaan.

Misalnya terkait aspek meminjam dan memberi pinjaman dalam usaha bisnis. Penyunting buku Recovering Biblical Manhood and Womanhood tersebut berpendapat, “Ketika kita memahami makna meminjam yang sesungguhnya, kita akan menyadari bahwa proses meminjam dan memberi pinjaman adalah keajaiban yang dianugerahkan Allah kepada manusia. Kenapa? Karena hewan tidak bisa meminjam, memberi pinjaman, atau membayar bunga. Hewan tidak bisa memahami proses ekonomis semacam itu.” (halaman 82).

Lebih lanjut, penulis memaparkan logika berpikirnya yang masuk akal, “Nilai hebat dari meminjam dan memberi pinjaman ialah keduanya menggandakan kegunaan seluruh kekayaan yang dimiliki suatu masyarakat. Analoginya mirip seperti buku di perpustakaan. Perpustakaan kota saya mungkin hanya memiliki satu eksemplar sebuah buku rujukan, tetapi 300 orang dapat membacanya dalam setahun. Jadi warga kota kami memiliki kekayaan kira-kira senilai 300 eksemplar ini jika semua orang harus membeli satu buku.” (halaman 83).

Manfaat yang sama nyata terasa dalam proses meminjam dan memberi pinjaman dalam dunia bisnis. Jika ada uang sebesar $90.000 terparkir di brankas sebuah bank, uang tersebut tidak berguna bagi siapa pun dan hanya menganggur di sana. Padahal ada orang yang hendak membeli rumah seharga $100.000 tapi ia hanya memiliki $10.000. Artinya, ia membutuhkan waktu bertahun-tahun agar bisa menabung $90.000 untuk membeli rumah tersebut. Lalu, sang bankir memberi pinjaman $90.000 kepada orang tersebut dan tiba-tiba uang itu menjadi berguna. Berkat uang tersebut orang tadi bisa membeli dan tinggal di rumah baru. Sebagai konsekuensinya, ia membayarkan bunga penggunaan uang sebesar 6% atau $5.400 per tahun yang membuat sang bankir juga tersenyum lebar.

Buku ini juga meninjau secara mendalam tentang maksud dan makna uang. Terkadang orang beranggapan bahwa uang adalah akar segala kejahatan. Tapi penulis jeli mengutip ayat Alkitab dalam 1 Timotius 6:10, “Akar segala kejahatan ialah cinta uang.” Jadi Paulus berbicara tentang cinta uang bukan tentang uang itu sendiri. Pada hakikatnya, uang itu baik karena merupakan temuan manusia yang membedakan kita dengan hewan. Uang memampukan semua manusia untuk menjadi produktif. Sehingga manusia bisa menikmati buah kerja kerasnya ribuan kali lebih luas ketimbang tidak memiliki sepeser uang pun dan harus saling membarter barang (halaman 55).

Tanpa uang penulis hanya memiliki satu barang yang diperdagangkan, yakni bukunya. Ia boleh memiliki ratusan eksemplar buku, tapi di dunia yang tanpa uang, ia tidak tahu apakah satu eksemplar buku itu sama nilainya dengan sebakul roti, dua helai baju, sebuah sepeda, atau mobil. Penjual bahan pangan juga mungkin tak tertarik membaca bukunya. Jadi ia enggan menukarkan sekeranjang roti dengan buku. Alhasil, penulis hanya memiliki tumpukan buku dan tak ada seorang pun yang mau membarter barang dengannya. Tanpa uang, penulis terpaksa kembali mencari nafkah dengan berkebun dan berternak ayam. Sehingga ia dapat membarterkan sayuran dan telur dari waktu ke waktu.

Dalam konteks ini, uang menemukan kebermanfaatannya. Sebab uang merupakan barang yang diterima setiap penukar barang. Dengan sistem uang, penulis jadi tahu berapa nominal harga satu eksemplar bukunya, yakni $40. Alhasil, ribuan pembaca rela membayar sebesar itu. Hebatnya, uang juga menyimpan nilai sesuatu sampai kita membelanjakannya untuk barang atau jasa yang lain. Ketika penulis mendapat $40, uang itu memegang nilai bukunya sampai ia hendak pergi ke toko penjual bahan pangan. Ia mau menukarkan $40 dengan roti. Penjual bahan pangan yang semula tak mau menukarkan rotinya dengan sebuah buku, kini senang menerima uang $40 tersebut. Kelak, penjual bahan pangan itu pun bisa menukarkannya untuk mendapatkan apa yang dibutuhkan dengan $40.

Artinya, uang membuat pertukaran sukarela lebih adil, tidak sia-sia, dan jauh lebih luas. Di dunia ini, manusia memerlukan uang agar dapat menjadi pengurus bumi yang baik. Sehingga dapat memuliakan Allah dengan menggunakan uang secara bijak demi kebaikan bersama. Jika uang bersifat jahat dalam dirinya sendiri, tentu Allah tidak mengijinkan uang ada. Tetapi Ia bersabda, “Kepunyaan-Kulah perak dan kepunyaan-Kulah emas, demikianlah firman Tuhan semesta alam.” (Hag.2:9).

Buku setebal 110 halaman ini sebuah referensi berharga untuk bekal interaksi dengan atasan, pelanggan, rekan kerja, pegawai, dan kolega bisnis lainnya. Sehingga menyitir pendapat Dave Browne, Direktur Family Christian Stores, “Bisnis kita dapat menjadi bagian penting dari cara manusiawi melayani Allah dan dapat berdampak kekal pada banyak jiwa.” Selamat membaca!

1375015615842066854

Juli 26, 2013

Membongkar Kekerasan Cinta 17+

Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Jumat/26 Juli 2013
http://mjeducation.co/membongkar-kekerasan-cinta-17/


Sabtu pagi (20/7/2013) matahari bersinar cerah di atas kota Gudeg. Tersaji aneka pilihan acara untuk menikmati akhir pekan. Salah satunya sarasehan “Membongkar Kekerasan Cinta 17+” di Ruang Kunjono, Lantai IV, Gedung Pusat Administrasi Universitas Sanata Dharma (USD), Jln. Affandi, Yogyakarta. Walau acara baru akan dimulai pada pukul 09.00 WIB tapi para peserta sudah mengantri mengisi daftar hadir di depan pintu masuk sejak pukul 08.00 WIB. Acara tersebut gratis bagi mahasiswa, pegawai, dan dosen USD, sedangkan bagi umum sekadar membayar kontribusi untuk sertifikat, materi dan konsumsi.


Gigih Adiguna selaku MC (Master Ceremony) membawakan acara dengan gaya Stand Up Comedy. Aneka banyolan segar ia lontarkan untuk menghangatkan suasana. Misalnya ia mengaku sering melihat pasangan muda-mudi bercengkerama di Stadion Maguwoharjo pada malam hari. Padahal di sana gelap, lha bagaimana bisa mengagumi kecantikan pacar kita (bagi pria) dan ketampanan pacar kita (bagi wanita) kalau wajahnya saja tak tampak? Pertanyaan retoris tersebut sontak disambut gelak tawa ratusan peserta yang memadati ruangan sarasehan.

Lalu, pihak MC menyerahkan kemudi untuk mengatur jalannya diskusi kepada Budi Setyahandana, S.T., M.T selaku moderator. Pak Budi segera mempersilakan dua narasumber, yakni Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si dan Endah Marianingsih Th., S.IP, M. Kes untuk naik ke atas panggung dan duduk di kursi pembicara. Pada sesi pertama, mereka akan membongkar kekerasan cinta 17+ dari sudut pandang psikologi dan medis. Lantas nanti pada sesi kedua, Mutiara Andalas, S.J akan mengulas dari aspek spiritualitas Ignasian.

Pembicara perdana adalah Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si, dosen Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma. Pak Priyo mengawali dengan sebuah cerita berdasarkan pengalaman pribadinya. Dulu ketika masih menjadi dosen muda, ia tak membawa motor sendiri ke kampus. Jadi setiap sore istrinya harus menjemput.

Suatu ketika istrinya terlambat datang menjemput, padahal perutnya sudah keroncongan minta diisi  nasi. Lalu, Pak Priyo makan dulu di kantin. Saat sedang asyik makan, istrinya datang dan langsung marah-marah karena sang suami malah jajan, padahal di rumah sudah dimasakkan.

Sepanjang perjalanan pulang menuju ke rumah, istrinya terus mengomel dan marah-marah. Stok kesabaran Pak Priyo habis, lantas ia berkata, “Kalau masih berisik terus lebih baik turun saja dari motor, tak usah membonceng, jalan saja sana!” Ternyata istrinya nekad turun dan berjalan sendirian. Setelah beberapa lama mengamati, Pak Priyo membatin dalam hati, “Kasihan kalau dibiarkan, toh dulu yang memilih dia jadi isti juga saya.”

Singkat cerita Pak Priyo menghampiri sang istri dan berkata mesra, “Mau jalan sendirian terus atau membonceng lagi?” Tanpa menjawab sang istri kembali naik ke atas boncengan motor.

Tapi ternyata sepanjang sisa perjalanan, sang istri masih marah dan mengomel terus. Lucunya, mereka berdua turun lagi dan menuntun motor tersebut sampai ke rumah. Setiap kali di jalan berpapasan kenalan dan tetangga, mereka ditanya, “Kok motornya dituntun? Mogok ya?” Mereka pun kompak menjawab, “Iya businya mati.” Padahal bukan busi melainkan hati pasangan tersebut yang mogok.


Setiba di rumah, karena sang istri memakai hak sepatu tinggi, kakinya sampai lecet-lecet. Sedangkan Pak Priyo pegal-pegal karena harus menuntun motor yang berat. Akhirnya, mereka berdua berdamai, bermaaf-mafaan, saling pijat-pijatan dan mengobati kaki yang lecet-lecet tadi. “Begitulah pengalaman di awal pernikahan kami. Intinya, kekesalan dan kebahagiaan saling berhimpitan dalam dinamika hidup berumah tangga, seiring berjalannya waktu, kini kami bisa lebih saling memahami,” ujarnya yang sontak disambut tepuk tangan peserta.

Selanjutnya tak kalah menarik, Pak Priyo juga bercerita tentang cara mendidik anak yang efektif. Dulu anak laki-lakinya bersekolah di SMA Kolese De Britto, sekolah swasta yang hanya menerima siswa laki-laki dan mengizinkan mereka berambut gondrong.

Suatu hari si anak menunjukkan sebuah flash disk. “Pak ayo nonton film, di flash disk ini filmnya bagus-bagus,” ajak anaknya tersebut. Tapi setelah diputar ternyata isinya film biru khusus untuk dewasa. Dalam hati Pak Priyo merasa jengkel dan ingin memarahi anaknya tersebut. Tapi ia kemudian memiliki ide dan berkata kepada si anak, “Dik bagaimana kalau adikmu yang perempuan diajak nonton juga.” Pak Priyo berharap adik perempuannya akan menasihati kakak laki-lakinya tersebut.

Tapi pucuk dicinta ulam tak tiba, ternyata adik perempuannya pun sudah pernah menonton film biru khusus untuk dewasa. “Ah kalau film semacam itu saya sudah pernah menonton sejak kelas 2 SMP,” ujar anak perempuan Pak Priyo. Tak kehabisan akal, Pak Priyo menyuruh mereka mengajak ibunya untuk menonton juga. Alhasil mereka sekeluarga menonton film biru bersama. Sang ibu sudah hendak marah-marah lagi, tapi kakinya diinjak oleh Pak Priyo agar menahan diri.

Lantas, kakak tertua mereka pulang. Sang kakak tersebut bekerja di warnet. Ia menasehati bahwa selama ini ia mengamati anak muda yang suka menonton film biru. Hasilnya mereka tak punya masa depan. Kenapa? Karena di dalam pikiran mereka hanya adegan-adegan mesum. “Kalau kalian mau sukses dalam studi dan hidup lebih baik hapus saja file-file film tersebut dari flask disk,” ujar sang kakak tertua.

Kini tiada lagi film biru baik di flash disk maupun laptop anak-anak Pak Priyo. “Intinya dalam hidup keluarga perlu keterbukaan, semua keputusan merupakan hasil berembuk/diskusi bersama. Tapi sebagai manusia, sebagai orang tua jujur saya sering merasa tak sabar dan tergoda memakai kekerasan. Kendati demikian, kekerasan tak pernah menyelesaikan masalah, semua perlu dialog,” ujar Pak Priyo.

Pada akhir paparannya Pak Priyo menyimpulkan dari aspek psikologis, “Seseorang yang kehidupan batinnya belum matang atau belum sembuh dari trauma masa lalu, cenderung menyelesaikan masalah dengan kekerasan. Jadi kehidupan batin perlu diolah sehingga dapat mencerna baik peristiwa positif maupun negatif secara memadai sebagai pelajaran untuk terus berkembang.”

Aspek Medis

Selanjutnya, Endah Marianingsih Th., S.IP, M. Kes selaku pembicara kedua membongkar kekerasan cinta 17+ dari sudut pandang medis. Beliau menyarankan para peserta sarasehan yang sebagian masih muda (terutama yang perempuan) agar kalau bergaul dengan lawan jenis yang biasa-biasa saja, jangan terlalu jauh. Sebab data dari WHO (World Health Organization), satu dari 3 perempuan rawan mengalami tindak kekerasan (Every third woman on our planet is a victim of abuse and violence).

Perawat yang spesialisasinya di bidang kesehatan reproduksi tersebut juga mengkritisi praktik mutilasi alat genital wanita. Karena akhirnya wanita hanya bisa mereproduksi anak, tanpa pernah mengalami orgasme dalam hubungan intim dengan pasangan sah.

Risiko kehamilan remaja tak luput dari pengamatannya. Ia pernah menangani kasus anak kelas 5 SD yang baru berusia 9 tahun pingsan saat pelajaran olahraga di sekolah. Lalu, anak tadi dibawa ke puskesmas tempatnya bekerja. Ternyata anak perempuan tersebut sudah hamil di atas 5 bulan.
Setelah ketahuan hamil, pihak sekolah mengeluarkannya. Jadi anak tersebut mengalami double burdens, pertama karena kehamilan yang tak diinginkan dan kedua dikeluarkan dari sekolah. Ironisnya lagi, ia juga diusir dari rumah.

Ternyata kakak iparnya yang melakukan perbuatan tercela tersebut. Karena istrinya mau melahirkan jadi tak bisa melayani kebutuhan syahwat suami. Sehingga adik ipar istrinya yang menjadi korban. Kini anak tersebut tinggal di yayasan sosial. Ia didampingi secara intensif dan bisa  melahirkan secara normal.

Kendati demikian, Bu Endah mewanti-wanti agar para peserta jangan melahirkan di usia terlalu muda. Karena saat itu rongga panggul yang belum berkembang. Selain itu, saat masih remaja, anak-anak perempuan kan suka diet untuk menjaga berat badan dan kelihatan langsing. Sehingga banyak yang mengidap anemia alias jumlah normal sel darah merah rendah. Sehingga kelak bayi yang dikandung lahir dengan berat badan rendah. “Kalau bayi lahir dengan berat badan rendah, sulit perawatannya,” ujarnya.

Dalam paparannya Bu Endah juga menayangkan foto-foto. Salah satunya korban unsave abortion atau aborsi yang tak aman. Si pelaku sampai keluar usus besarnya. Ada juga gambar-gambar penderita Cervical Cancer alias kanker cerviks, Penyakit Menular Seksual (PMS) Gonorrhea bacteria, Syphilis bacteria, dan HIV AIDS.

Sebagai kesimpulan, Bu Endah mengingatkan pada prinsip kuno yang tetap relevan, yakni lebih baik mencegah daripada mengobati. Guideline tersebut juga diadopsi oleh WHO, pemerintah, rumah sakit, puskesmas, dan masyarakat. Terakhir tapi penting, kaum perempuan berperan besar dalam perbaikan kualitas hidup bersama, ia menyitir pendapat Kofi Annan, “There is no tool for development more effective than the empowerment of women.”

Ulasan dari Pak Priyo dan Bu Endah dari aspek psikologi dan medis sangatlah berbobot. Agar tidak terlalu over load, panitia memberikan waktu untuk rehat sejenak. Peserta bisa mencerna materi tadi sembari menikmati snack dan minuman yang telah disediakan. Mulai dari teh, kopi, martabak, lemper, hingga kue bolu. Sedangkan bagi peserta yang menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan, panitia telah menyediakan bungkusan untuk dibawa pulang bekal berbuka nanti.

Di sela-sela acara penulis sempat mewawancarai Roni Dwi Agus Sulistyo selaku wakil ketua panitia. Menurut beliau, acara sarasehan ini rutin diadakan setiap bulan Juli. Tujuannya untuk memperkenalkan spiritualitas Ignasian kepada generasi muda dan khalayak ramai. “Tahun ini peminatnya banyak sekali hampir 300 orang karena mungkin temanya menarik, ada kata cinta dan 17+, jadi banyak mahasiswa dan orang umum yang datang.”

Telinga Besar

Pada sesi kedua, Mutiara Andalas S.J membongkar kekerasan cinta 17+ dari sudut pandang spiritualitas Ignasian. Secara khusus, ia menyoroti ancaman kekerasan seksual lewat media sosial seperti Facebook, Twitter, Yahoo Messenger, dll. Menurut pengamatannya, percakapan antarpeselancar di media sosial berlangsung relatif cepat. Sehingga pengguna (user) merasa kekurangan waktu untuk menelusuri dan berkeliling melihat masalah secara menyeluruh. Alhasil, kesempatan untuk menimbang perkara relatif terbatas.

Padahal perkara pelik semacam kekerasan cinta di media sosial berat dan butuh waktu relatif lama untuk menimbang-nimbang sebelum mengambil keputusan. “Silakan menonton film Trust di Youtube jika kalian tak ada acara di malam minggu nanti, isinya mengungkapkan contoh konkret bahaya kekerasan sosial di dunia maya,” ujarnya.

Di sisi lain, Mutiara Andalas juga mengkritisi pengharaman media sosial oleh ormas atau majelis agama. Karena itu sama sekali tak menyelesaikan masalah dari akarnya. Begitu pula kebijakan Kementerian Informasi dan Komunikasi yang memblokir situs-situs berbau pornografi. Kenapa? Karena pengharaman dan pemblokiran tak efektif penerapannya di lapangan.

Dalam konteks ini softskill pembedaan roh (discernment of the spirits) yang dipopulerkan St. Ignasius Loyola menemukan relevansinya. Analogi pendiri ordo Jesuit tersebut sangat mudah dicerna, walau memang cenderung mengandung stereotip bagi aktivis sosial yang berperspektif keadilan gender. Menurut St. Igansius, roh jahat itu seperti perempuan yang lemah ketika kita melawannya dan garang ketika kita mendiamkannya. Pada saat yang sama, roh jahat itu juga seperti lelaki hidung belang yang menyembunyikan kejahatan-kejahatannya dengan tipu muslihat.

Sebagai kesimpulan, Mutiara Andalas mengatakan bahwa selain melihat gerakan-gerakan batin dalam diri sendiri, kita bisa menangkap gerakan-gerakan batin dalam batin orang lain. Sehingga dapat mengantisipasi terjadinya kekerasan berkedok cinta dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam interaksi di media sosial. “Milikilah telinga yang besar, dalam arti kesediaan untuk mendengarkan demi menjaga keharmonisan hubungan dengan diri sendiri dan orang lain,” pungkasnya.



Sumber Foto: Dok. Pri

Juli 25, 2013

Dari A sampai Z ihwal Meresensi Buku

Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Jumat/26 Juli 2013

Judul        : Berguru Pada Pesohor, Panduan Wajib Menulis Resensi Buku
Penulis      : Diana AV Sasa dan Muhidin M Dahlan
Penerbit    : d:buku dan I:BOEKOE
Cetakan    : II/2012
Tebal        : xii + 265 halaman
ISBN        : 978-602-98997-0-2
Harga        : Rp60.000

Profesi sebagai penulis buku sudah menjadi jamak di jagat literasi. Tapi profesi sebagai resensor alias peresensi buku belum begitu banyak dijajaki. Padahal menurut buku ini, selain mengabadikan kenangan fana tentang isi buku yang telah dibaca, ketekunan meresensi buku ternyata juga dapat memberi keuntungan materi.

Beberapa media massa lokal dan nasional mengganjar resensi buku yang dimuatnya dengan puluhan, ratusan dan bahkan jutaan rupiah. Bahkan sudah jadi rahasia umum bahwa beberapa penerbit terkemuka pun siap memberi tambahan honorarium dan kiriman buku-buku terbaru sebagai apresiasi bagi para resensor (halaman 5).

Buku ini lebih merupakan sharing pengalaman dari kedua penulis. Isinya memuat filosofi dan kiat jitu meresensi buku di media massa. Tatkala Diana AV Sasa dan Muhidin M Dahlan berjalan-jalan menyusuri deretan rak perpustakaan, buku yang mengulas resensi secara mendalam masih minim. Kebanyakan topik “resensi buku” hanya jadi sub bab dalam sebuah buku panduan menulis artikel dan esai.

Menurut penulis, secara epistemilogis istilah resensi berasal dari bahasa Latin “recensere”. Artinya melihat kembali, menimbang, dan menilai sesuatu. Oleh sebab itu, resensi sinonim dengan catatan yang ditorehkan dari usaha intelektual seorang pembaca guna mengomentari buku yang telah rampung dibaca. Kendati demikian, kini seiring perkembangan zaman, resensi juga menjadi cara sistematis untuk memetakan jalan pikiran (mind mapping).

Lantas dari aspek keilmuan, meresensi juga merupakan latihan paling dasar sebelum menulis buku. Kenapa? Sebab dengan semakin sering membaca dan meresensi, resensor tahu pasti bagaimana sebuah buku diracik. Mulai dari membuat judul, menentukan tema, mengolah data menjadi kata, kalimat, paragraf, bab, hingga tahap desain, dan pemasaran buku. Goenawan Mohammad, Rosihan Anwar, Remy Sylado dulu pun suka sekali meresensi buku.

Syarat utama menjadi peresensi ialah rajin membaca. Dalam arti betah memelototi halaman dan lembaran buku. Perbandingan aktivitas membaca dan menulis kisarannya 90% : 10%. Sembilan puluh persen itu termasuk juga kerja meriset. Ironisnya, kini ada segelintir peresensi yang “hobi” mencari jalan pintas dan sekadar copy paste dari blog orang lain. Barangkali resensi tersebut berhasil dimuat di media massa tertentu, tapi yang jelas kata hati nuraninya menjerit, “Saya tak membaca sendiri buku itu!” (halaman 13).

Lewat buku ini, penulis juga mengingatkan bahwa membaca untuk meresensi dan membaca sekadar demi mengisi waktu luang (leisure time) berbeda 180 derajat. Seorang peresensi merupakan gabungan antara pelancong dan detektif. Ia boleh mengagumi panorama sebuah buku, tapi sekaligus siap mengkritisi setiap detail isi buku yang mengantongi catatan kriminal berat, yakni antara lain berupa penjiplakan, pemuatan data palsu, kesaksian bohong, dan pencemaran nama baik.

Sistematikanya, “Berguru Pada Pesohor, Panduan Wajib Menulis Resensi Buku” terdiri atas 14 bagian. Analoginya unik, resensi itu ternyata ibarat rumah. Judul ialah plang alamat, alinea pertama identik dengan halaman depan, tubuh resensi ibarat kamar-kamar dan dapur, kemudian alinea penutup merupakan taman halaman belakang.

Dalam proses menulis alinea pamungkas misalnya, apakah halaman belakang rumah perlu ditata secara saksama? Bagi yang tahu arti kesehatan dan relatif berselera artistik, tentu menjawab ya. Ibarat hunian, halaman belakang ialah batas akhir dari sebuah rumah. Menurut penulis, pilihannya ada 2, hendak diberi taman kecil atau tembok kosong kaku begitu saja. Komposisi meletakkan barang juga perlu dipertimbangkan secara cermat agar tak tampak seperti gudang pembuangan anak tuyul (halaman 183).

Pada setiap topik bahasan, penulis senantiasa menyajikan contoh resensi buku yang bertebaran di media massa. Rentang waktunya seabad lebih, yakni sejak 1901-2010. Salah satunya, “Resensi Pembunuh Buku” karya S.I.Poeradisatra yang berjudul “Dari Barat, atau Islam?” (1978). Saat itu, Prof. R. Slamet Imam Santoso terpaksa mengirim surat kepada kepala proyek Pengadaan Buku Departemen P & K. Beliau mengecam cara kerja panitia pengadaan buku “Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan” (1977). Lantas, Prof. Slamet meminta agar rekomendasi untuk bukunya dicabut.

Buku ini juga melampirkan daftar 39 media massa (Koran, Majalah, Radio, dan TV) yang menyediakan ruang kreasi bagi para peresensi buku. Tak lupa penulis mencantumkan alamat e-mail redaksi, nomor telepon, nominal besaran honor, dan nama kolom/program.

Buku setebal 265 halaman ini layak dibaca oleh para akademisi, pecinta buku, dan siapa saja yang hendak belajar serius meresensi buku. Sebab menyitir pendapat Soebagio Sastrawardojo, “Buku seharusnya mengingatkan kita pada langit dan mega, kepada kisah dan keabadian…” Selamat membaca dan meresensi buku!

1374811750990552251

Juli 22, 2013

Mengabadikan Kehidupan lewat Rangkaian Puisi, Liputan Acara Mengenang 7 Hari Meninggalnya Hari Leo AER

Dimuat di Majalah Pendidikan Online Indonesia, Senin/22 Juli 2013
http://mjeducation.co/mengabadikan-kehidupan-lewat-rangkaian-puisi-liputan-acara-mengenang-7-hari-meninggalnya-hari-leo-aer/


“Lewat angin dan musim
Aku mengenangmu dengan sepenuh rindu
Lewat angin dan musim
Aku menyapamu dengan sepenuh haru
Lewat angin dan musim
Aku baca petuahmu yang satu
Lewat angin dan musim
Aku berkaca kepada jiwamu yang batu
Lewat angin dan musim
Aku gambar adamu
Dalam diri yang kaku…”

Begitulah petikan puisi Hari Leo AER yang terpampang sebagai latar belakang panggung Kampayo XT Square, Jln. Veteran, Yogyakarta. Kamis malam (18/7/2013) itu, penulis tiba di lokasi pukul 20.00 WIB. Ternyata ratusan pecinta seni dan budaya di kota Gudeg sudah berkumpul untuk mengenang 7 hari meninggalnya sastrawan, pencipta puisi, dan penulis naskah drama kondang tersebut. Pria kelahiran 3 Agustus 1960  itu tutup usia pada Kamis malam (12/7/2013) pukul 00.30 WIB silam di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta karena penyakit diabetes.


Tepat pukul 20.30 WIB Master of Ceremony (MC) menyapa ramah seluruh penonton yang duduk lesehan dan di bangku-bangku taman. Acara memang berlangsung informal di luar ruangan (outdoor). Ichsan Zulkarnain dan Yuli Kurnia berduet memandu jalannya acara. Sebelumnya, MC mengajak seluruh hadirin berdiri khidmat dan berdoa bersama agar arwah almarhum Hari Leo AER diterima di sisi-Nya. Setelah itu, sembari membacakan siapa saja para pengisi acara yang akan tampil, mereka juga mempersilakan para tamu untuk menikmati minuman dan camilan ala kadarnya, seperti wedang jahe, teh hangat, ubi rebus, kacang rebus, martabak, cemplon, dll

Risandi kelompok musik yang digawangi para generasi muda menjadi penampil pertama.  Ketujuh personilnya mengapresiasi karya almarhum Hari Leo AER lewat musikalisasi puisi. “Kami adalah anak-anak didik dari Pakde Leo, begitu kami biasa memanggil beliau. Pakde Leo seorang guru bagi kami dalam bermusik dan bersastra. Bulan lalu pun kami masih bermain bersama beliau dalam “Lelaki Bermata Api” lewat iringan orkestra,” ujar seorang personel Risandi.


Puisi Hari Leo yang dimusikalisasikan oleh Risandi berjudul “Ingin Kudengarkan.” Berikut ini petikan liriknya:

Ada jejak tapak kaki
Ada tetesan keringat
Dan ada percikan darah
Yang pernah kau lewati…

Petikan gitar, alunan accordion, tabuhan kahoon, dan irama  keyboard mengiringi sajak-sajak puitis yang pernah ditorehkan almarhum di atas secarik kertas tersebut.

“Kepergian Mas Hari Leo yang tiba-tiba masih menyisakan duka mendalam. Dulu almarhum juga suka ngangkring di XT Square ini,” ujar Hasto selaku tuan rumah. Ia juga berharap agar QT Square bisa menjadi tempat berkesenian dan berekspresi kaum muda demi keistimewaan Yogyakarta seperti yang dicita-citakan oleh mendiang Hari Leo.

Setelah sambutan singkat dari manajemen QT Square tersebut,  Risandi langsung memainkan repertoire musikalisasi puisi yang kedua, judulnya “Ayah”. Berikut ini petikan puisi Hari Leo tersebut:
Nada-nada indah dalam simponiku
Api dalam jiwa yang terus menyala
Tiada henti
Ayah aku mengenangmu dengan seribu rindu…


Dian Anggraeni, seorang sahabat almarhum turut menyampaikan testimoninya. “Walau kini fisik beliau sudah tidak ada, tapi karya-karyanya tetap ada,” ujar mantan pengurus Taman Budaya Yogyakarta (TBY) tersebut. Dulu, Dian mengaku sering bertemu Hari Leo di TBY. Karena TBY merupakan tempat untuk berkumpulnya para sastrawan dari dalam maupun luar daerah Yogyakarta, terutama dalam program Bincang-Bincang Sastra (BBS).

“Semoga ke depannya, sastra kian mendapat prioritas dalam program-program budaya. Saya senang sekali ada tempat baru seperti di QT Square ini. Sebab peristiwa-peristiwa budaya merupakan identitas yang khas dari Yogyakarta,” imbuhnya lagi.

“Konon orang yang suka menulis puisi itu awet muda, ternyata yang awet muda itu karya puisinya, sedangkan penulisnya tak demikian,” begitulah prolog dari testimoni Hamdy Salad untuk mengenang Hari Leo. Lantas sastrawan yang merupakan sahabat karib almarhum tersebut membacakan puisi almarhum yang dimuat di Koran Merapi edisi 14 Juli 2013. Menurut redakturnya, puisi tersebut didapat dari HP Hari Leo, tapi belum ada judulnya. Berikut ini petikannya:

Pada titik kerinduan
Aku bersujud pada-Mu
ku lihat linangan air mata…

Ternyata acara mengenang 7 hari meninggalnya Hari Leo malam itu juga disiarkan secara langsung oleh Radio Buku di radiobuku.com dan streaming se-Asia. “Sehingga teman-teman pecinta karya-karya Hari Leo di Singapura, Malaysia, Klaten, dll bisa turut menyimak,” ujar Ichsan Zulkarnain selaku MC.


Persembahan dari Hendra Buana dan Saron Song tak kalah menarik dari sajian-sajian sebelumnya. Pelukis dan pemain saron itu berkolaborasi mengenang Hari Leo dengan melukis bebas (free painting) di atas kanvas diiringi dentingan suara saron.

Suasana kian semarak takala Jemek Supardi turut berimprovisasi lewat gerakan-gerakan tanpa kata alias pantominnya. Jemek membawa lilin besar yang menyala. Ia mengenakan pakaian serba putih dari kantong goni. Di akhir atraksi malam itu, ia meniup nyala lilin tadi hingga padam. Bisa jadi sebagai perumpamaan kepergian Hari Leo kembali ke alam baka.

Edo Cahyono, seorang sahabat almarhum lainnya berbagi secuil kisah juga. Ia pertama kali berkenalan dengan Hari Leo pada 1987. Saat itu, Edo masih tergabung dalam kelompok Ketoprak Teater Getih Budoyo. Menurutnya ada kebiasaan kecil yang jarang diketahui orang. “Mas Hari Leo itu selalu membawa 6 seruling bambu di dalam bagasi vespanya,” ujarnya.

Edo menambahkan bahwa cita-cita almarhum sangat sederhana tapi mulia, yakni agar para seniman bisa berkesenian tanpa padu (berkelahi). “Yang penting kita bisa terus bekerja dan senang,” imbuhnya lagi. Di akhir testimoninya, Edo membacakan selarik sajak:
Pagi di Parangtritis
Ada dua arti kekalahan
Dari sebuah pertempuran  

Selanjutnya, kembali perwakilan dari generasi muda yang tampil membawakan musikalisasi puisi karya Hari Leo. Di awal penampilannya, Doni Suwung bercerita ihwal pertemuan pertamanya dengan almarhum, yakni pada tahun 1995-1996 dalam Konser Puisi Indonesia.


Lantas, pertemuan terakhirnya dengan Hari Leo beberapa waktu lalu. Saat itu, mereka bersua di Taman Budaya Yogyakarta, Hari Leo bertanya kepadanya, “Don kowe lagi garap opo? Lampu reting motormu opo iseh murup?” Pasca bertanya begitu, Hari Leo meninggalkannya, tapi kemudian membalikkan badan setelah melangkah kira-kira 10 meter dan berkata, “Don sik yo.” Sembari melambaikan tangannya. “Ternyata itu merupakan lambaian tangan terakhir,” ujar Doni dengan suara bergetar. Doni membawakan puisi “Bulan Datang” dengan iringan gitar.

Malam terus merambat kian larut, udara dingin menembus kulit, kendati demikian tak menyurutkan para penonton dan pengisi acara untuk undur diri. Selanjutnya, Untung Basuki dan Sanggar Sabu mengenang Hari Leo lewat dua persembahan musikalisasi puisi, yakni “Yang Di Aceh” karya Angger Jati dan sebuah puisi dari antologi “Menggambar Angin”. Berikut ini petikan liriknya:
Simpan amarah
Detak jantung ini adalah isyarat
Cinta kasih yang amat dalam


Broto Seno, seorang sahabat almarhum turut berbagi testimoni. Ia mengaku sebagai orang kalah, setelah 10 tahun belajar seni secara literer Broto memilih keluar dari dunia seni. “Puisi itu tak bisa untuk hidup, tapi bagi Hari Leo saya yakin syair-syair beliau telah lama membukakan pintu surga” ujarnya. Broto Seno kini menjadi Komandan Tim SAR DIY (Search and Rescue) Daerah Istimewa Yogyakarta. Menurutnya ada dua ciri khas keistimewaan Yogyakarta, yakni semangat seni budaya dan kerelawanan.

Lalu agar identitas keistimewaan tersebut tetap terjaga, pemerintah harus mendukung lewat subsidi. “Katakan saja di DIY ada 5 surat kabar, setiap minggu mereka memuat rubrik puisi. Bagi para sastrawan yang karyanya tembus media tersebut tinggal membawa bukti kliping ke kantor Pemda/Pemkab setempat untuk mendapat subsidi Rp1 juta,” ujarnya dengan mantap.

“Kalau setahun ada 52 minggu, maka subsidi yang dibutuhkan hanya Rp 5 juta kali 52, totalnya Rp 260 juta untuk mengapresiasi karya para sastrawan. Ini bukan sekadar masalah uang tapi bagaimana mendidik pemerintah agar juga merawat identitas Yogyakarta sebagai kota budaya,” imbuhnya lagi. Gagasan tersebut merupakan dialog terakhir dengan salah satu penulis puisi dan naskah drama tersebut. Almarhum juga sangat setuju. “Bener juga kowe yo,” ujar Broto menirukan Hari Leo.


Nuansa Kejawen menambah semarak acara malam itu, Bambang Nur Singgih S.Sn mengiringi kepergian Hari Leo lewat tembang geguritan. Karena penulis tak begitu paham bahasa Jawa, istri turut membantu menuliskan. Berikut ini petikannya:
Puluh-puluh dadi rong puluh
Sumitro kang legowo selehne lakumu
Sugeng tindak lan mugi rahayu
Manunggaling Gusti…

Sebagai gong penutup, Anterock menggebrak dengan hentakan musik rock. Puisi-puisi Hari Leo diekspresikan lewat aliran musik cadas tersebut. Menurut sang vokalis Wendy HS, “Almarhum melakukannya agar generasi muda jadi lebih tertarik pada puisi. Selain itu, agar puisi bisa dinikmati oleh segmen yang baru.”


Ada  3 puisi yang dibawakan malam itu, semuanya karya Hari Leo, yakni “Menangisi Waktu”, “Nyanyi Sunyi”,  dan “Air Mata Darah.” Berikut ini petikan dari tembang yang pertama:
Usia lewat tak bisa bicara apa-apa
Tapaknya pun tak meninggalkan jejak
Aroma tanah basah
Bumi yang diinjak-injaknya

Selamat jalan Hari Leo, semoga makin bahagia di alam sana dalam pelukan kasih-Nya. Ibarat kata pepatah, harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, dan manusia mati meninggalkan karya. Menyitir pendapat Dian Anggraeni, “Walau kini fisik almarhum sudah tidak ada lagi, tapi karya-karya puisi beliau tetap abadi.”

Sumber Foto: Dok. Pri

Juli 18, 2013

Sowing the Seeds of Hope From the Classrooms

Published at The Bali Times on 19-25 July 2013

Farel, Juan, Pandya, Amabel, and Tita were still 5-6 years old (July 2013). However, two thumbs should be given for those five students of Kelas Persiapan (Preparation Group) in Mata Air Education Foundation, Yogyakarta. Why? Cause they have learned to share since early childhood.

After following extracurricular English lessons every Friday morning, they ate their lunch. Some brings broccoli, strawberries, pancakes, and a packet of biscuits. Previously, Bunda Siska, their teacher invited all students to pray together in order to give thanks to God for good fortune granted that day.

Next, in order to enjoy better the fine launch of some various flavors, they shared with each other. As the result, all children can eat some fruits, vegetables, and snacks. That togetherness moment was wonderful. Through the simple experience, significant of social life and a sense of solidarity can be felt. Based on the research, at the age of golden years (5-12 years), the learning manners is so important. Therefore, it would become a habit until they grow up.

Moreover, according to Anand Krishna Ph.D., an example of the best education in the world is Finland. There are 4 primary principles, namely Quality, Efficiency, Equality and Internationalization (source: www.edu.fi). In this context, the willingness to share their food with fellow classmates is a concrete practice of compassion and empathy.

In addition, the concept of cura personalist was based on the belief that every child is unique. God is too creative to create two human beings in exactly the same. Therefore, a personalized approach to each individual is significant.

It is the reason in that kindergarten classroom there are only 10 students at maximum. Therefore, the teachers can assist their students well. Moreover, the interaction between the educator and the student is dialogal. For instance, when discussing the subject of the world fauna. The pupils freely propose the animal’s species they want to learn about. Then, the teacher must find the references.

Another uniqueness process of learning lies in the exploration phase. When discussing about the airplanes, it not merely a theory, but they also learn to make some crafts of aircraft miniature. However, no need to buy the new one at the store; they take advantage of recycled papers. Therefore, since early childhood the students were concerned about their nature environment.

Multiple Intelligence

During this digital period there is a myth that smart student is the one who good at arithmetic and mathematics. Later, while in high school/university level, the student must go to science class/faculty. Though, at least there as 7 other intelligences which are not less important. In this context, I agree with the thesis of Prof. Howard Gardner. He explained in detail in the Theory of Multiple Intelligence (1983).

First, visual intelligence. Student can easily imagine various shapes and space in their mind. He/she has a strong imagination. Second, kinesthetic intelligence. Student can easily express feelings or ideas through movement. Generally, he/she has the athletic body as the result of diligently moving and exercising.

Third, musical intelligence. Mozart, Bach, Beethoven, Adjie MS, Erwin Gutawa, Djaduk Ferianto, etc.. They are all good at combining various sounds into a beautiful harmony. The students who have this kind of ability fits to be composer, musician and conductor in musical performances.

Fourth, social intelligence (interpersonal). The students have ability to understand the feelings, character, and nature of others person. He/she who has this kind of ability can easily establish relationships with his/her friends. This type of capability is very important for socialization. Fifth, intrapersonal intelligence. The students have ability to adapt with his/herself. He/she is easy to control him/herself. This type tends to be quiet, meditative, reflective, and able talk to the inner self. Usually they prefer to be alone rather than mingle in the group.

Sixth, environmental intelligence (naturalist). The student have the ability to recognize and understand the surrounding environment. He/she have a tendency to love some activities, such as farming, camping, and observing the flora/fauna in the nature. Seventh, existential intelligence. It concerns with the fundamental question of human beings. The students who have this intelligence tend to wonder about his/herself. Before I was born, where was I? What is the purpose of my life? What happens after the death comes? In Javanese tradition, it is called Sangkan Paraning Dumadi.

Observing the intelligence of every student, the teachers/lecturers must explore a variety of those intelligences above. Therefore, the students can apply the appropriate approach in the learning process. As a result, learning becomes easier, more fun, and effective.

Waldwoche

A little sharing, I had became a facilitator while some kindergarten students visiting (School of Nature) Angon http://www.angon.org/, Mustokorejo, Sleman, Yogyakarta. One of the most unique agenda was purple yam harvest activity.

Imagine children aged 4-7 years old are getting around a piece of land. They found the sweet potato crop in the garden. Because of the fairly blazing sun shone, they must wear caping to protect the head. They look like a group of young farmers.

In my humble opinion, loving nature should be instilled from the early age. Moreover, it is not only through preaching and theory, but through practice on the field immediately.

The lesson’s theme is about change. Therefore, I described a lung of the purple yam need 4 months (120 days) at the minimum before it can be consumed by the human being. Moreover, there are some phases in the harvest process. First, clean up the area of the garden from the dry leaves and twigs. Second, prepare a small hoe. Third, start digging slowly.

In order to facilitate that process, the children were grouped. Each group was consisted of 4 members so that they learn to work together at the same time. Interestingly, when there is a child who has not got a purple yam, other group members should help him/her. The entire harvest crops were collected in a special bucket. They may bring all purple yams home to be fried or boiled.

At the reflection session, I informed further about the benefit those purple sweet potatoes. Apparently, the crops are cultivated by the upland farmers in the cool air. It can be also made into the ice cream.

Bu Bety Nursahati form Salatiga is the founder. The purple yams are rich of nutrients, such as protein, carbohydrates, calories, calcium, phosphorus, iron, and beta carotene. In addition, purple yam ice cream is very natural. Why? Because it does not contain preservatives, so it is safe for the consumption of all children and adults.

According to Hennie Triana Obert – the mother of a daughter who had settled in Germany – the kids really need get this kind of Waldwoche lesson. Wald means “forest”, while Woche is synonymous with the holiday.

In Germany, usually every town has a small park or a protected forest. Every weekend, the kids can spend their time in the outdoors observing animals and a variety of flora. They are also accompanied by competent and dedicated teachers.

Character Based

A father told to Rhenald Kasali about his strange experience. The father had protested the school in the United States. Why? Because the teacher scores the English essay of his children with an E (Excellence) means perfect, great!

His son had just arrived in that land of Uncle Sam. He was just beginning to learn English. “My son’s essay is verbally very limited. I think his writing was bad, the logic is too simple. I asked him to fix it back, but he tends to gave up,” the father said. Then my son submitted the essay to his teacher.

However, instead of given a bad score, the teacher even praised. Interestingly, when he protested to the school, the teacher asked that father, “Sorry Sir where are you from?” “From Indonesia,” the father answered.

The teacher smiled in an angelic way. That meeting become the turning point for the father in educate his son. “I understand,” the teacher replied. “Several times I met the parents of some children studying in Indonesia,” the teacher continued.

The teacher explained the philosophy, “In your country, the teacher is very difficult to rate. However, our educational philosophy here is not to punish, but rather to stimulate students to be advanced. The term is cool: Encouragement!”

“I have 20 years experience of teaching. Your son is special. He just arrived from country abroad which the native language is not English. I can guarantee that is a great work,” the teacher added. From this discussion, the father learned a valuable lesson. People cannot measure the achievements of others in his/her personal size.

In this context, the teachers in America are eager in advancing their students. No wonder in the future, the students can become famous authors, genuine researchers, great novelists, talented musician, etc. Moreover, they can win the Nobel Prize. It is not because they have teachers who are academically smart, but their teacher is very strong in character, the character of a builder, not a destroyer.

We are the educators in Indonesia must learn from the story above. There is no great person was born from the womb of fear. Moreover, the new findings in brain science suggest that the human mind is not in static mood. The brain glands can shrink, in the opposite it can grow, thrive, and bloom.

Last but not least, let’s encourage change, not a threat. Education process must be freed from – borrowing a phrase from Paulo Freire – alienation. It’s the right time to sow the seeds of hope from our classrooms. Happy teaching!

Writer can be contacted via nugroho.angkasa@gmail.com