http://sejarah.kompasiana.com/2011/04/06/gerakan-pelopor-perubahan/
Hingga artikel ini ditulis Anand Krishna masih melakukan aksi mogok makan. Ia memprotes keputusan Hari Sasangka yang mengeluarkan Surat Penetapan Penahanan pada Rabu (9/3) silam di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Keputusan Hakim Ketua tersebut dinilai melanggar KUHP dan kode etik seorang hakim.
Senada dengan pendapat pengacara senior Adnan Buyung Nasution, “Sudah 50 tahun saya bergelut di bidang hukum. Baru kali ini saya ketemu yang seperti ini, ada hakim yang menempatkan orang dalam posisi bersalah sebelum menjatuhkan putusan resmi pengadilan.” (Kompas.com, 24/3/2011).
Lebih lanjut, mekanisme mogok makan dapat dilakukan sebagai salah satu bentuk perjuangan, baik untuk memprotes ketidakadilan maupun untuk mempertahankan sesuatu yang diyakini, dengan jalan damai (Wisnu Dewabrata, Kompas, 19/1/2006).
Secara lebih mendalam, perjuangan tanpa kekerasan (ahimsa) tersebut bukan sekedar mencari sensasi, melainkan untuk mendorong perubahan sosial. Kebanyakan pelakunya menerima cairan atau minuman, tetapi menolak makanan yang solid.
Kini pendiri Yayasan Anand Ashram (berafiliasi dengan PBB, 2006) itu mendekam di LP Cipinang. Peristiwa langka ini menyedot perhatian publik, baik dari dalam maupun luar negeri. Sebab durasinya tak sebentar, sudah sebulan tak sebulir nasipun masuk ke perut penulis 140 buku tersebut.
Mahatma Gandhi saja selama mempraksiskan Satyagraha dengan metode mogok makan di India (1922, 1930, 1933, dan 1942) pada masa pemerintahan kolonial Inggris tak pernah sekalipun melebihi waktu 3 minggu.
Awalnya cara protes menuntut keadilan ini ditemukan di Irlandia. Yakni pada masa pra-Kristen. Lazimnya disebut Troscad atau Cealachan. Aksi mogok makan acapkali digelar di depan pintu rumah si pelanggarnya.
Hal ini terkait dengan budaya masyarakat setempat. Membiarkan seseorang mati di dalam atau di depan rumah karena kesalahan yang dituduhkan, dianggap sebagai sesuatu yang sangat memalukan.
Disintegrasi
Tak bisa dipungkiri Republik ini berada diambang jurang disintegrasi. Konflik horisontal meregangkan perekat sendi kehidupan berbangsa. Masyarakat majemuk yang seyogianya hidup berdampingan dalam sikap saling apresiatif sesuai falsafah adiluhung “Bhinneka Tunggal Ika,” kini justru terjadi saling curiga karena sentimen berbau sektarian dan primordial.
Rentetan bencana alam yang bertubi-tubi mendera kita tak kunjung menyadarkan segenap anak bangsa yang bernaung di bawah - meminjam istilah Sawung Jabo - Langit Merah Putih. Bahkan tatkala terjadi erupsi dahsyat Merapi, masih saja ada kelompok (baca: FPI) yang melakukan sweeping di Candi Ganjuran dan Wisma Warak DIY. Pengungsi yang berbeda kolom agama di KTP-nya dipaksa pindah. Padahal tak ada motivasi lain (baca: kristenisasi), semata tergerak oleh nurani kemanusiaan dan solidaritas bagi para korban.
Menurut Anthony Giddens (The Third Way, 1998) ada 3 pilar utama yang menyangga sebuah ruang publik. Yakni negara, swasta, dan masyarakat madani (civil society). Pada hemat penulis, apabila ketiga soko guru tersebut bersinergi secara optimal, niscaya terbangun rumah bersama Indonesia. Tempat berteduh yang nyaman bagi segenap putra-putri Ibu Pertiwi.
Ironisnya, lembaga peradilan sebagai salah satu alat negara untuk menjamin kepastian hukum, kini justru tersandera oleh mafia hukum dan makelar kasus. Akar masalahnya ialah perselingkuhan antara segelintir anggota korps pengetuk palu di meja hijau itu dengan kaum pemodal. Akibatnya, rakyat kecil kian termarginalkan saja.
Semisal kisah Rio, bocah yang terjepit eskalator sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta. Pihak Mall terbebas dari segala tuntutan dalam proses persidangan. Kini justru sang paman yang terancam dibui karena dianggap lalai menjaga keponakannya tersebut.
Penulis sempat menanyakan hal ini kepada para murid di kelas. Sekedar ingin mengetahui bagaimana mereka merespon isu aktual yang ada di masyarakat. Jawaban mereka yang mayoritas berusia 12 tahun itu singkat tapi mendalam, “Sungguh tidak adil!”
Kasus Anand dan Rio menjadi salah 2 contoh, betapa lembaga peradilan yang alasan eksistensinya untuk memfasilitasi rakyat mencecap rasa keadilan telah abai mengemban raison d’etre-nya tersebut.
Ibarat sebuah korporasi, lembaga peradilan sekedar menjalankan (per)usaha(an)nya. Begitu kental atmosfer budaya feodal. Sibuk menjilat (pantat) yang berkuasa dan menginjak kaum tertindas.
Secara lebih luas, negara pun gagal menata kehidupan berbangsa. Negara tak lagi berpihak kepada kepentingan nasional. Pemerintah cenderung didikte oleh kepentingan kelompok the have (berpunya dan berkuasa). Rakyat diperlukan saat menjelang Pemilu saja.
Mentalitas ini tercermin dalam bentuk salah urus (missmanagement) ruang publik. Korupsi merajalela, pembiaran aksi kekerasan yang dilakukan kelompok radikal, satgas mafia hukum melempem, dan kerusakan 325.350 spesies flora-fauna keanekaragaman hayati (biodiversities) yang notabene merupakan peringkat no.2 di dunia setelah Brasil.
Hal ini diperparah oleh kecenderungan global yang takluk pada kekuatan modal dan senjata. 80 persen kekayaan dunia dinikmati oleh 20 persen orang (tepatnya 14 keluarga). Sedangkan, rakyat memperebutkan 20 persen remah sisanya. Kaum miskin, lemah, dan tertindas kian menderita. Muaranya ialah disintegrasi dan degradasi nilai kemanusiaan.
Rakyat tidak diperlakukan sebagai manusia yang bermartabat dan layak dibela. Akibatnya, mereka mencari jalan dan cara untuk mengekspresikan diri di dalam pusaran disintegrasi dengan melakukan aksi mogok makan demi menuntut keadilan.
Pelopor Perubahan
Fritjof Capra dalam buku The Turning Point: Science, Society, and the Rising Culture (1982) menulis bahwa sejarah peradaban manusia senantiasa mengalami dinamika pasang-surut. Dalam bahaya kehancuran total dan kerusakan berskala masif, kebudayaan manusia terselamatkan oleh suatu kelompok. Lazimnya disebut kelompok pelopor perubahan.
Sekelompok kecil orang yang titen alias peka membaca tanda-tanda zaman ini berhasil mentransformasi ancaman disintegrasi dan degradasi nilai kemanusiaan menjadi peluang untuk bangkit, bergerak, dan berjuang membangun masa depan bersama yang lebih gemilang.
Dalam konteks ini, kita dapat menempatkan aksi mogok makan Anand Krishna sebagai bagian tak terpisahkan dari seluruh bangsa Indonesia. Ia berperan sebagai pelopor perubahan bagi republik ini.
Gerakan Anand memang tak seberapa dalam konteks seluruh negara bangsa. Namun, tindakannya niscaya membentuk opini publik. Keadilan bagi rakyat, terutama yang miskin, lemah, dan tertindas, memang musti terus-menerus diperjuangkan di bumi Nusantara tercinta ini.
Meski tampaknya tak akan didengar oleh penguasa dan penentu kebijakan publik, aksi mogok makan Anand demi tegaknya keadilan akan dicatat dalam sejarah. Yakni sebagai seruan kelompok pelopor perubahan.
Kita masing mengingat keberanian 42 orang anggota SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi) yang ditangkap tatkala melakukan aksi puasa mogok makan di halaman Gedung YLBHI pada 7 Juli 1994 silam.
Padahal saat itu rezim Orde Baru begitu represif terhadap kelompok yang vokal. Para aktivis muda tersebut memprotes pembredelan terhadap Tempo, Editor, dan Detik.
Akhir kata, adakah kepekaan lebih luas yang menyambut gayung aksi tanpa kekerasan Anand Krishna menjadi gerakan pelopor perubahan demi masa depan bangsa yang lebih adil dan manusiawi? Jawabannya ada pada kita semua sebagai sebuah bangsa. Sekarang atau tidak sama sekali. Indonesia Jaya!
Berikan dukungan Anda bagi tegaknya Keadilan di Bumi Pertiwi:
http://freeanandkrishna.com/
Terimakasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar