http://filsafat.kompasiana.com/2011/04/17/mogok-makan-haram/
Saya bertanya-tanya kenapa aksi mogok makan Anand Krishna dipandang sebelah mata. Padahal sudah memasuki hari ke-40 (9 Maret-17 April 2011). Menurut sahabat yang menjenguk, wajahnya kini sepucat kertas, tak mampu membuka mata apalagi bersuara. Sering mual dan pusing pula. Selain itu, Anand acapkali merasakan perih di bagian tukak lambungnya.
Dalam sejarah, Mahatma Gandhi tak pernah melebihi 3 minggu saat mogok makan pada masa pemerintahan kolonial Inggris di India. Bahkan Yesus juga pernah melakukan puasa selama 40 hari di padang gurun sebelum memulai misinya di daerah Galilea. Peristiwa itu yang diperingati seluruh umat Katolik di pelbagai penjuru dunia sejak Rabu Abu hingga Minggu Palma.
Haram?
Ternyata Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Medan pernah menyatakan aksi mogok makan tidak dibenarkan dalam ajaran Islam alias diharamkan. Sekretaris MUI Kota Medan, Hasan Natsum, pada 21 Agustus 2009 mengatakan, “Aksi mogok makan yang umumnya dilakukan para pengunjuk rasa ketika menyampaikan tuntutannya diharamkan, karena merupakan perbuatan menyiksa diri sendiri.”
Fatwa dikeluarkan karena ada 6 orang karyawan hotel Soechi Internasional Medan melakukan aksi mogok makan di halaman gedung DPRD Kota Medan. Saat itu jumlah karyawan yang melakukan mogok makan bertambah terus. Mereka menuntut anggota DPRD Kota Medan menyelesaikan masalah PHK. Aksi mogok makan ialah bentuk solidaritas terhadap Pemutusan Hubungan Kerja yang dialami puluhan rekan mereka.
Budaya
Dalam tradisi Kejawen ada juga aksi protes sejenis mogok makan. Namanya topo pepe. Praktisinya menjemur diri di alun-alun sampai pihak Kraton memenuhi tuntutan mereka. Misalnya saat tujuh orang yang tergabung dalam Jaringan Cagar Budaya Surakarta pada 3 Desember 2010 menggelar aksi jemur diri. Aksi itu diawali dengan ritual di Bundaran Gladag Solo, dan dilanjutkan dengan topo pepe di halaman Balaikota Solo.
Mereka duduk bersila sambil membuka baju. Sembari melantunkan tembang-tembang Jawa. Tujuannya untuk menunjukkan keseriusan agar di Solo segera dilakukan revolusi budaya. Seperti yang sudah diwacanakan oleh Walikota Solo. “Revolusi budaya sudah saatnya segera dilakukan, bukan hanya dijadikan sebagai wacana dan diskusi-diskusi saja,” ujar Janthit Sono Kolo yang menjadi penanggungjawab aksi.
Masih banyak ragam budaya ala Kejawen lainnya. Misalnya puasa Mutih, Ngeruh, Ngebleng, Pati geni, Ngelowong, Ngrowot, Ngepel, dll. Intinya ialah berhenti menyalahkan orang lain dan meniti ke dalam diri. Berani mengorbankan diri dan memikul tanggung jawab demi sesuatu yang lebih tinggi dari sekedar ego sempit. Misalnya, demi nilai kebajikan, kebenaran dan keadilan.
SARA
Dengan mengangkat tulisan ini di Kompasiana saya membuka diri terhadap kritik dari sidang pembaca. Terutama ialah penilaian bahwa isinya bernuansa SARA. Tapi saya kira inilah pokok permasalahan bangsa kita. Sedikit-sedikit dikaitkan dengan sentimen SARA. Padahal jelas-jelas ada Parpol yang menjual dagangan SARA , sehingga bisa meraih banyak kursi di Parlemen. Saya tak mau menyebut merk, tapi yang jelas mereka baru saja merayakan Milad ke-13 di GBK Jakarta hari ini.
Pada hemat saya, perdebatan tentang SARA sudah selesai pada 28 Oktober 1928. Tatkala para pemuda mengikrarkan Sumpah Pemuda. Kendati demikian, faktanya ikrar tersebut telah dikhianati dengan terbitnya pelbagai perda bernuansa akidah agama tertentu di negeri ini. Saya tidak menuduh umat Islam secara gebyah uyah.
Kenapa? karena sejatinya bangsa ini telah dibajak oleh segelintir kaum radikal penganut aliran Neo Wahabi. Sekarang saudara-saudari Ahmadiyah yang dijadikan bulan-bulanan. Bahkan dihalalkan darahnya. Bersiap-siap kelompok NU dan penganut agama dan kepercayaan minoritas lain. Niscaya mendapat perlakukan semen-mena ke depannya, bila kita sebagai sebuah bangsa tak bersuara dan bergerak bersama.
Momentum
Anand Krishna ialah simbol perjuangan kaum pluralis di Indonesia. Bila tokoh sekaliber beliau bisa diperlakukan seperti seekor domba yang dibawa ke penjagalan oleh kaum berkuasa dan berpunya (the have), bagaimana dengan kita rakyat biasa (wong cilik)? Kendati demikian, Anand tetap melawan tanpa kekerasan, berlandaskan kekuatan cinta pada Ibu Pertiwi. Ia memang keturunan India, tapi kontribusinya bagi bangsa ini selama 20 tahun terakhir begitu besar dan nyata.
Inilah momentum kebangkitan bangsa. Jangan sampai putra terbaik Indonesia mengalami nasib tragis. Saatnya rakyat bergerak! Bukan atas nama agama, suku, ras, ataupun golongan, tapi atas nama bangsa Indonesia yang merindukan keadilan. Menyitir kata-kata seorang sahabat, “Keadilan tak bisa ditunggu, ia musti dihadirkan!” Anand Krishna telah memberi teladan lewat kata dan tindakan sekalipun nyawa menjadi taruhannya.
Berikan dukungan Anda di http://freeanandkrishna.com/ Terimakasih dan Salam Indonesia!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar