April 19, 2011

Yesus Sang Sosialis (Resensi Buku Anand Krishna)

OPINI | 19 April 2011 | 14:27 29 4 Nihil


13031978451245314196

Judul Buku: A New Christ, Jesus - The Man and His Works
Penulis: Wallace D. Wattles, pengarang The Science of Getting Rich yang menginspirasi The Secret
Terjemahan Bebas, Re-editing, dan Catatan: Anand Krishna
Kata Pengantar: Reverend Mindawati Perangin-angin Ph.D
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: I/November 2010
Tebal: xxxxii + 251 Halaman
ISBN: 978-979-22-6342-8

“Ukirlah di atas batu nisanku: Kafir – Pembangkang, Kafir bagi setiap lembaga agama yang berkompromi dengan kesalahan; Pembangkang terhadap setiap pemerintah yang menindas orang miskin.” Wendell Phillips - Aktivis Kemanusiaan (1811-1884)

Rhonda Byrne pengarang The Secret mengaku terinspirasi oleh buku The Science of Getting Rich. Wallace D. Wattles menulisnya pada 1910. Menurut filosofi peradaban Sindhu (dulu membentang dari Afganistan sampai Australia, termasuk Nusantara lama), Tuhan berada dalam segala. Konsep hukum ketertarikan (Law of Attraction) berlandaskan pada keyakinan sederhana, “Tatkala seluruh kesadaran terpusat (fokus) pada satu hal, niscaya Tuhan akan memberikannya.”

Ternyata The Science of Getting Rich ialah buku ke-3 Wattles. Karya ilmiah pertama Wattles berjudul A New Christ (1900). Kemudian menyusul terbitnya buku ke-2 pada 1905. Ketika itu Partai Sosialis Komisariat Cincinnati di Ohio mengundang Wattles berceramah, mereka terkesan dengan gagasan briliannya. Nah naskah pidato bertajuk “Jesus: The Man and His Works” itulah yang dibukukan oleh panitia. Lewat kedua karya tersebut Wattles memperkenalkan pandangan alternatif sosok Yesus.

Buku A New Christ, Jesus - The Man and His Works ini merupakan terjemahan, re-editing, dan catatan Anand Krishna atas kedua karya monumental Wattles. Memang bagi kita di “Timur” new age ialah bagian dari diri kita, part of our being. Begitulah pendapat Reverend Mindawati Perangin-angin Ph.D di bagian pengantar. Ia seorang pendeta wanita kondang. Rev. Mindawati tak hanya melayani umat Kristen, tapi juga sesama umat manusia. Tepatnya di Jakarta, Medan, Darwin dan beberapa kota terpencil di Australia.

Direktur Eksekutif Research Center for Religion and Education (RCRE) tersebut mengkritisi kecenderungan dunia “Barat”. Di sana new age malah menjadi sekte ekslusif. Hanya diperuntukan bagi kelompok yang (konon) terpilih. Pendeta Gereja Batak Karo itu memaknai keilahian Kristus begini, “Yesus “Satu” (Manunggal) dengan Sumber Kuasa.” Sehingga beliau mampu melakukan apa yang dikehendaki Sang Sumber itu sendiri.”

Menurutnya, manusia tidak membutuhkan perantara dalam ranah spiritual. Tujuan doa ialah mengingat, membangun hubungan, dan menyadari kemanunggalan dengan-Nya (halaman 134). Peziarahan hidup manusia memang mensyaratkan keniscayaan relasi personal dengan Sang Pencipta. Dalam buku “Sejenak Bijak” Romo Anthony de Mello S.J ditanya seorang murid, “Apa yang terpenting dalam hidup ini Romo?” Jawabnya singkat, “Kesadaran, kesadaran, dan kesadaran.”

Apakah ciri manusia yang relatif melakoni kesadaran dalam kata dan perbuatan? Yesus mengibaratkannya laksana anak kecil (childlike). Ia senantiasa ceria dan keranjingan dengan rasa bahagia (everlasting joy). Tapi bukan berarti kekanak-kanakan (childish). Ia juga polos tapi tidak bodoh. Bahkan penuh inisiatif dan kreatif. Terakhir tapi penting, ia tidak terikat pada kondisi apapun. Anand menguraikannya begini, “Tatkala anak kecil kehilangan mainan, ia menangis sebentar saja. Lantas segera melupakannya semenit kemudian.” Dalam tradisi Kejawen ada istilah, “Gula lali,” sesaat setelah menangis langsung bisa tertawa kembali. Logika anak sederhana, “Hilang ya hilang.” Bahkan anak kecil tak kenal filosofi kuantum ikhlas. Semua itu mengalir secara alami dan wajar.

Sebaliknya, apa yang terjadi bila seorang dewasa kehilangan sosok yang dicintai? Ia menangisinya berhari-hari, bahkan bisa bertahun-tahun dan menjadi trauma akut. Ia enggan pula menjalin hubungan baru. Buddha pun mengatakan bahwa keterikatan (kemelekatan) lah sumber penderitaan manusia. Dalam tradisi Kejawen dikenal paribasan, “Melik nggendong lali.” Rasa memiliki cenderung membawa sikat alpa. Kemudian, manusia berasumsi sebagai pemilik tunggal harta, tahta bahkan dunia ini. Padahal semua sekedar titipan.

Kisah Sufi mengajarkan kita menerima setiap perubahan. Tak ada yang abadi selain perubahan itu sendiri. Konon seorang raja memberikan cincin kepada permaisuri tercinta. Terpatri tulisan singkat pada hadiah tersebut, “This all shall pass.” Artinya, “Semua ini pasti berlalu.” Pasca berkeliling menaklukkan dunia Alexander Agung pun akhirnya kembali ke Yunani. Ia berwasiat kepada para bawahan, “Tolong bila aku kelak mati, sewaktu kalian mengarak jenasahku ke liang lahat, biarkan tanganku kelihatan menjulur ke luar peti. Agar dunia menyaksikan bahwa akupun tak menggenggam apa-apa saat ajal menjemput.”

Kondisi Historis

Yesus hidup pada masa pemerintahan Romawi. Saat itu kerajaan Roma malas mengurusi kepentingan rakyat secara langsung. Mereka lebih suka menunjuk raja-raja kecil di daerah kekuasaannya. Dari pemerintahan lokal tersebutlah mereka menarik upeti.
Lantas, penguasa setempat menekan para pengusaha lewat pungutan pajak yang tinggi. Akibatnya, orang-orang kaya tersebut mengeksploitasi masyarakat kelas bawah habis-habisan. Demikianlah cara sistemik Roma mengadu domba dan menciptakan friksi di antara sesama anak bangsa. Ironisnya, para pekerja tak menyadari bahwa sejatinya mereka menjadi korban pihak penguasa, bukannya pihak pengusaha itu sendiri.

Dalam buku ini Wattles mengkaitkannya dengan situasi abad 20. Sebagai ilustrasi ihwal apa yang terjadi pada zaman itu. Penghasilan pribadi Herodes berkisar US$3.5 juta per tahun. Angka tersebut memang jauh bila dibandingkan dengan kekayaan seorang Rockefeller. Tapi jangan lupa bahwa wilayah kekuasaan Herodes hanyalah sebatas Galilea. Sedangkan saat ini “kerajaan” Rockefeller sudah hampir tak mengenal batas (halaman 25).

Yesus memperjuangkan hak dasar kelas pekerja. Tapi karena ia berasal dari kelas menengah, maka ia dicuriga sebagai penyusup. Itulah sebabnya kepada saat Pilatus menawarkan pembebasan, mereka justru memilih Barabas. Dalam halaman 25, Anand menulis, “…karena Yesus dianggap bagian dari kelas menengah, bagian yang menurut imaginasi kelas bawah telah menindas dan menzalimi mereka.” Selain itu, sepanjang hayat Yesus mencoba meluruskan penyimpangan yang dilakukan oleh kaum Farisi. Yakni para pemuka agama Yahudi yang terpaku pada dogma dan cenderung dekat dengan penguasa lokal.

Mereka berpandangan memberi makan kepada orang lapar pada hari Sabat ialah pelanggaran hukum Allah. Melayani, menjenguk, dan menyembuhkan orang sakit pun merupakan pelanggaran berat. Di mata mereka hukum Tuhan lebih penting ketimbang manusianya itu sendiri. Yesus mematahkan dogma tersebut dengan satu kalimat singkat, “Anak Manusia ialah Tuhan atas hari Sabat.”Yesus melihat Hyang Ilahi lebih tinggi, lebih besar dan lebih mulia daripada ritus keagamaan seperti hari Sabat; ada yang lebih penting dari sistem, peraturan, dan lembaga mana pun jua; bahkan lebih mulia daripada gereja dan pemerintahan. Peraturan yang baku itu sering sangat tidak alami dan malah mematikan kepolosan, kesederhanaan dan kesahajaan seorang anak manusia.

Sebagai konsekuensinya, Yesus musti berhadapan dengan 2 kekuatan besar. Yakni pihak penguasa dan kaum Farisi. Pihak penguasa melihatnya sebagai sosok yang bisa mendorong terjadinya revolusi sosial. Sedangkan, kaum Farisi melihatnya sebagai ancaman atas status quo mereka yang relatif menyamankan.

Kesaksian Wattles

Buku ini lebih banyak mengisahkan pengalaman Wattles. Ia sejak awal mengaku tidak tertarik dengan bangunan megah. Bahkan suasana yang sama indahnya dalam bangunan itu tak pernah begitu menyentuh hatinya. Tapi ketika ia berada di tengah kerumunan anak-anak jalanan, di tengah pasar, atau jalan raya dan di tengah para pekerja di pabrik yang mencucurkan keringat untuk memenuhi kebutuhan kita, hati Wattles tergerak. Karena ia melihat kemungkinan-kemungkinan seluas dan sebesar alam semesta, “Ketika berhadapan dengan mereka yang tetap berkarya walau menderita; mereka yang tetap mencintai walau yang dicarinya belum ketemu juga, kepala saya tertunduk dengan sendirinya (halaman 44)”

Wattles berani menggambarkan adegan saat Yesus bersama anak-anak kecil secara berbeda. “Ia berada di tengah kerumunan buruh kasar, orang-orang miskin dan anak yang digendongnya itu adalah anak seorang pekerja atau budak.” Karena berasal dari keluarga miskin, anak itu jelas tidak bersih, tidak berpakaian rapi. Badannya penuh bisul dan bau. Rambutnya tak disisir. Anak-anak itu ialah cerminan masa gelap pada saat Yesus lahir, masa paceklik dalam sejarah daerah Galilea. Segala sesuatu yang kuupayakan bagi anak-anakku dan diriku, akan kuupayakan pula bagi mereka.

Wattles juga sempat mengunjungi perumahan kumuh di Chicago bersama seorang dokter. Salah satu gedung yang dikunjungi sudah sangat tua dan dihuni banyak keluarga miskin. Di siang yang terik, gedung itu berubah menjadi oven raksasa. Di salah satu rumah, yang tediri atas satu kamar saja, seorang anak kecil yang sakit parah dan berbaring lemah di atas ranjang, berusaha untuk menghibur ibunya, mereka tak mampu berobat ke rumah sakit, “Ma, sebentar lagi Papa datang….”

Ayah anak itu bekerja di pabrik, yang letaknya tak jauh dari rumahnya. Ia tahu bila anaknya tidak akan bertahan lama. Oleh karena itu, setiap ada waktu sebentar pun ia pulang ke rumah untuk menjenguk anaknya. “Ya, ya, Nak, sebentar lagi Papa datang, “ sahut ibunya. “Ma, nanti Papa pasti tanya, “Hei anak muda, apa kabar?” “Akan kujawab, baik-baik saja. Mama jangan cerita ya kalau saya mau mati. Sepertinya, sebentar lagi saya mati, Ma.” Kepolosan, kesederhaanya, yang menyayat hati saya dan hati teman saya yang sedang memeriksa keadaannya. Ia tahu bila anak itu benar bahwa ia tak akan bertahan lama.

Ia membisiki saya, “Aku biasa menyaksikan kematian, kematian orang dewasa. Bahkan, biasa melihat jasad seorang anak yang sudah mati, tapi, tidak bisa melihat seorang anak mati di depanku seperti saat ini. Aku merasa begitu tak berdaya. Aku tidak tahan melihat penderitaan anak ini.” Tak lama kemudian datanglah ayah anak itu. Sosok seorang pekerja kasar. Rambutnya tak rapi, janggutnya panjang dan tak terpelihara dengan baik. Tidak berpendidikan, sebagaimana kita mengartikan pendidikan. Dari sudut pandang agama pun, barangkali bukanlah seorang yang taat. Pasti jarang ke gereja karena memang ia tak punya waktu untuk itu.

Ia mendekati anaknya dan seperti yang dikatakan oleh anak yang sedang menunggu “jemputan” itu, “Hei anak muda, apa kabar?” Ia tak mampu menyembunyikan kekhawatirannya dan kepedihannya. Ia juga tahu bila anaknya tinggal menunggu waktu saja. Anak yang sudah sangat lemah itu, memaksa diri untuk menjawab, “Baik, Pa. Aku baik, Pa…” Kemudian anak kecil itu menghembuskan nafas terakhir. Ia hanya menunggu kedatangan ayahnya. Ia sekedar mau meyakinkan ayahnya bila dirinya baik-baik saja dan bahwasanya tidak ada yang perlu dikhawatirkan tentang dirinya.

Wattles meradang, “Lagi-lagi nyawa seorang anak “miskin” melayang begitu saja, karena ketidakpedulian kita, karena keterlambatan kita. Siapa yang peduli terhadap nyawa “murah” seorang anak miskin?” Kiranya anak seperti itu yang dipanggil Yesus, digendong dan ditempatkan di tengah-tengah mereka. Dengan tegas Yesus memperingatkan, “Barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ditenggelamkan ke dalam laut. “ Secara lebih makro, “setiap sistem, peraturan, lembaga dan apa saja yang menghalangi seorang anak kumuh untuk hidup sepenuhnya, tak direstuo oleh-Nya. Kerugian materi sebesar apapun tidak sebanding dengan ketidakadilan terhadap seorang anak kecil. Inilah ajaran Yesus. Tidak heran, bila ia disalibkan,” tulis Wattles (halaman 54).

Tangga Spiral

Carilah dulu kerajaan Allah maka yang lain akan ditambahkan bagimu. Tuhan senantiasa memberkati kita dengan apa saja yang dibutuhkan dalam hidup ini. Udara, sinar matahari, air, dll. Pemberiaan-Nya ribuan kali lipat daripada kebutuhan dasar manusia di muka bumi ini. Kita adalah keluarga umat manusia yang kaya raya. Ironisnya, saat ini perbandingan 20:80 masih berlaku. Maksudnya, 20 persen keluarga menikmati 80 aset dunia. Sebaliknya, 80 persen sisanya berebutan remah-remah yang 20 persen.

Wattles berbagi inspirasi dan solusi konkrit lewat kisah berikut ini. Suatu malam, seusai mendengar ceramah di Chicago, seorang peserta mendekatinya, “Ceramah Bapak sungguh luar biasa. Kepedulian Bapak terhadap orang kecil sungguh kuhargai. Aku hanyalah seorang gadis miskin, tidak berpendidikan, tidak mampu menjelaskan perasaanku…Kupikir dalam keadaan dunia kita saat ini seperti sedang diangkat dengan alat dongkrak.” Lebih lanjut, gadis itu berkata, “Orang kecil seperti diriku adalah gagang dongkrak tersebut. Kita semua –orang-orang kecil- mengangkat dunia ini. Kita memajukan dan mengembangkan industri. Tapi, kita sendiri tak pernah menikmati kemajuan itu. Keadaan kita persis seperti gagang dongkrak. Dunia yang didongkrak naik, meningkat, tapi gagang dongkrak itu tetap di bawah. Tidak ada harapan baginya.”

“Seandainya keadaan itu bisa dirubah, “ujarnya pelan. Secara mengejutkan ia menawarkan solusi, “Seandainya orang kecil tidak menjadi dongkrak. Seandainya kita bisa membuat tangga spiral untuk dipakai bersama. Betapa indahnya, jika kita bisa meningkat, maju, dan berkembang bersama. Awalnya mungkin kita tak mencapai lantai teratas, tetapi setidaknya kita sudah berupaya untuk mencapainya. Dan saya yakin, pada suatu hari kita akan mencapai tingkat paling atas. Betapa indahnya jika kita bisa bersama-sama menikmati peningkatan itu!”

Wattles turut berandai-andai pula, “Seandainya saya berkuasa maka saya akan mewajibkan setiap dosen dan pengkhotbah untuk belajar ekonomi politik dari gadis itu. Ia tak sekedar berkeluh kesah tapi juga menawarkan solusi yang dapat diaplikasikan secara nyata. Akar pertikaian ialah keserakahan yang muncul dari rasa tidak aman. Yesus juga pernah mengawali analoginya dengan menyebut burung-burung. Mereka hidup dalam Kerajaan Allah. Selama burung-burung bisa mengakses “Sumber Abadi”, maka tidak perlu ada perlombaan, persaingan, dan kekhawatiran. Kehendakku terjadi ketika kalian semua saling mengasihi dan saling berbagi. Banyak makanan yang telah kusediakan untuk kalian semua. Untuk apa berebutan, bertikai dan bersaing?

Tidak ada perlawanan dan pertengkaran dalam kerajaan Allah. Di sana yang ada hanyalah kerjasama berlandaskan kasih. Hubungan yang dikenal di dunia ialah transaksi antara tuan dan hamba, antara majikan dan budak. Tidak demikian di Kerajaan-Nya. Di sana persahabatan dijunjung tinggi. Seperti yang dikatakan dalam Injil Yohanes, “Aku tidak menyebut kamu hamba lagi, sebab hamba tidak pernah tahu apa yang diperbuat tuannya, tetapi aku menyebut kamu sahabat (Yoh 15: 15).” Para penyebar Injil awal memahami maksud Yesus. Tidak seorang pun murid-Nya yang memiliki harta benda secara pribadi. Semuanya dimiliki bersama. Sebaliknya, tiada penderitaan yang dialami atau dipikul secara pribadi. Suka mereka nikmati bersama, Duka mereka pikul bersama. Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Mereka berjuang mengakhiri sistem yang usang. Tentu tidak dengan kekerasan, tapi dengan membuat orang sadar akan kebenaran sederhana, “Dunia ini satu; umat sedunia adalah saudara; dan seluruh kekayaan bumi ini adalah untuk kita gunakan bersama (halaman 91).

Sosialisme ala Yesus menjunjung hak pribadi. Atas kepemilikan sesuai kebutuhan. Seeorang berhak mengembangkan dan memajukan diri secara optimal. Tapi tak berhak secuilpun untuk menguasai da mengeksploitasi sesama manusia. Sosialisme ala Yesus menjamin rumah hunian yang layak bagi jutaan keluarga yang belum memiliki tempat tinggal. Bukan sepetak saja tapi sebuah hunian asri nan indah, dengan pekarangan dan kebun yang cukup luas, tempat setiap keluarga bisa bercocok tanam dan menghasilkan sayur-mayur, buah-buahan, dan apa saja yang dibutuhkan untuk pangan secara organik.

Rumah mereka akan memiliki perpustakaan, peralatan musik, lukisan dan apa saja yang dibutuhkan untuk pengembangan diri dan olah rasa (keindahan). Sosialisme ala Yesus tidak hanya menjamin kendaraan pribadi seperti mobil, tetapi juga kapal pesiar untuk bertamasya bersama. Namun sosialisme ala Yesus tak membenarkan kepemilikan pribadi atas sarana umum. Seperti jalan raya, sarana perhubungan, industri besar, dan BUMN yang menyangkut kepentingan publik.Untuk itu perlu dibentuk semacam koperasi (cooperative society) untuk mengaturnya. Agar tidak terjadi diskriminasi dan memastikan setiap orang memperoleh pelayanan yang adil dan setara. Sosialisme ala Yesus berbeda dengan komunisme yang menenggelamkan individu dalam lautan massa. Sosialisme spiritual ialah individualisme yang sempurna.

Dalam menafsirkan Yesus dan ajarannya Wattles memang menggunakan metode naratif. Pernyataan tentang Yesus dikutip dari semua kitab suci yang mneceritakan Yesus tanpa melihat latar belakang penulis dan kontekstual (sitz im leben). Baginya semua kisah bernilai sama. Tidak ada pembedaan antara apakah itu tulisan dari penulis Injil, Yesus sendiri atau dari jemaat Kristiani awal. Dari kepingan-kepingan itulah Wattles menyusun mozaik kehidupan Yesus.

Hal ini membuka pro dan kontra. Karena melibatkan subjektifitas penulis. Kendati demikian, inisiatif Anand Krishna menterjemahkan, mengedit ulang, membubuhkan catatan singkat, dan memberikan latihan meditasi layak diapresiasi. Anand sendiri saat ini seolah menziarahi pengalaman Yesus yang pernah berpuasa selama 40 hari di padang gurun. Aktivis spiritual ini sudah 42 hari mogok makan demi keadilan di Indonesia. Silakan memberi dukungan di http://freeanandkrishna.com/.

Kualitas hidup manusia secara kolektif maupun personal memang berbanding lurus dengan kemerosotan kesadaran itu sendiri. Menyitir pendapat Mahatma Gandhi ihwal sosok Isa Sang Masiha, “Yesus memberi tanpa mengharapkan imbalan. Ia tidak peduli akan layar belakang kepercayaan sang penerima. Aku yakin bila Ia berada di tengah kita saat ini, Ia akan memberkati setiap orang yang menjalani ajaran-Nya, dan mencintai sesama makhluk, walau orang itu tidak pernah bertemu, bahkan mendengar nama-Nya.”

http://media.kompasiana.com/buku/2011/04/19/yesus-sang-sosialis-resensi-buku-anand-krishna/

Tidak ada komentar: