April 04, 2011

Mogok Makan Demi Keadilan

Senin, 4 Apr 2011 02:18 WIB


Oleh: T. Nugroho Angkasa

Yudi Latief mengajak bangsa ini "Kembali ke Pancasila." Menurut Yudi ketidakmampuan kita memecahkan masalah hari ini karena elite politik abai merawat warisan terbaik dari masa lalu (Kompas, 29/3).

Lukas Alamsyah (2001) juga berpendapat bangsa ini piawai merumuskan filosofi mulia. Tapi sulit menemukan karakter yang membadankan (baca: mempraksiskan) nilai keutamaan tersebut. Man in word - orang berintegritas alias setia pada Dia yang tak hadir kini kian langka.

Bahkan Gus Nuril melihat bahwa tokoh yang berpihak dan melakoni Pancasila justru tidak mendapatkan tempat di Republik ini. Kesimpulan itu disampaikan tatkala membesuk Anand Krishna di LP Cipinang pada Selasa (15/3) silam.

Ia merujuk pada aktivitas Anand selama 20 tahun terakhir. Walau masih keturunan India, Anand Krishna begitu lantang menggaungkan semangat Bhinneka Tunggal Ika dan cinta pada Ibu Pertiwi (bahasa Sansekerta: Bende Mataram).

Selama masih aman berarti belum transformatif (Lukas Alamsyah, 2002). Sepanjang sejarah peradaban manusia, kita menyaksikan kisah hidup mereka yang mendorong pembaruan sosial. Ancaman dan bahaya sudah menjadi kelaziman. Entah itu difitnah, dianiaya bahkan nyawa melayang.

Misalnya Munir, ia terbunuh karena keracunan Arsenik. Siapa yang membubuhkan zat mematikan itu dalam minuman aktivis KONTRAS tersebut? Apa motif sesungguhnya? Negara bertanggungjawab menguak misteri tersebut. Tapi toh hingga kini masih tersaput kabut gelap.

Anand Krishna juga menuntut transformasi sosial. Terutama dalam ranah hukum nasional. Awalnya, ia dijerat pasal pelecehan seksual (270 KUHP). Tara Pradipta Laksmi yang melaporkan dakwaan tersebut.

Tapi faktanya, selama proses persidangan (tertutup) sejak Agustus 2010 hanya 10 persen yang membahas dakwaan awal. Selebihnya, 90 persen mengorek pemikiran yang tertuang dalam 140 buku dan sederet aktivitasnya di Yayasan Anand Ashram (berafiliasi dengan PBB, 2006).

Seorang aktivis mengatakan, "Tak ada pelaku kejahatan yang mengaku." Ia menyindir kasus Anand ini. Bagaimana mau mengaku kalau memang tidak pernah melakukan. Bila tidak setuju dengan pemikiran seseorang. Tulislah artikel atau buku juga. Sehingga dapat terjadi dialektika untuk menemukan sintesa yang lebih baik.

Ironisnya, lembaga peradilan yang seyogianya menjadi garda terdepan penegakan hukum malah menciderai rasa keadilan. Menurut Su Rahman, seorang ahli IT yang memantau persidangan secara langsung, sejak awal kasus ini tidak cukup bukti. Sebab tidak ada saksi yang melihat sendiri kejadian pelecehan tersebut.

Gosip

Semua saksi berdasarkan katanya alias rumor belaka. Ironisnya, sebuah persidangan digelar berdasarkan sebuah gosip. Contoh lainnya ialah kasus Rio. Seorang bocah yang kakinya terjepit eskalator di sebuah Mall. Alih-alih menghukum pelaku usaha perbelanjaan tersebut tapi justru si paman yang terancam dimasukkan bui karena dianggap lalai manjaga keponanakannya.

Penulis sempat menanyakan hal ini kepada siswa-siswi di kelas. Sekedar ingin mengetahui bagaimana mereka merespon isu aktual yang sedang hangat di masyarakat. Spontan, mereka menjawab: sungguh tidak manusiawi! Anak kelas 7 SMP yang notabene baru berusia 12 tahun tergetar hatinya menyaksikan ketidakadilan. Tapi di mana kepedulian para elite politik yang digaji dengan uang rakyat?

Bandingkan dengan empati dari luar negeri. Dukungan terhadap tegaknya keadilan di Indonesia. Diane Silvester dari Ojai California USA menulis lewat jejaring sosial, "...send blessings to him...tell him about how much we care! (kirimkan salam saya untuknya...katakan betapa kami peduli!) dan Don Paul dari Queensland Australia juga menambahkan, ‎"...conveying my thoughts for support for Mr Anand...." (mengukuhkan tekatku untuk mendukung Pak Anand).

Selain itu, Sylvia dari Belgia berpendapat, "The Indonesian government is much more cruel than the British government during Gandhi's time in India....Bravo! Applaus!" (Pemerintah Indonesia lebih kejam ketimbang pemerintah kolonial Inggris pada masa Gandhi di India...Hebat! Tepuk Tangan!)

Anand Krishna sendiri tidak menuntut pembebasan dari segala dakwaan. Ia hanya meminta pengadilan digelar secara terbuka, obyektif, dan jujur. Kalau perlu hakimnya pun diganti. Ia kini mendekam di Rutan Cipinang setelah sempat di Rawat di RS Polri (16-29/3) silam karena mengidap jantung, diabetes, dan tekanan darah tinggi.

"We have an age-old belief that one of these days our old culture shall revive, and bring an end to all radicalism and extremism." (Christ of Kashmiris, 2010). Kita berkeyakinan suatu saat kebudayaan kuno niscaya bangkit kembali, mengakhiri segala radikalisme dan ekstrimisme.

Meminjam istilah Ki Hadjar Dewantara, Pancasila ialah saripati budaya Nusantara. Itulah akar budaya bangsa. Niscaya membawa perbaikan bagi 31,2 juta rakyat miskin. Tak terkecuali bagi perawat muda bergaji Rp 375.000/bulan. Asalkan dilakoni, terutama oleh para penentu kebijakan publik.

Akhir kata, 26 hari bertahan tanpa sebulir nasipun masuk ke perut merupakan perjuangan ahimsa nan menakjubkan. Orang yang mementingkan diri sendiri dan kenikmatan sesaat tak mungkin mampu melakukannya. Anand Krishna membuktikan kebenaran sabda Isa Al Masiha, "Manusia tak hidup dari roti saja." Sungguh mentalitas seorang Marhaenis tulen.

____________________________

*Guru Bahasa Inggris SMP Fransiskus Bandar Lampung

Tidak ada komentar: