OPINI | 08 April 2011 | 14:10 52 2 Nihil
http://sosbud.kompasiana.com/2011/04/08/kepada-siapa-anda-berpihak-jenderal/
Tingkat radikalisasi di Indonesia berbanding lurus dengan situasi di Timur Tengah. Revolusi sosial menuntut para tiran di negeri pengekspor minyak dunia tersebut berdampak pada eskalasi aksi-aksi kekerasan di negara kita. Pada 2010, setidaknya terjadi 262 kasus kekerasan bernuansa agama di Indonesia (Setara Institute, 2010).
Masih lekat dalam ingatan kolektif bangsa ini tragedi kemanusiaan Cikeusik, insiden SARA di Temanggung, dan terakhir fenomena unik di Medan. Kenapa menarik? karena kali ini pihak pelaku onar (baca: FPI) lah yang menjadi korban amukan para ibu.
Pergolakan sosial di Timur Tengah membuat para Rezim yang berkuasa panik. Selama ini mereka mengira bahwa mekanisme stick and carrot alias cambuk dan wortel bisa menteror dan meninabobokan rakyat. Tapi faktanya, ancaman tembak di tempat dan guyuran Petro Dollar tak mampu meredam aksi massa berskala masif menuntut pergantian rezim.
Dulu minimnya SDA (Sumber Daya Alam) yang menjadi kalkulasi tersendiri. Walau kini harga minyak bumi membumbung tinggi, tapi bahan bakar fosil tersebut tak bisa diperbaharui lagi. Sekali habis, solusi satu-satunya ialah mencari alternatif pengganti BBM. Bukankah dibutuhkan waktu ribuan tahun untuk membuat minyak bumi. Dan hanya proses Alamlah yang bisa melakukannya.
Saat ini mereka memiliki cukup tabungan untuk membayar tentara dan menyuap rakyat dengan hibah tak terbatas. Tapi sampai kapan itu semua bisa dilakukan? Pasokan minyak kian menipis. Karena situasi keamanan tak kunjung stabil. Bahkan pergolakan sosial turut mengganggu proses produksi dan distribusi minyak di sana. Otomatis pemasukan kas negara juga berkurang drastis.
Solusi Instan
Kemudian mereka mencari lahan baru untuk memenuhi gaya hidupnya selama ini. Selain itu, ketimpangan sosial antara penguasa dan rakyat niscaya menyulut api revolusi yang lebih hebat. Selama ini penguasa di sana terdiri atas keluarga raja, kaum pengusaha, para ulama serta militer.
Mereka menguasai 80 persen aset bangsa. Sedangkan 20 persen sisanya, diperebutkan oleh rakyat. Inilah kondisi obyektif yang potensial melahirkan pelopor perubahan sosial lewat proses revolusi demokratik.
Negara-negara di daerah Afrika dan Asia menjadi incaran Arab Saudi. Misalnya di Sudan, tanah tersubur mereka disewa selama 80 tahun, luasnya mencapai 800.000 hektar lebih. Dengan demikian setidaknya satu generasi penduduk setempat akan terpuruk dalam jurang pemiskinan. Karena tanah yang menjadi sumber produksi mereka tak ada lagi. Sudah disewakan oleh pihak penguasa kepada pihak asing.
Di Indonesia, tepatnya di daerah Papua, sudah mulai ada tawaran untuk model penyewaan tanah seperti itu.Namun namanya pengusaha, yang terpenting ialah meraup untung sebanyak-banyaknya dengan pengeluaran sekecil-kecilnya. Mereka mencari cara agar bisa menguasai lahan-lahan tersubur dan juga kandungan mineral di bawah perut bumi kita.
Kalau dulu Belanda menggunakan invasi militer, sekarang Arab Saudi memakai jalur budaya. Sentimen keagamaan yang dipakai. Kita sama-sama satu umat. Padahal Arab Saudi masih memberlakukan sistem Monarki absolut. Suara Raja ialah suara Tuhan. Sedangkan secara sistem keberagamaan, mereka masih menganut paham Wahabi.
Doktrinnya sederhana tapi mengerikan. Yakni menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Termasuk, membunuh, memfitnah dan menganiaya orang lain. Itu semua halal hukumnya dilakukan terhadap para kaum kafir. Kaum kafir disini berarti siapa saja yang berseberangan dengan pihak penguasa dan alim ulama Wahabi.
Dimanfaatkan
Selain itu, ada anak-anak bangsa yang dimanfaatkan untuk membuat onar dan menebarkan paham kekerasam tersebut. Tentu dengan bayaran tertentu serta iming-iming bertemu bidadari di surga.
Padahal budaya leluhur kita begitu menghargai kebhinekaan. Saling hidup berdampingan walau berbeda agama, suku, ras dan golongan. Bila di dunia ini kita tak bisa rukun agawe santosa dengan tetangga sebelah, bagaimana bisa hidup damai di surga? Sungguh absurd bukan? namun itulah yang terjadi di negeri ini.
Lebih lanjut, secara sistemik struktural juga apa upaya mengganti dasar negara Pancasila dan mengamandemen UUD 1945. Semua disesuaikan dengan rujukan utama mereka. Tak lain ialah UUD Arab Saudi dan doktrin Wahabi.
Terbukti dari pengesahan UU Pornografi, SKB 3 Menteri, pelarangan Ahmadiyah, dan penerapan perda syariah di pelbagai daerah. Padahal negara ini tak berdasarkan agama tertentu, atau lebih tepatnya sekte Neo Wahabi.
Secara lebih mendalam, sejatinya motif utama mereka sekedar meraup keuntungan dan kekuasaan. Agama hanya dipolitisasi dan dibisnisisasikan. Kenapa? agar mereka tak perlu lagi menyewa lahan-lahan tersubur di Indonesia. Mereka hendak menjadikan Bumi Pertiwi sebagai ladangnya Arab Saudi.
Dalam konteks ini, visi pluralisme dan suara vokal yang setia pada NKRI, Pancasila dan Mukadimah UUD 1945 menjadi musuh utama mereka. Sebut saja kasus Anand Krishna, pelecehan seksual hanya kedok untuk membungkam perjuangan kebangsaan dan kemanusiaan dari Yayasan Anand Ashram (berafiliasi dengan PBB, 2006).
Terwujudnya masyarakat yang sadar bahwa perbedaan ialah keniscayaan sekaligus kekayaan akan membuyarkan semua agenda terselubung mereka. Hingga saat ini Anand Krishna masih melakukan aksi mogok makan. Sudah 31 hari lebih tak sebulir nasipun masuk ke perut penulis 140 buku tersebut.
Mahatma Gandhi saja selama mempraksiskan Satyagraha dengan metode mogok makan di India (1922, 1930, 1933, dan 1942) pada masa pemerintahan kolonial Inggris tak pernah sekalipun melebihi waktu 3 minggu. Para kolonialias segera mengakomodir tuntutan Sang Mahatma.
Akhir kata, pemerintah Indonesia musti belajar dari sejarah tersebut. SBY musti berani bersikap tegas. Hendak memilih visi kebangsaan/pluralisme atau membiarkan bangsa ini dibajak oleh kaum radikal berjubah agama. Kepada siapa Anda berpihak Jenderal?
Berikan dukungan Anda untuk Anand Krishna di http://freeanandkrishna.com/ Terimakasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar